Scent of Petrichor 4a

1146 Kata
Pagi harinya Ivy terbangun dengan kepala berat. Semalam ia terlalu banyak menangis sampai jatuh tertidur, dan inilah akibatnya. Sakit kepalanya selalu kambuh setiap kali ia menangis sampai tertidur. Ketika ia beringsut bangun, selimut yang menutupi tubuhnya terjatuh ke pangkuan. Ivy mengerutkan kening. Ivy ingat dengan jelas kalau semalam ia tertidur tanpa mengenakan selimut. Setengah panik ia memeriksa pakaiannya. Pakaian seksi yang sangat minim, yang sengaja ia pilih untuk membangkitkan gairah para p****************g semalam. Baik atasan mau pun bawahan yang ia kenakan, masih melekat dengan baik. Artinya tidak ada yang membukanya selama ia terlelap.  Tidak ingin terlalu ambil pusing, Ivy memutuskan mengabaikan hal itu dan turun dari tempat tidur dengan tenang. Namun belum lagi kakinya menjejak lantai, Ivy kembali merasa kebingungan. Kamarnya sudah rapi. Tidak ada pecahan kaca, tidak ada barang berserakan. Semua hampir sama seperti biasa, kecuali bagian cermin yang masih kosong. Ada yang salah di sini. Ivy merasa perlu memeriksa kediamannya secepat mungkin karena sepertinya ada orang lain di tempat ini selain dirinya. Cepat-cepat ia membersihkan diri di kamar mandi dan berganti pakaian dengan sesuatu yang layak. Setelah itu, Ivy langsung keluar dari kamar. Kecurigaan Ivy semakin menjadi ketika mencium aroma masakan dari lantai bawah. Saat menuruni tangga, ia bisa melihat Rocky yang sedang berkutat di pantry.  Langkah Ivy terhenti seketika. Entah kapan terakhir kalinya ia melihat Rocky berdiri di pantry dan memasak untuknya. Keberadaan pria itu pagi ini membuat Ivy jadi bertanya-tanya, apakah orang yang menyelimutinya semalam dan merapikan kamarnya adalah Rocky? Membayangkan Rocky melihatnya dalam keadaan setengah telanjang sambil tertidur, membuat Ivy merasa luar biasa malu. Ia mengutuk dirinya sendiri yang begitu ceroboh dan d***u. Bisa-bisanya ia tertidur tanpa berganti pakaian. Bisa-bisanya juga ia tidak mengunci pintu. Bodoh! “Kenapa diam saja di sana?” tegur Rocky dari bawah.  "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Ivy sambil kembali melangkah menuruni tangga. "Memangnya aku tidak boleh ada di sini?” balas Rocky datar sementara mata dan tangannya tetap fokus mengolah makanan. “Kukira tempat ini masih milikku." "Tempat ini memang milikmu. Aku tidak lupa itu," sindir Ivy. Rocky menatap sekilas pada Ivy yang kini sudah berada di anak tangga terbawah. "Kalau begitu, apa jadi masalah aku di sini?" "Terserah kau saja. Lakukan sesukamu," ujar gadis itu dingin lalu langsung memutar tubuhnya untuk kembali menaiki tangga. "Ivy …," panggil Rocky. Gadis itu berhenti melangkah dan menoleh ke arah Rocky, menatapnya dengan pandangan bertanya. "Hm?" "Duduklah di sini." Rocky mengedik ke arah meja makan. Ivy memicingkan mata curiga. "Kau ingin memarahiku lagi?" "Bukan." "Menceramahiku?" tanya Ivy sinis. Rocky mengembuskan napas perlahan mendengar pertanyaan-pertanyaan bernada tuduhan yang Ivy lontarkan. Ia mencoba bersabar dan menjawab pelan. "Bukan." "Mengajakku berdebat?" tanya Ivy lagi dengan lebih sinis. "Duduk sajalah dan jangan banyak bertanya!” Akhirnya Rocky mengerang kesal. Lelah juga mencoba bersabar menghadapi gadis ini. “Aku hanya ingin menyuruhmu makan." Ivy mendengkus geli tapi perlahan ia berjalan juga menuju meja makan. "Aku tidak salah dengar?" Rocky mendelik tidak percaya. Gadis ini benar-benar penuh kecurigaan. Akhirnya ia tidak tahan lagi untuk bersikap sabar. Dibalasnya juga sindiran gadis itu dengan ketus. "Sejak kapan kau mengalami gangguan pendengaran?" "Sudah lama," balas Ivy tidak peduli. Ditariknya kursi dan duduk dengan asal. "Pantas kau selalu melakukan hal yang dilarang," ujar Rocky kejam. Ivy mendelik mendengar ucapan Rocky. "Kau bilang tidak ingin mengajakku berdebat." "Tadinya begitu.” Rocky mengangkat bahunya sebal. “Tapi kau yang duluan memulai." "Aku? Apa salahku?" sahut Ivy berlagak tidak mengerti.  Rocky menatap tidak percaya pada Ivy. Gadis ini benar-benar tahu caranya membuat orang kesal. Sebaik apa pun Rocky mencoba menunjukkan sikap kompromi, Ivy mematahkan niatnya mentah-mentah. "Sudah diamlah!” seru Rocky kesal. Ia meletakkan makanan yang sudah selesai dimasak dengan kasar ke atas meja dan mendorongnya ke dekat Ivy. Ivy mengangkat sebelah alisnya. Memandangi piring di hadapannya dengan kecurigaan tinggi. “Kau tidak menaruh racun di dalamnya?” “Ya, Tuhan!” Rocky membuka apron yang ia kenakan dengan kasar dan membantingnya ke lantai. “Bisakah kau berhenti bersikap menyebalkan?” Ivy sedikit terkejut melihat reaksi Rocky. Sejak semalam pria ini begitu meledak-ledak. Apakah ia memang sudah sangat keterlaluan? Tapi bukan Ivy namanya jika ia berniat mengalah. Hanya sesaat saja perasaan bersalah menghinggapinya, sedetik kemudian gadis itu sudah kembali pada kekeraskepalaannya yang mutlak. “Aku hanya melakukan perlindungan diri. Berjaga dari segala kemungkinan yang bisa saja terjadi.” Rocky mendekat ke arah Ivy, memutari meja dan berhenti tepat di sisi gadis itu. Ia meletakkan satu tangannya di meja, sementara yang sebelah lagi di sandaran kursi. Lalu perlahan ia menunduk. Seketika Ivy menoleh terkejut mendapati wajah Rocky yang sudah sangat dekat dengan wajahnya sendiri. Ivy memundurkan wajahnya sambil menahan d**a Rocky dengan tangan. “Kau mau apa?” Rocky tidak peduli melihat kepanikan di wajah Ivy. Ditepisnya tangan gadis itu, bahkan menahannya di atas meja, sementara wajahnya terus didekatkan. Ia tahu gadis itu tidak bisa mundur kecuali Ivy memang ingin terjengkang dari kursi.  “Kau berpikir aku mungkin saja mencelakaimu?” bisiknya dengan nada geram. “Kenapa tidak?” balas Ivy dengan nada menantang. Ia berusaha terdengar berani padahal suaranya bergetar. Ivy lebih baik menghadapi Rocky yang mengamuk-amuk dan galak, daripada sikapnya yang mengintimidasi seperti ini.  Sebelah tangannya yang sejak tadi diletakkan di sandaran kursi, kini Rocky letakkan di wajah Ivy. Perlahan ia menyusuri wajah gadis itu, kemudian berakhir dengan mencengkeram dagu Ivy. Tidak keras, tapi cukup untuk membuat Ivy merasa terancam. “Dari semua orang yang kau kenal, mungkin aku adalah orang terakhir yang berniat mencelakaimu.” Ivy menepis tangan Rocky dan mendelik tajam. “Apa jaminannya?” Rocky terdiam cukup lama. Memandangi gadis di hadapannya dengan perasaan campur aduk. Setelah beberapa saat, ia menegakkan kembali tubuhnya lalu meninggalkan kursi gadis itu. Rocky berjalan menuju sisi meja yang satu lagi lalu duduk di seberang gadis itu. “Aku lelah berdebat,” ujarnya pelan. “Tolong makan saja apa yang sudah kusiapkan untukmu.” Mungkin Ivy juga merasakan hal yang sama. Lelah berdebat dengan Rocky sejak semalam. Akhirnya gadis itu menyerah. Ia menarik piring berisi makanan yang Rocky suguhkan, lalu mengambil sendok. Dibawanya satu suapan ke dalam mulut, lalu mengunyahnya tanpa bicara apa-apa lagi. Rocky juga terdiam. Sibuk mengamati gadis itu saat makan. Sejujurnya, ada rasa rindu yang muncul di hati Rocky. Dulu sekali, momen seperti ini selalu menjadi saat-saat yang menyenangkan. Ia akan dengan senang hati memasak untuk Ivy dan gadis itu akan menikmatinya dengan lahap. Mereka akan mengobrol sepanjang duduk di meja makan, bertukar cerita dan saling bercanda. Tapi kini, semua itu terasa jauh. Bahkan terkadang rasanya hanya seperti halusinasi. Hal yang tidak pernah terjadi, tidak nyata, dan hanya ada dalam bayangan Rocky saja. Ivy yang duduk di hadapannya saat ini, bukanlah gadis kecil yang dulu. Ivy bukan lagi gadis manis yang selalu menatapnya dengan penuh kekaguman, bukan lagi gadis lugu yang selalu mencarinya setiap waktu. Ivy yang sekarang hanyalah musuh yang tidak bisa Rocky jangkau. Meski begitu, sulit rasanya bagi Rocky untuk berhenti peduli.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN