Scent of Petrichor 5b

1300 Kata
Setelah suasana canggung yang tercipta akibat sindiran Rocky untuk Ivy, percakapan masih berlangsung di antara gadis itu, Eldo, dan Scarlet selama beberapa saat lagi. Setelah beberapa lama, gadis itu menjauh dan membaur dengan keramaian yang lain. Jelas terlihat Ivy tidak nyaman berlama-lama berada dalam satu kumpulan dengan Rocky. “Kau ini! Apa tidak bisa bersikap lebih ramah padanya?” Scarlet langsung mengomeli Rocky setelah Ivy pergi menjauh. “Kalian lihat sendiri seperti apa sikapnya padaku?” sahut Rocky jengkel. Dia benar-benar dibuat tersinggung dengan kelakuan gadis itu yang menganggapnya tidak ada. “Apa dia menunjukkan sikap yang ramah? Bahkan terlihat mengenalku saja tidak.” Eldo mengembuskan napas berat sambil menggeleng prihatin. “Aku sungguh tidak mengerti dengan kalian. Kenapa bisa jadi serusak ini? Padahal dulu …, aku masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana dia selalu membuntutimu ke mana-mana.” Jika orang lain saja bisa melihatnya, terbayangkah bagaimana perasaan Rocky yang mengalaminya sendiri? Belasan tahun yang lalu, jangankan mengabaikan dan menganggap tidak ada, Ivy malah selalu terobsesi untuk membuntuti Rocky. Di mana saja Rocky berada, maka Ivy akan ada di situ juga. Apa saja yang Rocky lakukan, Ivy akan mengikuti. Ke mana saja Rocky pergi, Ivy akan membuntuti. Hal seperti ini sudah terjadi sejak pertama kali Rocky dan Ivy bertemu, yaitu 21 tahun yang lalu. Saat Rocky masih seorang remaja 13 tahun dan Ivy hanya balita berusia tiga tahun. >>> Akhir pekan kali ini sedikit berbeda dari biasanya. Jika biasanya hanya ada Rocky sendiri di rumah, atau ia dengan ayahnya saja, hari ini mereka kedatangan Kelly dan Ivy. Setelah menikmati makan siang bersama, Connor dan Kelly menghabiskan waktu dengan mengobrol sambil menonton televisi, sementara Rocky memilih berdiam diri di kamarnya dan merakit robot-robotan terbaru yang ayahnya belikan. Kesibukannya terganggu ketika Ivy tiba-tiba menyelinap ke kamarnya. "Ada apa?" tanya Rocky ketika melihat Ivy berdiri diam di dekat pintu.  Gadis kecil itu diam saja. Ia memang belum lancar berbicara. Rocky mencoba mengabaikan Ivy, namun karena merasa gadis kecil itu mengamatinya terus, ia jadi terganggu juga. "Kenapa menatapku terus seperti itu?" Ivy tetap diam. Hanya saja matanya terus menatap penuh minat pada bagian-bagian robot yang berserakan di lantai kamar Rocky. Rocky sadar kalau mungkin saja Ivy tertarik untuk bermain dengan robot-robotan miliknya, namun ia tidak mungkin memberikan itu. Ivy masih terlalu kecil. Robot-robotan Rocky bisa hancur di tangannya. Maka Rocky mencoba mencari mainan lain yang mungkin aman untuk gadis kecil itu. Pilihannya jatuh pada boneka berbentuk anjing berukuran kecil. Diambilnya boneka itu lalu mengulurkannya ke arah Ivy. "Kau mau ini?" Mata gadis itu berbinar lalu ia mengangguk senang. Rocky tersenyum ketika melihat Ivy meraih boneka yang ia tawarkan dengan antusias. "Kau suka?" Ivy mengangguk senang. Rocky kira Ivy akan segera pergi dari kamarnya, namun ternyata tidak. Gadis kecil itu terus diam di sana, mengamati semua hal yang Rocky lakukan. Ketika Rocky selesai bermain dan berniat keluar dari kamar, gadis kecil itu pun sontak mengikutinya berdiri. Ivy membuntuti langkah Rocky, ke mana saja remaja itu melangkah. Saat Rocky menuruni tangga menuju dapur untuk mengambil minum, Ivy ada di belakangnya. Saat Rocky menuju halaman belakang, teras depan, ruang baca, dan tempat-tempat lainnya, Ivy terus mengekori. "Kenapa mengikutiku terus?" tanya Rocky heran saat ia akan ke kamar kecil dan Ivy hampir ikut masuk juga bersamanya. Gadis kecil itu hanya diam saja. Menatap Rocky dengan matanya yang bening, membuat remaja itu luluh dan tidak bisa marah. “Tunggulah di sini, aku mau buang air kecil,” ujar Rocky sebelum menutup pintu kamar mandi. Ketika keluar dari kamar mandi dan mendapati Ivy masih berdiri menungguinya, Rocky hanya bisa menggeleng pasrah.  “Kau mau kugendong?” Rocky merentangkan tangan ke arah Ivy. Tanpa ragu gadis kecil itu langsung mendekat dan mengangkat kedua tangannya.  Seperti itulah awal kedekatan mereka. Ketika akhirnya kedua orang tua mereka menikah, Rocky dan Ivy jadi tidak dapat dipisahkan. Jika Rocky sedang tidak ada di rumah, Kelly bisa sampai kewalahan karena Ivy akan terus menangis mencari kakaknya.  Bertahun-tahun setelah itu pun, sikap posesif Ivy terhadap Rocky tidak juga berkurang, malah semakin menjadi. Suatu kali, Rocky pernah sampai dibuat kewalahan karena Ivy berulah di sekolah. “Siapa yang menangis?” tanya salah satu teman Rocky saat mereka sedang duduk-duduk di taman pada jam istirahat sekolah. “Kedengarannya seperti suara anak kecil,” ujar teman Rocky yang lain. Rocky menajamkan telinga untuk mendengarkan suara itu, lalu seketika menyadari bahwa itu adalah suara yang sangat ia kenal. Seketika ia berdiri dan berlari mencari asal suara tersebut. “Rocky, kau mau ke mana?” seru temannya. “Sebentar!” teriak Rocky sambil terus berlari. Akhirnya ia menemukan asal suara tangis itu. Benar saja dugaannya. Di pagar pembatas yang memisahkan antara bagian kindergarten dengan junior high school, ada Ivy yang tengah menangis kencang. Cepat-cepat Rocky menghampiri adiknya. “Quinny? Kenapa menangis?” “Rocky!” seru Ivy sambil terisak-isak. “Rocky, siapa anak perempuan ini?” tanya teman Rocky yang ternyata mengikutinya berlari tadi. “Adikku,” sahut Rocky. Ia melompati pagar pembatas yang hanya setinggi pinggang itu, lalu berjongkok untuk memeluk Ivy. “Quinny, kenapa kau di sini? Kenapa tidak pulang?” “Aku mencarimu,” sahut Ivy sedih.  “Kenapa mencariku? Mom tidak menjemputmu?” tanya Rocky khawatir. “Aku ingin pulang bersamamu. Seperti kemarin.” Sejak Ivy mulai bersekolah tahun lalu, gadis kecil itu memang dimasukkan ke sekolah yang sama dengan Rocky. Mereka memang selalu berangkat bersama, namun pulang secara terpisah, karena jam sekolah yang berbeda. Rocky tersenyum geli mendengar rengekan adiknya. “Quinny, aku tidak bisa pulang sekarang. Aku masih sekolah.” “Kemarin bisa.” Gadis kecil itu memberengut. “Kemarin itu ada acara khusus, jadi aku pulang awal. Tapi hari ini tidak.” Rocky mencoba memberi pengertian pada Ivy. “Tapi aku mau Rocky!” ujar Ivy keras kepala.  “Nanti kita akan bertemu di rumah, oke?” bujuk Rocky. “Aku tidak mau pulang! Aku mau ikut belajar denganmu!” Rocky menangkup pipi Ivy kemudian menggeleng. “Tidak bisa, Quinny.” Mendengar penolakan Rocky, tangis Ivy yang tadinya mulai reda kembali meledak. “Quinny, ayolah!” Rocky mulai kewalahan membujuk adiknya. Kalau saja ini bukan di sekolah, semua akan mudah. Tapi posisi Rocky saat ini sulit. Bukan karena ia takut ditertawakan, hanya saja peraturan sekolah memang ketat. “Jadilah anak baik. Berhenti menangis, oke?” Ivy masih terus menangis, meski tidak lagi terlalu kencang. “Aku janji akan menemanimu bermain hari ini.” Perlahan tangis Ivy semakin mereda. “Aku juga akan menemanimu tidur, bagaimana?” Rocky terus saja mengeluarkan rayuan yang kemungkinan besar akan menyenangkan Ivy. Seketika Ivy tersenyum cerah. “Kau janji?”  Seperti itulah Ivy kecil. Baginya, Rocky adalah segalanya. Namun itu dulu. Sekarang tidak lagi. Meski mengatakan tidak peduli, hati Rocky tidak bisa berbohong. Matanya tidak lepas mengamati Ivy sejak tadi. Ia bisa bebas melakukannya karena Scarlet sudah sibuk diboyong oleh Eldo, kalau tidak, kedua orang itu pasti akan mengejeknya habis-habisan.  Akhirnya setelah bergelut dengan gengsi selama beberapa waktu, Rocky menyerah. Didekatinya Ivy yang berdiri sendirian di salah satu sudut, masih menunggu pintu teater dibuka. “Sepertinya kau terlihat tidak nyaman.” “Bukan urusanmu,” balas Ivy ketus.  “Di dalam nanti, duduklah di sebelah Scarlet, pakai tempatku. Aku tahu kau tidak nyaman duduk di sebelah orang asing.” Entah mengapa ia harus peduli, tapi Rocky tidak bisa menahan dirinya untuk melakukan itu. Ivy tersenyum sinis. “Jangan berlagak paling tahu tentangku.” “Kenyataannya aku memang tahu. Semua tentangmu aku tahu,” sahut Rocky tenang.  “Jangan membual.” Ivy mendengkus kasar. Rocky mendekatkan bibirnya ke telinga Ivy dan berbisik, “kau lupa kalau aku yang mengurusmu sejak kecil? Mana mungkin aku tidak tahu semua tentangmu.” Embusan napas Rocky di telinganya membuat Ivy terkejut. Sontak ia menjauhkan kepalanya sambil mendelik tajam. “Kau terlalu percaya diri. Yang kau kenal adalah gadis yang berbeda. Bukan aku.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN