5. Safitri Si Anak Pedagang Penthol

2548 Kata
Perjuangan Djatmiko kecil untuk menyatukan Janu dan ibunya rupanya tidaklah semulus pa-ha sapi perah yang habis di lulur. Patri, walaupun seorang janda, memiliki standar kualitas QC (atau Quality Control) yang tinggi. Mungkin karena pernikahan nya yang pertama berakhir kandas dengan mengenaskan, seperti pesawat yang gagal terbang landas, wanita itu kini lebih berhati -hati untuk tidak mudah termakan gombalan para pria. Dan Janu, sayangnya, memiliki reputasi sebagai perayu ulung. Terbukti dari deretan para mantan Janu, mulai dari anak pedagang penthol, si cantik Safira, hingga anak pak lurah, si bahenol Diana. Karena itulah, ketika Djatmiko menceritakan bahwa Janu hendak membiayai nya sekolah, wanita itu dengan wajah marah mendatangi bengkel tempat Janu bekerja. “Mas Janu!” panggil Patri. Ia menarik lengan Djatmiko dan mendorong bocah itu ke depan. “Ini Djatmiko bilang, Mas mau biayain dia sekolah?” Janu yang lagi siap-siap mau pulang malam itu, mendekati Patri sambil mengelap tangannya yang belepotan oli setelah bekerja seharian. “Leh… iya. Bener kok,” balas Janu kebingungan dengan wajah Patri yang cemberut mirip ikan sotong daripada ikan pari. “Eh kenapa kok malah marah, Dek? Salah aku apa?” “Denger ya, Mas. Aku tu mungkin cuman janda. Tapi aku nggak butuh sumbangan,” balas Patri dengan bibir melengos kesana kemari macem lagi ngunyah sirih. Untung saja Janu bisa menahan diri untuk tidak mendadak mencium bibir Patri yang menggoda berbalut sapuan lipstik kinclong merah mudanya. “Urusan anak ku biar aku yang ngatur,” lanjut Patri. “Orang luar nggak usah ikut campur. Selama ini aku baik karena Mas lang-ganan setia daganganku. Gak pernah protes walaupun kadang telorku suka keasinan, malah sekali jelas-jelas gosong, tapi masih juga di beli. Tapi ya cukup sejauh itu hubungan antara kita. Aku harap Mas enggak menganggap ada yang spesial!” Kata-kata Patri terasa bagaikan sambel gendoruwo yang pedesnya bikin mules dan mata panas. Sekuat tenaga Janu berusaha agar tidak menangis. Bayangkan, mau di taruh kemana ini wajah, jika sampai mantan preman sangar nangis geru-geru di depan seorang perempuan hanya karena kata-kata pedas. Bisa hilang imej pria kulkas Janu selama ini. “Eh engga kok, Dek. Sama sekali Mas gak kepikir untuk yang aneh-aneh. Jujur,” elak Janu terpaksa berbohong. “Aku cuman pengen lihat anak mu sekolah. Itu saja. Tidak ada yang lain. Suer!” Janu mengangkat dua jarinya keatas membentuk angka dua yang artinya ‘suer’, kalau ada yang gak paham. Melihat mata Janu yang mulai berkaca-kaca seperti habis keculek atau bahasa indonesianya, kecolok, Patri pun melunak. Wajah wanita itu yang tadinya kusut menjadi sedikit licin macem abis di setrika. Tak lama, wanita itu pun menjadi malu karena sudah mencak-mencak pada Janu yang rupanya notabene hanya ingin membantu. “Ya udah kalo gitu. Bantuan Mas aku anggep pinjeman. Walauun aku ngga bisa bayar balik dalam jangka waktu dekat, tapi aku pasti bayar. Nanti aku cicil, Mas. Setuju?” tanya Patri sambil merangkul Djatmiko yang dari tadi tidak paham dengan apa yang terjadi. Janu menghela nafas lega. Biarpun mantan preman yang sangar, tapi wajah Patri yang sedang marah cukup membuatnya ketakutan, tapi juga bersemangat. “I.. iya…tenang aja, Dek. Mau di cicil sampai kapan juga boleh. Toh gini-gini Mas juga banyak simpenan nya kok. Eh… simpenan uang maksudnya, ya. Bukan yang lain.” Patri ikut tertawa. Bukan karena Janu lucu. Tapi karena sungkan sudah marah-marah. Jujur menurut wanita itu, guyonan Janu terdengar garing. Segaring kripik tempe yang habis dijemur seharian. Beda dengan author cerita ini yang lawakannya segar dan menggairahkan macem es teler. “Mau aku antar pulang?” tawar Janu melihat kesempatan. Ia tidak melihat Patri dan Djatmiko menaiki kendaraan tadi dan ini sudah jam 6 sore. Tapi Patri menggeleng. “Ini mau ke alun-alun nemenin Djatmiko main dulu Mas. Dia ulang tahun hari ini trus minta diajak naik odong-odong.” “Oh… ayok, Mas anter. Sudah lama juga nih Mas nggak naik odong-odong,” celetuk Janu membuat Djatmiko ketawa. “Om emang masih muat naik odong-odong?” tanya Djatmiko nyengir, memperlihatkan gigi ompongnya. Belum nampak gejala-gejala gigi tongos yang muncul, menjadikan wajah bocah itu cukup menggemaskan walaupun belepotan ingus. “Asal yang ngayuh kuat, ya muat-muat aja.Bentar om ambil motor dulu.” Janu berlarian kecil kembali ke bengkel dan keluar lagi sambil menuntun sebuah motor dua tak. “Ayo naik,” ajak pria itu begitu mesin menyala. Patri menatap ke sepeda motor dengan alis mengkerut di tengah, nampak was-was. “Mas,” panggilnya. “Itu motor apa rokok, kok asepnya ngebul gitu?” celetuk wanita itu melirik ke bawah. “Oh… Iya, Dek. Motornya udah tua… maklum ya. Tapi jelek-jelek ini bisa diandalkan kok.” Melihat kepercayaan diri Janu dengan motor bututnya, akhirnya Patri luluh. Ia pun menaikkan anaknya dan dirinya sendiri ke atas motor, dan ngengg…. Motor pun berlalu dengan ketiga penumpang diatasnya. Menyusuri dinginnya kota kecil Madiun yang asri dan sepi. Berhubung Madiun hanyalah selebar daun kolor… eh maksudnya, kelor… (maaf typo, maklum otor kan lang-ganan typo), hanya butuh lima menit dan mereka pun sudah sampai di alun-alun. Suasana di alun-alun cukup ramai. Seperti biasa, pasar malam sudah di gelar dari sore. Membawa hiburan bagi penghuni kota Madiun yang ingin melepaskan penatnya setelah bekerja seharian. Kereta-keretaan bermesin, tampak sudah berjalan mengelilingi alun-alun. Lampu dari kereta yang berkelip-kelip membuat Janu merasa seolah sedang memandang bintang di langit malam. Sementara itu, sebuah kios yang menjual cd bajakan, kebetulan memasang lagu pop romantis di speakernya keras-keras. “Cinta akan kuberikan bagi hatimu yang damai Cintaku gelora asmara seindah lembayung senja Tiada ada yang kuasa melebihi Indahnya nikmat bercinta Cinta akan kuberikan bagi hatimu yang damai Cintaku gelora asmara seindah lembayung senja Tiada ada yang kuasa melebihi Indahnya nikmat bercinta Indahnya nikmat bercinta Indahnya nikmat bercinta” Benar-benar momen yang tepat untuk berkencan, pikir Janu. Seolah sudah melupakan peringatan Patri untuk tidak menginginkan hubungan lebih, pria itu pun memberanikan diri untuk mengajak Patri makan malam. “Ehem…,” deham Janu mencoba menenangkan jantungnya yang sedang berdisko. “Makan dulu yuk, Dek. Mas lapar banget. Itu, ada yang jual pecel lele enak disitu.” Patri yang bawa uang pas-pasan agak ragu untuk menjawab. Mau nolak gak enak. Mau nerima, tapi uang yang dibawanya cuman cukup buat naik odong-odong. Akhirnya, Patri pun mengangguk tapi memutuskan untuk tidak memesan apa-apa. Bahkan Djatmiko yang merengek minta dibelikan es jeruk, terpaksa puas hanya mendapatkan pelototan dari emak nya dengan mata mendelik yang mengisyaratkan, ‘Awas minta yang aneh-aneh, Mak tinggalin kamu di alun-alun biar diambil gembel!’ Isyarat yang sudah sering di layangkan Patri, hingga Djatmiko seketika paham dan tidak lagi merengek. “Udah pesan aja, Dek. Nanti Mas yang bayar,” ajak Janu yang kemudian memesankan es jeruk untuk Djatmiko dan ibunya lengkap dengan seporsi makanan. “Aduh… padahal nggak usah repot-repot, Mas. Kita sudah makan kok tadi di rumah,” tolak Patri malu-malu padahal ngiler. Apalagi ketika makanan datang dan di sodorkan di depan keduanya. Setelah saling lirik dan di paksa lagi oleh Janu, di embat lah juga makanan yang di pesan pria itu hingga ludes oleh sang ibu dan anak, hingga hanya menyisakan kepala si lele. Setelah kenyang, acara pun di lanjutkan oleh ketiganya dengan berbagai macam permainan. Mulai dari odong-odong yang sudah diincar oleh Djatmiko, kereta-keretaan, mobil-mobilan listrik, semua dijajal oleh bocah itu. Janu, yang kebetulan baru gajian, memaksa untuk membayar semua permainan yang di naiki oleh Djatmiko. “Sudah, biar Mas yang bayar dulu,” ucapnya setiap kali patri merogoh ke dalam tas hendak membayar. Membuat wanita itu merasa seperti sugar bebi yang sedang di bayari oleh CEO ala-ala kampung rambutan. Tapi Patri tidak memprotes. Wajah girang anaknya cukup membuat Patri menahan gengsinya malam itu. Sementara Djatmiko sedang menjerit-jerit keasikan naik mobil aki, Patri duduk di kursi plastik, menunggu di pinggir, bersama Janu. Udara bulan Mei yang panas, membuat Patri membuka jaket yang dari tadi dipakainya. Kini hanya mengenakan kaos oblong putih yang agak tipis, otomatis beha Patri yang warnanya hitam njiplak kentara. Janu, sebagai pria normal, tentu saja langsung salting…salah tingkah ya, bukan salah pu-ting. Pria itu mengalihkan pandangannya dari da-da Patri, ke Djatmiko yang sedang dengan sengaja nabraki mobil-mobilan yang di naiki anak lain yang sedang bermain. “Anakmu calon preman kayanya, Dek,” celetuk Janu melihat tingkah laku Djatmiko yang kini malah tertawa-tawa melihat mobil anak lain terguling karena di pepet olehnya. “Jangan ah, Mas. Aku punya harapan tinggi buat Djatmiko. Menurutku dia bakalan sukses nanti kalau sudah besar. Semoga saja bisa mengangkat hidup keluarganya.” “Iya…. Dia anak pintar kok. Sama kayak ibunya yang cerdas dan mandiri,” rayu Janu. “Ah bisa aja, Mas.” Patri kembali terlena oleh rayuan Janu. “Bener, Dek. Ibaratnya, kalau buku, dek Patri itu buku cerita detektif. Bikin penasaran sampai tamat.” Kembali Patri cengengesan, membuat Janu kian gencar. “Kalau tanaman, Dek Patri itu… ibaratnya tanaman krokot….” “Loh? Kok…?” celetuk Patri bingung. “Iya… Krokot kan tumbuhan liar, bisa hidup di mana saja dan kalau sudah berbunga… mawar juga kalah indahnya,” gombal Janu yang sepertinya sudah terlahir dengan bakat istimewa itu. Patri pun kini tidak bisa lagi menahan cekikikannya. Baru saja Janu hendak menambahkan micin ke sop rayuan gombalnya, mendadak sebuah suara panggilan mengalihkan perhatiannya. “Mas Janu! Mas!” Janu dan Patri pun sontak menoleh ke arah suara. Seorang gadis dengan rambut panjang sepinggang melambaikan tangan sambil berlarian. Memakai terusan lengan panjang, wajah gadis itu terlihat masih belia. Mungkin berumur belum genap 20, tebak Patri yang sekarang berumur 24. “Eh Dek Safi,” jawab janu begitu gadis itu mendekat. “Lagi jualan malam ini?” Gadis itu mengangguk sambil melirik ke arah Patri yang duduk disebelah Janu. Safi yang juga mantan Janu adalah gadis yang manis. Bermata lebar dan berbulu mata lentik. Tapi jika di bandingkan dengan Patri yang lebih bahenol. Safi jelas tidak ada apa-apanya. Matanya yang belo menatap sinis ke arah Patri. “Ini siapa, Mas?” tanya gadis itu. “Eh kenalkan ini Patri,” celetuk Janu menunjuk ke arah Patri. Safitri menyalami Patri sambil pura-pura tersenyum walaupun cemburu. “Safi ini tetangga ku. Bapaknya pedagang penthol—” “Masa cuman tetangga, sih Mas?” celetuk Safi memotong ucapan Janu. Wajahnya mendadak berubah menjadi sok manja. “Ih… Lupa ya… Mas dulu sering banget ke rumah cuman buat liatin aku milin-milin pentholku?” Baik Janu dan Patri mendelik mendengar ucapan Safi. “Heee mak..maksudnya… liatin Safi ini bikin penthol jajanan…, bukan yang lain lho, Dek…. Kita memang pernah pacaran, tapi itu juga paling makan bareng. Ngga lebih dari itu,” jelas Janu berusaha meluruskan ucapan Safi yang sengaja menjurus. Untung saja Djatmiko mendadak nongol, menyelamatkan Janu yang sedang kelabakan. “Penthol? Aku mau penthol!” Janu menggunakan kesempatan itu untuk kabur. Ia meraih lengan Djatmiko dan menggiringnya ke sepeda Safitri di pinggir jalan.  Asap mengepul dari dua buah kuali besar yang di pasang di sisi sepeda. “Bungkusin lima ribu, Dek Saf. Buat bocah kecil ini,” ucap Janu mengeluarkan dompetnya. Sementara menyiapkan penthol pesanan Janu, Safitri yang memang sudah lama sebenernya pingin balikan sama Janu, tidak berhenti melirik ke arah Patri yang berjalan mendekat. Sudah berulang kali Safitri sengaja mondar mandir depan rumah Janu. Cuman pake tank top sama celana pendek, dengan tujuan menggoda Janu, yang tanpa hasil. Kini melihat Patri, mau tidak mau rasa jeles itu muncul. Apalagi ketika pandangannya menatap da-da Patri yang padat, berbalut beha warna hitam. “Itu su-su apa bola voli sih? Isinya sampe tumpah-tumpah ke samping gitu?” gerutu gadis itu pelan. Bibirnya yang tipis maju mundur sambil nyendokin penthol dagangannya ke dalam plastik. “He? Apa Dek?” sahut Janu mengira Safitri ngajak ngomong. “Eh engga, Mas. Cuman mau kasi tahu ati-ati nambahin saos tomatnya. Nanti tumpah ke samping,” elak Safitri menyerahkan penthol ke Janu yang langsung disambar oleh Djatmiko. Patri, layaknya wanita lain, bisa menangkap ketidaksukaan Safitri pada dirinya. Lirikan mata Safi yang membakar panas ketika melihatnya adalah salah satu pertanda. Hidupnya sudah cukup rumit tanpa tambahan masalah percintaan. Patri tidak butuh itu. Wanita itu langsung menarik lengan Djatmiko. “Ayo sudah malam. Bilang terima kasih sama Om, trus kita pulang,” perintahnya. Djatmiko yang sudah puas bermain pun menurut. Bocah itu berpamitan kepada Janu dengan mulut penuh penthol panas. “Mahasih Ohmm,” ucapnya sambil meniup penthol panas yang sudah terlanjur di lahapnya. “Hatfiko fulang fulu, Ohm…” “Ngomong apa sih kamu ini, awas keselek penthol! Eh biar aku antar Dek kalau mau pulang,” tawar Janu. Patri yang tidak ingin merepotkan atau berada diantara Janu dan Safitri, menggeleng sambil tidak berhenti menyeret anaknya. “Tidak usah, Mas. Terima kasih. Saya sudah ngerepotin banyak. Selamat malam. Mari, Mbak,” pamitnya. Djatmiko yang awalnya tidak sadar akan kegalauan ibunya, mulai curiga ketika sudah 10 menit wanita itu masih saja membungkam. “Kenapa muka, Ibuk kok kaya kucing abis disiram aer sih?” tanya Djatmiko dalam perjalanan pulang. Langkahnya tergesa-gesa mengikuti Patri yang sedang jalan macem bus malem. Lupa rem, gas terus. Menggenggam bungkus penthol di tangan kanannya, Djatmiko kini meremas ujungnya agar tidak terbuka. Ia baru makan beberapa biji karena kini harus konsen diajak ngebut pulang oleh ibunya. “Udah malem. Nanti banyak kuntilanak keluyuran,” gusar Patri sekenanya menghindari pertanyaan tambahan dari Djatmiko. Upaya Patri berhasil, karena kini Djatmiko mempercepat langkahnya sambil melotot clingukan ke arah pohon yang mereka lewati, berusaha memeriksa setiap dahannya dari bayangan wanita berbaju putih berambut panjang yang dinamakan kuntilanak. Mahkluk yang konon katanya sering menculik anak nakal macam dirinya. Suasana yang sepi membuat Djatmiko kembali mengajak ngobrol ibunya. Berusaha mengalihkan benaknya dari sang kunti. “Om Janu baik ya,” celetuknya yang hanya di jawab oleh dengusan dari hidung ibunya. “Djat mau deh punya bapak macam Om.” Sekali lagi Patri cuman mendengus. “Buk, gak pingin kawin lagi?” lanjut Djatmiko. Pertanyaan terakhir berhasil mendapatkan sahutan dari Patri. “Kawin…kawin…emang ibumu kucing?” “Ya mirip sih. Sama-sama kalo udah marah suka nyakar.” Patri langsung menarik telinga Djatmiko dan menjewernya sepanjang trotoar. “Adududuh… sakit, Buk. Aku bukan anak kucing,” teriak bocah itu protes. Patri melepaskan jewerannya dan menghardik, “Sudah situ makan penthol mu. Diem. Jangan banyak ngomong aja!” *** Janu, sementara itu, kebingungan menatap belakang pinggul Patri yang melenggak lenggok kabur darinya dalam keadaan tergesa-gesa. “Lah… Kenapa ya Dek Patri buru-buru banget mau pulang?” Janu menggaruk belakang kepalanya yang berkuncir sambil menoleh ke arah Safitri. “Udah aja saya yang temani. Emang mas mau kemana sih?” tanya Safitri sambil memainkan rambutnya yang panjang dengan wajah centil. “Ya..nggak kemana-mana sih,” sahut Janu kehilangan. “Ah sudahlah, aku pulang dulu deh.” Janu yang kini sudah menganggap Safitri lebih dari teman, ngeloyor pergi, meninggalkan gadis yang sudah mecucu kini semakin monyong. “Dasar laki gak peka. Kurang cantik apa aku coba. Jelas-jelas masih segelan, eh dia malah milihnya sama yang sudah jebol jembatannya,” gerutu Safitri sambil menendang gentong tempat penyimpanan penthol di samping sepedanya dan kemudian mengaduh-aduh sendiri karena kini bukan hanya hatinya yang sakit, tapi juga jempol kakinya. Note: Kode tukar untuk satu orang 50 bonus 5QYIKZWH Yang dapet komen ya, biar aku tahu ini masih bisa di pake apa ngga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN