4. Cita-Cita Si Upil

1722 Kata
Seperti gerobak nyangkut di kubangan, cerita juga kadang harus mundur dulu biar bisa maju. Supaya kenal dengan Djatmiko lebih dekat, mari kita berkelana 26 tahun kebelakang. Di musim panas bulan Mei, Patri yang kala itu berumur masih belia hanya 17 tahun, harus beradu nyawa untuk melahirkan sang tokoh fenomenal yang nanti akan menjadi pelaku utama cerita perwayangan kita ini. “Iya, Bu…Tterus, Bu… Maju dikit, bu…yak yak…. Maju lagi, Bu… Terus terus… terus dikit lagi, Bu…,” aba-aba seorang bidan mirip dengan kenek supir truk. “Terus… terus! Terus kemana? Emang aku ngelahirin bayi metro mini apa? Aduuhhh…. Heeeghhh…..fuh fuh fuh…. Heeeghhh….,” balas Patri ngeden sekuat tenaga sambil menahan untuk tidak beol. Sang bidan cengengesan. “Hehehe iya, Bu… Maksudnya… bentar lagi, Bu… Ayo, Bu. Pasti bisa, kok…. Semangat!” lanjut Sang Bidan sambil mengacungkan tangannya yang terkepal keatas ala-ala pahlawan. “Semangat… semangat… Emang saya lagi lomba makan krupuk buat tujuh belasan apa ya? Heeeggghhhh…. Fuh fuh fuh… Heeeeghhhhh!!! Aduh…. Bu Bidan! Ini bayi orang apa bayi gajah sih, kok susah banget disuru kluar?” jerit Patri mulai bercucuran peluh. Sudah enam jam Patri berjuang untuk melahirkan sang jabang bayi, yang sepertinya terlalu betah berada di dalam perutnya dan menolak pulang sebelum subuh…eh maksudnya menolak untuk lahir. Mungkin, si jabang bayi sadar, bahwa dunia itu kejam dan memutuskan untuk tinggal di dalam balutan kehangatan ibunya. “Dimana sih Bang Didi?” tanya Patri ke arah wanita lain yang ada di dalam ruangan itu. Warni, Ibu Patri, sedang mengelap dahi Patri yang bercucuran keringat. “Bapak mu juga lagi nyariin, Nduk. Entah kemana suamimu itu pergi. Dari pagi belum juga balik. Tadi sih katanya mau pergi beli rokok ke warung. Masa sudah lima jam nggak balik-balik. Wong warungnya didepan gang loh.” Patri mencengkeram ujung selimut yang menutupi bagian bawah badannya sambil menggeram. Suaminya itu memang sudah menunjukkan gelagat tidak enak beberapa hari terakhir. Berkali-kali Didi mengutarakan niatnya untuk mencari nafkah diluar negri. Pingin jadi TKI macem tetangga sebelah rumah, katanya. Kerja beberapa tahun, lalu pulang bawa dolar. Hidup enak di rumah gedong. Jangan-jangan si kampret itu bener-bener melanjutkan niatnya untuk jadi TKI, geram Patri.  Perutnya yang mulai mules lagi, mau tidak mau mengalihkan perhatiannya. “Addduuuuuuhhh…. Mules lagi, Bu…. Fuh fuh fuh… Heeeeggghhhh….. ini semangka apa kepala bayi sih? Gede beneeeeeerrrrrhhheeeeggghhhhh!!!!” “Bagus, Bu… iya iya bentar lagi, Bu… Sekali lagi.. ayo…a—” Tapi Patri sudah sangat kesakitan. Dan sang jabang bayi belum juga menampakkan ujung kepalanya. “Sekali sekali dari tadi sekali lagi udah berapa kali. Sudah lah tarik aja tu rambut bayinya, biar cepet keluar!” sembur Patri ke Sang Bidan yang sebenarnya hanya mencoba untuk menyemangati. Melihat semprotan Patri, Sang Bidan muda tampak kebingungan. “Eh… ya nggak bisa, Bu. Bayinya nanti copot kepalanya gimana, donk…” “Sabar, Tri… Jangan sambil marah-marah. Nanti bayinya wajahnya juga jadi gak sabaran loh,” sela Warni  mengingatkan anaknya. Hal yang tidak dipikirkan oleh Patri kala itu, namun kemudian disesalinya di masa datang. Apalagi ketika gigi s**u Djatmiko yang rapi dan mungil copot. Dan di gantikan oleh gigi gajah yang membuat wajah bocah itu terlihat seperti speda motor merk Yamaha. Semakin terdepan. (Note: Penulis menerima endorse, silahkan hubungi author D.F.E jika ingin produk kalian di perkenalkan dalam nopel) (Note: ini bukan lawakan. Jangan ketawa!)   Kembali ke cerita… Patri mengeden. Keras. Sekali lagi, sebelum akhirnya terdengar suara ‘PLUP PLEKOTOK’ diikuti oleh suara tangisan yang meledak di dalam rumah sempit berdinding semen plasteran itu. Sang Bidan dengan cekatan langsung mengangkat si jabang bayi dari sela paha Patri, menjungkir balik kannya untuk mengeringkan sisa cairan ketuban yang menetes, sambil menggunting tali pusarnya. Setelah membalutnya dengan kain selimut, Bidan menyerahkan bayi itu kepada Patri. “Selamat, Bu. Putranya sudah lahir sempurna. Tidak kekurangan suatu apapun. Mau di beri nama siapa?” Patri meraih jabang bayi yang menjerit sekuat tenaga mirip klakson kereta api itu dengan perasaan bercampur aduk. Ia masih galau memikirkan tentang suaminya yang tidak kunjung muncul, tapi teriakan dalam dekapannya mau tidak mau harus membuatnya melupakan segalanya. Didalam benak wanita belia itu, kini hanya ada satu hal yang terlintas. Bahwa ia akan melakukan apapun untuk melihat bayi itu tumbuh. Melindunginya dengan sekuat tenaga. “Saya beri nama kamu Djatmiko. Iya. Djatmiko… Artinya anak yang sopan santun,” bisik Patri di telinga sang bayi yang membalas ucapannya dengan teriakan yang lebih keras, mungkin protes dengan keputusan Patri yang memberinya nama yang dimulai dengan kata JAT. Tapi berhubung Sang Jabang Bayi masih belum bisa ngomong, jadilah ia diberi nama Djatmiko oleh ibunya. *** Masa kecil Djatmiko di lalui oleh keluarganya dengan penuh perjuangan. Didi yang mendadak menghilang setelah beli rokok di depan gang, meninggalkan luka yang cukup besar dalam keluarganya. Dengan tidak ada nya sosok ayah dalam hidup Djatmiko, mau tidak mau kakek Djatmiko adalah sosok yang diidolakan oleh sang bocah. Karenanya ketika ayah Patri yang adalah seorang buruh tani meninggal mendadak ketika sedang menyangkul di sawah, Djatmiko yang ketika itu masih berumur 5 tahun menjadi orang yang merasa paling kehilangan. Apalagi  tak lama kemudian, Warni, Sang  Nenek, patah hati dan menyusul Sang Kakek ke surga. Menjadikan Djatmiko kini hanya tinggal berdua bersama Patri bahkan sebelum bocah itu berulang tahun yang ke enam. Perginya kedua orang tua Patri dalam waktu berdekatan, menjadikan wanita itu kini harus berjuang seorang diri untuk menghidupi keluarganya. Pekerjaan apapun di jalani oleh Patri asal halal. Mulai dari menjadi juru parkir, tukang setrika keliling, hingga pelayan warung pecel pernah di lakukannya. Dari pekerjaan yang terakhir lah, Patri akhirnya belajar untuk membuat nasi pecel yang kemudian dijualnya berkeliling memakai gendongan. Patri yang sekarang berumur belum genap 24 tahun, sudah terkenal sebagai janda kembang di desanya sejak lama. Keharuman dan keindahan sang janda kembang, sebetulnya cukup mengundang banyak kumbang beterbangan disekitar wanita itu, bahkan sejak Djatmiko masih kecil. Namun Patri yang sepertinya masih trauma, tidak terlalu menganggap lamaran demi lamaran yang masuk dan menyibukkan diri dengan mengurus anak tunggal yang disayanginya. Hingga… akhirnya ia bertemu dengan Janu. Janu memiliki wajah yang bisa dibilang biasa. Tidak terlalu tinggi tapi juga tidak terlalu pendek. Kulit sawo matang dengan rambut berekor yang sering di ikat macem kuda lumping. Beberapa tato terlihat menyembul dari lengannya, bekas masa mudanya yang adalah mantan preman di pasar-pasar malam. Kini sudah bertobat dan hidup lurus, Janu bekerja sebagai montir di salah satu bengkel yang sering dikunjungi oleh Patri di pagi hari untuk menjajakan dagangannya. “Pagi, Dek Patri,” sapa Janu yang hari ini berpakaian ekstra klimis bagi seorang montir. Kemeja digulung sesiku, celana jeans, rompi. Bahkan rambutnya yang panjang, hari ini diikat lebih tinggi dari biasanya. Hampir mirip pohon kelapa dari pada ekor kuda lumping. “Pagi juga, Mas. Seporsi nasi pecel? Seperti biasa?” tanya Patri menurunkan gendongan berisi dagangannya sementara Djatmiko yang mengikuti ibunya jualan sedang ngupil di sebelahnya. “Iya, Dek. Sekalian pake telor ceploknya ya. Telor ceplok Dek Patri itu…wuih… terenak gak ada duanya deh. Matengnya bisa pas, gak terlalu kering, tapi juga gak terlalu basah. Kalo di gigit… bles… kenyelnya passs!” Patri ngakak sambil mukul bahu Janu mendengar rayuan gombal pria itu. “Aduh Mas ini ngomongin apa sih. Masa telor ceplok aja sampe segitunya,” balas Patri mulai bersemu merah muda macem baju luntur. “Loh bener loh, Dek. Telornya Dek Patri selalu bikin Mas, jadi greng seharian. Eh… hehe… maksudnya bikin kenyang, Dek….” Janu menggaruk belakang kepalanya. Terlalu banyak ngomong tentang telor rupanya bikin telor Janu sendiri jadi kebangun. Apalagi ketika da-da Patri yang masih ngakak mulai bergoncang-goncang kesana kemari macem balon air dari balik kebaya ungu yang di pakainya. Patri langsung menunduk dan mulai meracik nasi pecel di atas daun pisang. Begitu selesai diserahkannya bungkusan itu ke Janu yang langsung menyantapnya sambil duduk di depan bengkel. Beberapa rekan Janu mulai muncul, dan ikut memesan sambil menggoda Patri. Membuat perhatian wanita itu beralih dari Janu. Hanya Djatmiko yang masih memelototi Janu yang sedang makan. Sedang mencari sosok pengganti ayah dan kakeknya, bocah berumur 7 tahun itu sepertinya melihat Janu sebagai pria yang hebat. Gimana tidak, lihat saja tato di tangan dan kuncir di belakang kepalanya yang berbeda dari pria lain. “Sudah makan belum kamu, Le?” tanya Janu kearah Djatmiko yang masih melongo melihat ke arah Janu. Satu tangan bocah itu masih berada di dalam hidungnya. Djatmiko mengangguk. “Sudah sekolah belum kamu?” lanjut Janu. Djatmiko menggeleng. “Lho kok belum. Umur berapa kamu ini?” Bocah itu mengeluarkan tangan dari hidungnya, dan mengangkat jemarinya membentuk angka tujuh. “Tujuh tahun sudah harusnya masuk SD,kan?” timpal Janu sedikit mual melihat jemari Djatmiko yang belepotan ingus. Djatmiko menyelipkan kembali telunjuk kanannya ke hidung. “Heh… Itu tangan keluarin dulu dari idung napa? Dari tadi nancep di situ nanti nyangkut loh," timpal Janu tidak tahan lagi. Djatmiko menurunkan tangannya dan mengelapkannya ke baju. Membuat telor ceplok yang baru mau di telan Janu, muncul lagi di mulutnya. “Kenapa blum sekolah kamu, Le?” Janu mengalihkan perhatiannya dari tangan Djatmiko dengan melanjutkan obrolan sepihaknya. Bocah itu kembali memasukkan tangannya ke hidung namun kali ini menjawab. “Ibu belum punya cukup uang buat daftar, Om,” jawabnya. “Aduh itu tangan masuk lagi ke hidung,” omel Janu membuat Djatmiko menyadari kelakuannya dan menarik tangannya keluar. “Nah gitu kan lebih ganteng,” puji Janu. “Ya udah, bilang ke ibumu, nanti om bantu buat biaya sekolahmu. Tapi kamu janji bantu om biar bisa jadi bapak mu ya!” Mendengar ucapan Janu, mata Djatmiko langsung membelalak. Jadi bapak? Pikir Djatmiko. Hidungnya yang pesek karena kebanyakan ngupil, kembang kempis kegirangan, sementara giginya yang sebagian ompong langsung nyengir. “Om mau jadi bapak ku?” tanya Djatmiko kegirangan. “Ya itu terserah ibumu. Kalau ibumu mau nikah sama om, kan om jadi bapak mu.” “Iya, Om. Siap, Om. Nanti Djatmiko paksa ibu buat nikahin om.” Dan itu lah awal dari cita-cita Djatmiko yang pertama. Memiliki seorang ayah. Atau lebih tepatnya,menjadikan Janu sebagai ayah barunya. (Note: Siapa yang nangis ehh.. ngakak baca cerita ini? Cung!)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN