*POV DEWO*
Usia yang masih sangat muda, wajah yang cantik dan sifatnya yang lucu, sungguh membuatku terpaku. Dilla ... kenapa kau hadir dalam hidupku, Sayang? Karna kau aku jadi gila, gila ingin menikah dan tak mau mengembara cinta lagi. Tapi ... Apakah sungguh kau juga cinta padaku?! Persetan! Yang pasti! Lubangmu hanya untukku! Kau adalah sangkar burungku, jika ada Rama dan Sinta yang melambangkan cinta di dunia ini, akan ada lagi Dewo dan Dilla. Aasshhhh ... Aku beneran gila.
"Selamat pagi, Dokter," sapa suster pemilik nama Monica, seperti biasa tersenyum menggoda. Apa dia tidak sadar?! Meski dadanya sebesar semangka, tetap milik Dilla yang kusuka, walau mungil, tetap sangat kenyal dan padat, entar juga besar kalau sudah aku kunyah.
"Pagi," jawabku mengabaikannya.
"Dokter! Bisakah periksa dadaku sebentar? Entah kenapa setiap dekat denganmu, d**a ini selalu menegang, besar," godanya lagi-lagi membuka satu kancing di bagian tengah, ke arahku.
"Pasienku terlalu banyak! Kalau kau butuh perawatan! Bisa panggil Dokter Kudis!" seruku dan tak lama kemudian meninggalkan Monica, dasar wanita.
"Selamat pagi, Dokter. Anda memanggil, Saya? Ada apa?!" tanya Darman, orang suruhanku seperti biasa, sangat patuh jika disuruh. Tadi malam aku memintanya datang ke rumah sakit.
"Ini alamat saudara lelakinya Dilla, pergi ke rumahnya dan bawa dia ke rumahku. Aku dan Dilla akan segera menikah! Hanya dia yang bisa jadi wali untuk pernikahanku dengan Dilla."
"Oh, baik, Dok."
"Ini uang untuk penjemputannya dan ini uang jajan untukmu, setelahnya ... aku kasih uang lagi jika saudara lelaki
Dilla sampai rumahku dengan selamat. Ingat! Hati-hati," ucapku takut membuat Dilla kepikiran jika saudaranya kecelakaan.
"Tenang saja, Dok. Darman-mu ini pasti akan menjaga saudaranya Nona Dilla agar selamat sampai rumah," jawab Darman, memastikan.
"Ralat!! Bukan nona Dilla, tapi Nyonya Dewo. Paham?!" seruku menjelaskan pada Darman. Sampai kapan Dilla akan dipanggil nona?! Dia calon isteriku. Harus ada Nyonya di depan namanya, dan belakangnya ada namaku. Ah ... mantap!!
"I-iya. Maksudku ... Nyonya Dewo," imbuh Darman, tak lama kemudian mencari kendaraan buat ke kota di mana tempat saudaranya Dilla tinggal. Saudaraku juga.
Setelah menyelesaikan masalah Darman, aku segera ke ruangan dan meminta Suster untuk memanggil satu per satu pasien yang akan berobat. Aku Dokter umum, jadi bisa memeriksa semua pasien, tapi jika pasien itu memiliki penyakit serius, terpaksa menyerahkannya pada Dokter ahli.
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang, entah kenapa tanda bekas ciuman Dilla masih terasa, aku sangat merindukannya, tidak tahan, aku meminta supir menjemput Dilla agar mengantarkan makan siang. Sebenarnya bisa di kantin, tapi berhubung ada calon istri, apa salahnya minta dimanja?! Astaga ....
"Dokter, apakah penyakitku parah?" tanya seorang pasien wanita, mengedipkan matanya, aku heran! Kalau tidak sakit, kenapa berobat kesini?! Menyusahkan saja. Niat mereka hanya menggoda.
"Kau baik-baik saja, Mbak. Kalau masih tidak enak, istirahat di rumah saja," jawabku malas menanggapinya. Jika mereka semua berlomba mendapatkan perhatian! Kenapa Dilla, tidak?! Gadis itu!!
"Apa kau sangat yakin, Dok, aah--" desahnya menggoda.
"Saya sangat yakin, Mbak. Keluar!" seruku mulai geram.
"Ah! I-iya," kesalnya salah tingkah.
Jam dua belas pas aku istirahat, pasien yang sedari tadi antre terpaksa menunggu lagi. Selagi tidak ada masalah darurat, Dokter atau suster bisa istirahat bergantian dengan tenang. Meski rumah sakit milik keluargaku sendiri, aku harus bijaksana, bukan?! Tidak boleh mentang-mentang.
"Dokter!! Obati dadaku! Aduh!" lagi-lagi Monica membuat ulah.
"Kau kenapa lagi, Suster?!" tanyaku tidak sabar. "Ini sudah mau istirahat!" peringatku tidak mau diganggu.
"Dadaku ini beneran sakit, Dok! Tersiram kopi panas," rintihnya tidak mengada-ada.
"Apa?! Bagaimana bisa?!" tanyaku kesal tapi harus kutahan.
"Ki-kime bilang cintanya padamu seluas samudera, saat aku bilang cintaku padamu sebesar gunung Himalaya, dia marah! Alhasil kita bertengkar dan ... kopi panas itu menyiram d**a mulusku! Kau harus mengobatiku," manjanya meminta perhatianku.
"Astaga!! Tutup pintunya!!" teriakku kesal menatap Monica. Saat aku buka seragam susternya, ternyata benar bahwa ada luka melepuh di d**a atau payudaranya, di bagian agak ke ujung. Ada-ada saja. Terpaksa mau tidak mau aku buka bra-nya.
"Besar sekali," gumamku ternyata memang sebesar semangka.
"Ah ... pelan-pelan, Dok ... sakit," rintihnya meremas bahuku, jika ada orang tahu, pasti menyangka kita sedang berhubungan tidak pantas.
Saat aku mendekat ingin melihat lukanya lebih jelas, pintu tiba-tiba terbuka! Sial!! Ada Dilla di sana, pasti akan salah paham dan bertengkar.
"D-dilla!! I-ini tidak seperti yang kau pikirkan, Sayang. Ini ...."
"Apa-apaan, sih?! Om pikir aku akan cemburu, apa?! Tenang saja! Aku kan tidak cinta, jadi tenang saja," ucapnya menyakiti hatiku, alhasil dengan wajah kesal kutarik badannya ke arahku.
"Kau benar! Kau tidak akan cemburu padaku!! Tapi ingat kerjaanmu!! Kau harus melahirkan--"
"Sudah cukup! Ada apa ini?!" sahut Dilla, menghentikan amarahku. Di dunia ini, hanya dia yang bisa mengendalikan emosiku, ibuku saja tidak mampu. Kalau kesal ya terus saja, susah diamnya.
"Ck! Itu, semangka Monica terluka," decakku kesal menatap Dilla.
"Semangka?!" seru Dilla, terlihat kebingungan raut mukanya.
"Maksudku ... payudaranya terluka!" jelasku semakin kesal.
"Apa?! Bagaimana bisa?!" sudah kuduga, Dilla pasti ingin tahu alasan sebenarnya, jiwa gosipnya sebagai wanita mulai keluar. Sementara Monica! Dia melihat Dilla dengan muka merah padam, marah.
"Kurasa ini bukan urusanmu, Pembantunya Dokter Dewo!! Pergilah!!" teriak Monica, mengusir Dilla dari ruangan periksa.
"Hei!! Dimana sopan santunmu?! Apa kau dungu?! Wanita terhormat tidak akan membentak wanita yang baru dia kenal, sudah murahan! Mau mengusir orang pula!! Kau yang pergi!!" teriak Dilla, membuat Monica melebarkan kedua matanya tidak terima, aku suka melihat amarah Dilla pada Monica, kalau bukan Dilla, siapa lagi yang bisa memarahi Monica?! Si wanita yang selama ini menyusahkan saja, andai tidak memandang orangtuanya, sudah kupindahkan dia ke rumah sakit lain yang jauh dari kota.
"Kau mengataiku murahan?!" Monica menghembuskan nafas kesal.
"Kalau tidak?! Kenapa kau membuka bajumu pada pria tanpa rasa malu?! Apa kau pikir! Payudaramu itu bagus?! Yang ada malah kayak Wewe gombel!" ejek Dilla, dan 1 2 3 ... Monica murka.
"HEI!! JAGA BICARAMU!! PAYUDARANYAMU JUGA KAYAK JALANAN RATA, MANA BISA PRIA TERGODA!! KASIHAN SEKALI!! SUDAH JELEK!! TIDAK MENARIK LAGI!!" Monica semakin menjadi-jadi.
"HEI!! k****t WEWE!! KAU PIKIR PAYUDARAMU BAGUS!! JELEK TAHU!! ITU PASTI JUGA p******a PALSU!! LIHAT PUNYAKU!! ASLI!!" Dilla mengeluarkan payudaranya dan melepas kaitan Bra warisan dari neneknya. Sangat molor dan kendor. Tapi soal d**a ... Aku lebih suka punya Dilla, tentu saja! Sudah padat! Kenyal pula. Untunglah pintu ruanganku tertutup, kalau tidak! d**a mereka jadi tontonan pasien.
"ASLI TAPI RATA!! CIH!! KASIHAN!!"
"RATA KAU BILANG?!" Dilla semakin geram. "OM!! KATAKAN!! KAU PILIH PAYUDARAKU ATAU p******a SUSTER ITU?! JAWAB!!" Dilla dengan menggebu-gebu bertanya sembari menatapku.
"PAYUDARAKU, KAN?!" Monica berharap dipilih.
"PAYUDARAKU, OM!! KALAU KAU MEMILIHKU!! KAU BISA MENYUSU KAPAN-PUN KAU MAU!!" Dilla membuatku bahagia bagai di surga, selama hidupnya, kurasa ini adalah pertanyaan paling pintar.
"Monica, keluarlah! Kurasa dadamu sudah baik-baik saja! Kalau tidak?! Bagaimana kau bisa marah dan bersemangat seperti ini. Pasti sudah tidak apa-apa, kan? Pergilah!" usirku tanpa menatap Monica.
"D-dok ... Kau mengusirku?! Ingat! Aku bisa menyu--"
"Pergilah!!" ulangku tanpa mau dibantah. Setelah merapikan pakaiannya, Monica keluar dari ruangan.
Sementara Dilla, Dia menatap puas kearahku, miliknya yang kembar itu masih menggoda di hadapanku. Saat aku dekati, wajah bahagia Dilla pudar seketika, berganti dengan rasa cemas, was-was, dan gemetar, keringat dingin mulai membasahi dahinya. Meski niatnya ingin menang dari Monica, kurasa saat ini Dilla menyesalinya. Dan aku ... tidak akan membiarkan Dilla lupa pada perkataannya. MENYUSU KAPANPUN AKU MAU. Aaarrrr!!
********
(PART SELANJUTNYA)
"Em ... Om! Jangan mendekatiku, dadaku bau bumbu, perkataanku tadi! Lupakan saja, ya!" harapku saat mata Om Dewo lekat menatap payudaraku.
"Aku bukan pria baik-baik, Dilla. Aku suka makan daging."
******
Ok, cukup. Jangan lupa tekan tombol love, komen, follow and share ya, Sayang. Terima kasih ....
Salam Dilla909
Bersambung ....