"Apakah tidak ada sesuatu yang ingin kau sampaikan?" Rocky bertanya pada Scarlet yang berdiri di sisinya. Keduanya sedang berdiri di backstage, menyaksikan seorang stage director tengah memberikan arahan akhir pada para pemeran yang akan tampil di atas panggung malam ini. Rocky dan Scarlet sama-sama memiliki kepentingan masing-masing. Rocky selaku pimpinan dari agensi yang menaungi para talent, sementara Scarlet sebagai penulis skenario.
"Tidak.” Scarlet menggeleng cepat sementara pandangannya tetap lurus ke depan. “Kurasa apa yang dia sampaikan sudah cukup."
Rocky menyadari sesuatu yang aneh dengan wanita ini. Ia mencondongkan tubuh dan menoleh ke samping, mengamati ekspresi wajah Scarlet baik-baik. Delapan tahun mengenal wanita ini, mendampinginya sekian lama, membuat Rocky sangat memahami Scarlet. "Kau yakin?"
"Hm." Scarlet mengangguk kecil. Wajahnya tegang dan terlihat sedikit pucat.
Rocky merangkul pundak Scarlet dan menepuknya perlahan. “Ada apa denganmu, hm?”
Scarlet menoleh terkejut. Seolah baru tersadar dari lamunannya. Entah apa saja yang ia pikirkan sejak tadi. “Tidak ada apa-apa.”
“Jadi kau yakin tidak ingin mengatakan apa-apa?”
“Yakin.”
“Sama sekali?”
“Iya.”
"Tapi kau penulis skenarionya,” protes Rocky heran. “Masa tidak ada yang ingin kau sampaikan pada mereka?"
Scarlet menangkup pipinya sendiri dengan kedua tangan. "Aku terlalu tegang. Kau saja yang bicara."
Melihat Scarlet yang panik seperti ini, Rocky jadi ingin tertawa geli. Ia berpindah ke hadapan wanita itu lalu meraih tangannya.
"Astaga!" seru Rocky terkejut setelah menggenggam kedua belah tangan Scarlet. "Tanganmu memang dingin sekali."
"Aku serius, Rocky. Aku tegang sekali saat ini," bisik Scarlet gelisah.
Rocky menunduk dan meremas bahu Scarlet. "Oke, kalau begitu serahkan padaku."
Setelah mengatakan itu, ia meninggalkan Scarlet dan berjalan ke tengah lingkaran, tempat para pemeran teater sedang berkumpul. Rocky bertepuk tangan sekali untuk meminta perhatian mereka. "Semua sudah siap?"
"Sudah, Sir!" jawab mereka serempak.
Rocky tersenyum puas melihat semangat mereka. "Ingat, rileks saja. Lakukan semua seperti yang sudah kalian latih selama beberapa pekan. Fokus dan tetap tenang."
Berdiri di hadapan para talent dari agensi yang ia asuh, sudah menjadi hal biasa bagi Rocky. Ia tidak lagi merasa canggung atau tegang. Dan Rocky juga selalu berhasil membuat anak-anak asuhnya merasa tenang dengan kata-kata penyemangat yang ia berikan.
"Kalian bisa?" ujar Rocky setelah mengakhiri pesan-pesannya.
"Ya, Sir!"
"Kalau begitu, aku akan bergabung dengan para undangan. Kupercayakan panggung ke tangan kalian malam ini.” Rocky mengajak semua pemain untuk berangkulan bersama sebelum meninggalkan mereka. "Setelah semua selesai, kita akan berpesta!"
Rocky meninggalkan kerumunan dan kembali pada Scarlet. "Sekarang saatnya aku mengajakmu menunjukkan diri pada dunia."
Scarlet mendengkus geli. "Kau berlebihan."
"Aku serius. Di luar sana banyak orang-orang dari industri hiburan yang mungkin saja akan jatuh cinta pada karyamu."
"Kau membuatku mulas saja." Kata-kata Rocky membuat Scarlet kembali teringat bahwa ini adalah pertunjukan perdana yang digarap olehnya. Eldo menepati janji untuk mengizinkan Scarlet melakukan apa saja yang ia inginkan, termasuk mengadakan sebuah pertunjukan teater seperti yang sebentar lagi akan berlangsung.
"Oh, ayolah! Ke mana perginya Valenzka Savannah yang tidak kenal takut?" ejek Rocky geli.
"Shh!" Scarlet mendelik ngeri dan refleks mencengkeram tangan Rocky sambil menoleh ke kiri kanan. "Perhatikan kata-katamu!"
Rocky ikut menoleh ke kiri kanan dan tertawa geli ketika merasa situasi aman. "Tidak ada yang dengar."
Keduanya terus berbincang dalam perjalanan menuju hall tempat para tamu undangan berkumpul sebelum pintu teater dibuka.
"Rocky, aku takut," bisik Scarlet gentar ketika melihat para undangan yang sudah memenuhi hall.
Rocky mengulurkan lengannya ke arah Scarlet. "Pegang tanganku!"
Tanpa ragu Scarlet langsung meraihnya. "Rasanya jauh lebih baik."
Sejak dulu, hingga saat ini, Rocky selalu bisa diandalkan. Pria ini tidak ubahnya bagai seorang kakak yang selalu melindungi Scarlet. Selalu ada menemani di saat Scarlet membutuhkan kehadirannya.
"Kuharap Eldo tidak akan mencincang tanganku," goda Rocky geli ketika merasakan betapa eratnya Scarlet melingkarkan tangan di lengannya.
"Dia tidak akan begitu," balas Scarlet cepat.
"Ke mana suamimu itu?" gerutu Rocky sebal. Seharusnya Eldo sudah tiba sejak tadi. Mengapa di saat sepenting ini pria itu malah tidak ada? "Seharusnya ini jadi tugasnya, bukan aku."
Tepat ketika Rocky mencarinya, sosok Eldo muncul.
"Itu Eldo!” seru Scarlet.
“Mana?” Rocky langsung mencari dengan matanya.
“Di sana!" Tunjuk Scarlet ke arah pintu.
“Akhirnya dia datang,” desah Rocky lega. Ia tahu, dalam situasi seperti ini, Scarlet sangat membutuhkan kehadiran suaminya meski wanita itu tidak mengatakan apa-apa.
"Maaf terlambat." Eldo langsung meraih pinggang Scarlet dan mendaratkan kecupan manis di pipi sang istri.
"Ada masalah?" tanya Scarlet cemas.
"Hanya sedikit perdebatan kecil dengan jagoan kita." Eldo menepuk pundak Ocean yang berdiri di sisinya.
"Kenapa kalian berdebat lagi?" tanya Scarlet geli.
"Aku hanya ingin memilih sendiri pakaianku," ujar Ocean membela diri.
"Jadi ini pilihanmu sendiri?" Rocky bertanya pada Ocean.
"Ya! Bukankah bagus?" ujar bocah itu bangga.
"Seleramu hebat!" puji Rocky.
"Rocky, bukankah itu Ivy?" ujar Scarlet tiba-tiba.
Rocky melihat ke arah yang Scarlet tunjuk. "Hm. Biarkan saja."
"Kau mengundangnya?" tanya Eldo.
"Tidak. Paling juga dia datang bersama orang lain."
"Kelihatannya dia sendiri," ujar Eldo setelah mengamati beberapa saat.
"Biar kupanggil ke sini," ujar Scarlet cepat.
"Tidak usah!" cegah Rocky.
"Terlambat!” sahut Scarlet geli sambil melambaikan tangan ke arah Ivy. “Dia sudah melihat kita."
"Kau datang juga," sapa Eldo begitu Ivy menghampiri mereka.
"Hm. Aku mendapat undangan dari salah satu pemain di pertunjukan hari ini." Sebagai seorang pelatih capoeira, Ivy memiliki banyak kenalan dari berbagai kalangan. Jadi tidak heran kalau ia bisa berada di sini.
"Pantas kau datang sendiri," sahut Eldo.
"Bergabung saja dengan kami,” ajak Scarlet.
“Tidak perlu, terima kasih," tolak Ivy cepat. Jika saja Scarlet tidak akan ke mana-mana bersama Rocky, Ivy mau saja bergabung dengan wanita itu. "Kalian pasti sibuk.”
“Kau yakin?” ujar Scarlet sedikit kecewa.
Ivy tersenyum manis. Jenis senyum yang akan ia tunjukkan pada semua orang kecuali satu. Rocky. “Tenang saja. Aku bukan orang yang akan canggung di tengah keramaian.”
Sementara Eldo dan Scarlet terlibat percakapan dengan Ivy, Rocky hanya bungkam. Ia hanya bisa memendam kekesalannya melihat ulah Scarlet. Kalau menuruti hati, inginnya Rocky segera berlalu saja dari situ agar tidak perlu berhadapan lebih lama dengan Ivy. Namun rasanya terlalu konyol. Hingga yang bisa ia lakukan hanya berdiri kaku, berusaha memasang wajah datar tanpa ekspresi.
Namun sosok yang Rocky hindari pun melakukan hal serupa. Jangankan untuk menyapa Rocky, menatap sekilas saja tidak. Gadis itu bersikap seolah Rocky tidak ada di sana. Menyadari hal itu, kejengkelan Rocky pun timbul. Tanpa dapat dicegah, sindiran kejam itu meluncur dari bibirnya. “Bagaimana akan canggung kalau keahlianmu menggaet pria-pria nakal.”
“Rocky …,” tegur Scarlet terkejut.
“Tenang saja. Di sini tempat untuk kalangan baik-baik. Bukan seleraku,” balas Ivy tenang. Sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda tersinggung.