“Kau suka?” Setelah mengamati Ivy dalam diam, pertanyaan itu lolos begitu saja dari bibir Rocky tanpa sempat dicegahnya.
“Aku bukan pemilih. Apa saja yang terhidang pasti aku makan,” sahut Ivy datar. Padahal jauh di dalam hatinya, Ivy ingin berkata kalau ia sangat suka. Sejak kecil, ia selalu suka dengan masakan Rocky. Dan ia rindu merasakan masakan buatan pria ini.
“Aku hanya ingin tahu pendapatmu. Enak atau tidak?” tanya Rocky lagi.
“Pentingkah pendapatku?” tanya Ivy skeptis.
“Percuma bicara denganmu.” Rocky menggeleng lelah. Ia memutuskan lebih baik tidak bertanya lagi. “Sudah lanjutkan saja makanmu.”
Rocky menunduk dalam sambil mengusap pelipisnya. Bagaimana bisa hubungan mereka jadi seburuk ini? Ia rindu kedekatan mereka yang dulu.
>>> “Rocky ….”
Bisikan lirih itu mengganggu tidur lelap Rocky. Susah payah ia berusaha membuka matanya, meski tanpa melihat pun Rocky sudah tahu siapa yang membangunkannya.
“Rocky ….”
Panggilan itu kembali terdengar, disusul dengan guncangan pelan di bahu. Rocky membuka matanya sedikit dan melihat sosok gadis kecil yang berdiri di sisi tempat tidurnya. Rocky beringsut ke tengah dan menepuk tempat tidurnya, memberi tanda agar Ivy naik lalu bertanya dengan suara mengantuk. “Quinny …, kenapa tidak tidur?”
Melihat Rocky menggeser tubuhnya, Ivy langsung memanjat tempat tidur sang kakak. Duduk di atas tempat tidur memudahkan Ivy untuk membangunkan Rocky dengan lebih ganas. “Ayo, bangun!”
“Ada apa?”
“Bangun!” paksa Ivy terus.
Rocky mengembuskan napasnya perlahan lalu melirik jam di dinding. Baru pukul satu dini hari. “Kenapa membangunkan aku? Ini masih waktunya tidur.”
“Aku lapar …,” bisik gadis kecil itu malu-malu.
“Hah?” Sontak Rocky tertawa mendengar jawaban Ivy.
“Aku lapar dan ingin makan,” rengek gadis kecil itu sambil memegangi perutnya.
“Lalu kenapa membangunkan aku?” tanya Rocky geli. “Harusnya kau bangunkan Mom?”
Sejak Connor menikah dengan Kelly dua tahun yang lalu, Rocky pun ikut memanggil wanita itu dengan sebutan Mom, sama seperti Ivy. Hal itu dilakukan agar Ivy tidak mengalami kebingungan, karena gadis kecil memang benar-benar mengira jika Connor adalah ayahnya dan Rocky kakaknya.
Ivy menggeleng sambil mengerucutkan bibirnya. “Aku takut Mom marah.”
Rocky menjawil pipi Ivy dengan gemas. “Tapi kau tidak takut aku akan marah?”
“Tidak. Kau selalu baik.” Ivy menjawab dengan senyum lebarnya yang menggemaskan.
Dua tahun menjadi sebuah keluarga, hubungan Rocky dan Ivy memang sangat dekat. Gadis kecil itu begitu menyukai kakaknya dan selalu ingin menghabiskan waktu bersama. Ivy selalu berkeliaran di sekitar Rocky sambil menatap sang kakak dengan pandangan memuja. Bagi Ivy, Rocky adalah segalanya. Kakak terbaik yang sangat hebat.
“Kau ini!” Rocky tertawa geli sambil mencubit kedua belah pipi Ivy yang bulat menggemaskan.
“Ayo, temani aku ke bawah! Aku sangat lapar,” rengek Ivy lagi.
“Memangnya tadi kau tidak makan?” tanya Rocky heran. Bukan baru satu kali hal seperti ini terjadi. Kapan saja Ivy bisa merasa lapar, padahal bukan waktunya makan. Tidak heran jika pipinya menjadi tembam.
“Aku makan. Tapi aku lapar lagi,” aku Ivy tanpa malu. Lagi pula, anak kecil mana yang peduli pada rasa malu? Lapar berarti makan. Haus berarti minum. Mengantuk berarti tidur. Sesederhana itu.
Rocky menjangkau tubuh mungil Ivy, menariknya sampai terjatuh, kemudian menggelitik perutnya. “Aku heran apa isi perut kecilmu ini, Little Quinny!”
“Rocky, geli!” jerit Ivy spontan.
“Shh! Jangan berisik!” Cepat-cepat Rocky membekap mulut Ivy. “Nanti Dad dan Mom bangun.”
“Ops! Maaf …,” ujar Ivy sambil meringis lucu.
Rocky beringsut bangun lalu melompat turun dari tempat tidur. “Ayo, kutemani ke bawah!”
Direntangkannya tangan ke arah Ivy, menawarkan tumpangan untuk menggendong gadis kecil itu sampai ke bawah. Tanpa sungkan Ivy langsung menghambur ke pelukan Rocky dan mengalungkan tangan di leher remaja itu.
“Kau ingin makan apa?” tanya Rocky sambil menggendong Ivy menuju dapur di lantai bawah. Meski Ivy banyak makan, tubuh gadis kecil berusia lima tahun itu terasa ringan untuk Rocky. Ia sama sekali tidak merasa kesulitan untuk membawa adiknya dalam gendongan.
“Tidak tahu. Apa saja,” jawab Ivy ceria. Makan apa saja tidak masalah, yang penting ada Rocky menemani.
“Coba kita lihat apa yang bisa kau makan,” ujar Rocky sambil memeriksa isi lemari makan juga lemari pendingin.
“Es krim?” usul Ivy dengan mata berbinar.
“No!” Rocky langsung menggeleng tegas. “Kau bisa sakit perut.”
“Cokelat?” Kini Ivy mengedip penuh harap.
“No, Quinny!” Rocky kembali menggeleng sambil mengulum senyum. “Gigimu bisa bolong.”
Ivy mengerucut sedih, namun masih mencoba lagi. “Keripik kentang?”
“Astaga!” Rocky terkekeh geli. Dibawanya Ivy ke meja makan dan mendudukkan gadis kecil itu di kursi. Ditepuknya kepala Ivy penuh sayang. “Duduklah diam-diam di sini. Aku akan buatkan sesuatu untukmu.”
“Kau bisa memasak?” tanya Ivy takjub.
“Sedikit.” Dipaksa menjadi dewasa sejak kecil membuat remaja 15 tahun ini bisa mengurus semua keperluannya sendiri, termasuk urusan perut. Memasak menu sederhana hanya untuk makan sehari-hari saja, Rocky bisa melakukannya.
Rocky hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk mengolah mac n’ cheese, menu sederhana yang pastinya disukai anak-anak kecil. Ketika membawa piring berisi makanan ke meja makan, Rocky tersenyum geli melihat Ivy yang menunggunya dengan sabar.
“Sudah jadi. Ayo, makanlah!” Rocky duduk di samping Ivy untuk menemaninya makan.
Mata Ivy berbinar melihat sajian menggiurkan di hadapannya. “Rocky hebat!”
Rocky tersenyum senang melihat Ivy melahap masakannya dengan penuh semangat. Dibersihkannya sekitar bibir Ivy yang berlepotan keju sambil bertanya. “Kau suka?”
“Suka!”
“Enak?”
“Sangat enak!” Gadis kecil itu mengacungkan kedua jempolnya. “Rocky yang paling hebat!”
Rocky menggeleng geli melihat kelakuan Ivy. Tingkah gadis kecil ini selalu berhasil menciptakan senyum di wajah Rocky. Kepolosannya membawa keceriaan di rumah ini yang dulu selalu sepi.
Melihat Rocky menatapnya terus, Ivy menyodorkan sesendok penuh makanannya ke depan mulut Rocky. “Kau mau?”
“Untukmu saja.” Rocky menggeleng pelan sambil menepuk kepala Ivy. “Makanlah yang kenyang.”
“Ah ..., kenyangnya!” ujar Ivy senang setelah makanan di piringnya tandas.
Rocky tertawa geli dan menjawil pipi Ivy. “Pipimu gembul sekali.”
“Perutku juga buncit.” Dengan bangga Ivy memamerkan perutnya.
Rocky kembali tertawa dan mengacak rambut Ivy. “Ya, kau gadis kecil yang buncit.”
Setelah itu Rocky kembali menggendong Ivy dan membawanya menaiki tangga. Membawanya ke kamar gadis kecil itu lalu menurunkan Ivy di tempat tidur. Diselimutinya sang adik, kemudian memberikan satu kecupan manis di puncak kepalanya. “Sekarang saatnya kau kembali tidur. Aku juga ingin tidur lagi. Besok kita harus sekolah.”
“Rocky …,” gumam Ivy malu-malu sambil menarik ujung pakaian Rocky.
“Hm?”
Ivy merentangkan tangan ke arah Rocky.
“Kau ingin digendong?” tanya Rocky bingung.
Gadis kecil itu menggeleng. “Peluk,” pintanya.
Rocky menuruti keinginan Ivy dan menunduk untuk memeluknya.
“Rocky sangat baik. Aku sangat sayang padamu,” ujar Ivy sambil mendaratkan kecupan di pipi sang kakak.
“Tidurlah, Little Quinny,” bisik Rocky lembut. Entah mengapa ia suka sekali memanggil Ivy dengan sebutan Little Quinny. Baginya, panggilan itu spesial. Hanya dirinya yang memanggil Ivy seperti itu. Quinny untuk Quinnette, nama belakang Ivy.
“Apa malam ini kau sayang padaku?” tanya Ivy sambil menatap Rocky malu-malu.
“Tentu. Aku selalu sayang padamu.”
“Seberapa sayang?”
“Sangat sayang.”
“Kalau begitu, mau temani aku tidur?” pinta Ivy penuh harap.
Rocky menggeleng geli. Entah sudah sesering apa Ivy meminta tidur bersamanya. Terkadang di kamar Ivy, sesekali di kamar Rocky. Namun Rocky tidak pernah bisa menolak permintaan Ivy. Tatapan mata gadis kecil itu selalu membuat Rocky luluh.
Perlahan ia naik ke tempat tidur Ivy dan berbaring di sisi gadis kecil itu. Dipeluknya Ivy penuh sayang sambil menepuk lembut punggungnnya.
“Sampai sebesar apa kau akan terus minta ditemani, hm?” gumam Rocky pelan.
“Kenapa menatapku terus?”
Pertanyaan bernada dingin dari gadis di hadapannya membuat Rocky tersadar dari lamunan indah. Ivy kecilnya yang manis berubah menjadi gadis pembangkang yang selalu membuat Rocky sakit kepala.
“Tidak ada alasan,” jawab Rocky tenang. “Aku hanya ingin melihatmu makan. Itu saja.”
“Aneh.”
“Kau terlalu kurus, seperti tidak terurus.” Jika teringat betapa bulat pipi Ivy saat kecil dulu, sedih rasanya melihat wajah gadis ini sekarang. Tirus dan pucat. Tidak ada lagi jejak-jejak keceriaan yang dulu selalu menghangatkan hati semua orang.
“Pada kenyataannya memang begitu. Aku tidak memiliki siapa-siapa yang bisa mengurusku,” ujar Ivy getir.
“Kau punya. Tapi kau menolaknya,” bisik Rocky.
“Apa?” tanya Ivy.
“Lupakan.” Rocky menggeleng lalu cepat-cepat bangkit dari kursi. “Aku pergi.”
“Kukira kau ingin membicarakan sesuatu denganku,” ujar Ivy untuk menahan Rocky.
“Tadinya begitu, tapi tidak jadi. Aku sadar, tidak ada pembahasan apa pun yang berjalan lancar di antara kita.”