6. Janu Kena Prank

1691 Kata
Hari berlalu. Minggu berganti. Sesuai janji, Janu membiayai uang sekolah Djatmiko. Patri yang merasa berhutang budi, berusaha sebisa mungkin mencicil uang pemberian Janu dengan sering memberi pecel gratis untuk Janu. Beberapa kali Janu mengajak Patri untuk pergi bersama. Yang selalu di tolak Patri dengan berbagai alasan. Capek lah, sibuk lah, sedang menstruasi lah. Wanita itu tidak ingin memberi harapan yang tidak ada pada Janu. Beda dengan Patri, Djatmiko justru ingin memberi harapan pada Janu agar tidak menyerah. Walaupun kini tidak bisa lagi menemani ibunya dagang pecel di pagi hari karena sudah sekolah, tapi bocah itu sering menyempatkan diri untuk mampir ke bengkel tempat Janu bekerja. Seperti hari ini. Sepulang sekolah Djatmiko sudah nongol di depan bengkel. “Om! Oooomm Januuu!” teriak Djatmiko dari luar bengkel. Janu yang masih bekerja membetulkan mesin di kolong mobil, tidak sadar akan teriakan Djatmiko. Hingga seorang rekan kerja Janu menendang kakinya. “Anak tirimu, tuh! Minta jajan!” celetuk rekan Janu. “Ibunya gak dapet, anaknya yang lengket!” ledek yang lain sambil tertawa. Mengacuhkan ledekan teman-temannya, Janu keluar dari kolong mobil dan menghampiri Djatmiko. “Gimana sekolah?” tanya pria itu. “Susah, Om.” “Kok bisa?” “Gurunya kan nanya gini kan. Djat, kalau kamu punya satu ayam, trus dikasih lagi satu ayam, jadi sekarang kamu punya berapa ayam? Aku jawab. Punya banyak, Bu…” “Hah? Gitu aja kok gak bisa? Kan satu ayam tambah satu ayam gampang itungnya?” “Ya susah, Om. Ayamnya satu kan jantan, satu betina, nah kalo beranak kan jadi banyak.” DUER! Bagaikan di sambar petir disiang bolong, Janu hanya bisa melongo. Pria itu bertanya-tanya apakah ia membuang uang sia-sia dengan menyekolahkan bocah satu itu. Tidak apa-apa, mungkin nanti lama-lama pinter sendiri, hiburnya dalam hati. Ia pun mengalihkan pembicaraan. “Udah dapet temen belum?” tanya Janu. “Sudah, Om. Satu. Perempuan pula.” “Widih…cantik nggak?” “Jelek, Om. Mana badannya gede.” “Heh! Nggak boleh ngejek gitu, namanya perempuan, semua itu cantik,” timpal Janu cepat. “Yah… kalo semua cantik, yang jelek siapa donk, Om?” “Ya kamu yang jelek,” gerutu Janu. “Siapa nama temen kamu?” “Susah, Om. Namanya kebule-bulean. Felysia Inem Gigi… siapa gitu. Aku nggak inget. Akhirnya aku panggil aja Nunung. Hehe… soalnya dia mirip pelawak  OVJ yang gede badannya itu tuu… he he….” Djatmiko kembali tergelak karena lawakannya sendiri sementara Janu geleng-geleng kepala melihat tingkah calon anak tirinya. “Eh, Om,” celetuk bocah itu setelah selesai ngakak. “Aku punya tebakan, Om. Kenapa ayam nyebrang jalan?” Janu mengerutkan keningnya sambil berpikir. Ia sering mendengar tebakan itu. Dengan wajah sumringah ia pun menjawab. “Ya soalnya mau ke pindah sisi jalan.” “Salah!” seru Djatmiko. “Lah trus?” “Ya mana aku tau. Aku kan gak bisa bahasa ayam. Ha ha ha, emang  Om suka ngobrol sama ayam ya? Kok bisa tahu sih?” “Eh buset bocah semprul! Dahah… ngapain sih kamu kesini? Gangguin orang kerja aja,” celetuk Janu mulai kesal karena sudah dikerjai oleh bocah yang belum juga disunat itu. “Oh iya itu. Ibu ngundang Om buat dateng ke rumah malam ini. Ibu ultah, Om. Jadi jangan lupa bawain kado ya. Sekalian dandan yang ganteng. Pake baju yang rapi, semprot parfum.” Janu langsung membelalak mendengar undangan Djatmiko. Sejak malam di alun-alun, Patri sepertinya selalu menghindarinya. Cuman datang pagi untuk memberi pecel sekalian mencicil hutang. Karenanya undangan untuk datang makan malam sudah pasti langsung ditanggapi Janu dengan penuh sorak sorai. “Iya…iya oke. Nanti Om datang. Jam berapa? Trus kado apa yang ibumu suka?” “Uhmm jam 7 deh, Om. Kadonya beliin beha aja, Om.” Janu melongo, “Hah? Beha?” “Iya… tapi yang bagus ya… yang item. Ibu suka yang item. Aku suka liat di jemuran, yang dipake ibu udah melar, udah bolong-bolong. Kan kasihan lihatnya. Jadi beliin ya, Om. Ni ukurannya. Catet… tiga empat B.” Djatmiko mengucap perlahan meniru ibu guru di sekolahnya kalau sedang ngajar berhitung. Janu menggaruk kepalanya kebingungan. Seumur-umur belum pernah ia memegang beha, apalagi membelinya. Sekarang ni tuyul minta suru beliin beha buat kado mak nya? Apa gak salah? “Bisa gak, Om?” tanya si tuyul…eh…si Djatmiko. “Eh iya iya… nanti Om datang bawa kado.” “Sip!” Dan berlalulah Djatmiko meninggalkan Janu melongo di tempat kerjanya. Sadar ia masih harus membeli beha sebelum jam 7, Janu memutuskan untuk segera berbelanja. Setelah meminta ijin untuk pulang lebih awal pada bosnya, Janu pun berkendara pulang. Ia mengarahkan motornya ke rumah orang yang diharapkan untuk bisa membantunya. Tetangganya. Mantannya. Si anak pedagang penthol, Safira. “Permisi!” teriak Janu sambil mengetuk pintu kayu rumah Safira. Tak lama pintu terbuka dan gadis cantik berbau penthol sapi itu pun keluar. “Eh Mas Janu! Ada apa Mas?” tanya gadis itu girang. “Mau temenin Mas gak?” Ajakan Janu membuat mata Safitri melebar segede bola pingpong, kalau lewat membikin perut kosong… eh malah nyanyi. Lanjut. “Mau. Kemana, Mas?” tanya Safitri sambil memainkan rambutnya dengan jari kakinya, eh jari tangan. “Blanja yuk ke pasar.” “Hayuk. Mau beli apa Mas?” “Mas mau beli beha, Dek.” Kini bola mata Safira makin melebar. Sudah tidak segede bola pingpong lagi melainkan mirip bola tenis. “Hah? Buat apaan, Mas? Jangan-jangan… Mas itu ya… diem-diem suka make… emm….” “Eh bukan. Bukan buat aku sendiri. Mau beli kado buat Patri yang ulang tahun.” Ucapan Janu terasa bagaikan silet yang menyayat hati rapuh Safira. Sadar ia sudah tidak dianggap di mata Janu, Safira pun langsung mencibir. “Ogah! Males,” seru wanita itu sambil membanting pintu di depan, hampir saja nyerempet hidung Janu. Tidak punya pilihan, akhirnya Janu memberanikan diri belanja beha sendiri. Ia memarkirkan motornya di depan pasar besar Madiun dan masuk ke dalam mencari toko yang menjual pakaian dalam wanita, kesasar beberapa kali saking tidak pernah menginjakkan kakinya ke bagian pakaian dalam. Ketika yang dicari akhirnya ketemu, Janu berdiri sejenak di luar toko dengan wajah bingung. Clingak clinguk seolah sedang berada di planet asing. Salah satu pemilik toko bahkan mengira Janu sebagai maling beha yang memang lagi marak berkeliaran di pasar. “Heh!” hardik si pemilik toko, seorang wanita berkacamata dan berwajah bulat. “Maling ya!”serunya. Janu langsung menggeleng, “Eh bukan..bukan… Saya mau belanja kok.” “Ohhh… ya masuk aja, Mas. Ngapain di depan pintu intip-intip? Kan aku kira Mas mau nyolong.” Janu menggaruk hidungnya salah tingkah karena harus masuk ke dalam toko beha. Tapi karena tidak punya pilihan, pelan-pelan ia pun melangkah masuk. Kepalanya terasa pening begitu masuk. Apalagi setelah melihat begitu banyaknya beha yang sedang di pajang menggantung. Di manekin, di dalam etalase, di tembok. Beha beha beha dimana mana. “Astaga… banyak ya…,” gumamnya mengelus d**a. “Mau beli yang model gimana, Mas?” tanya pemilik toko memicingkan mata masih curiga dengan Janu. “Eh saya mau beli buat pacar, Mbak. Ada saran gak? Ukurannya 34B.” “Oh… pacar ya. Kebetulan ni ada model baru dan bagus.” Si pemilik toko langsung meraih beberapa dan meletakkannya di atas etalase di hadapan Janu. “Ini yang lagi diminati. Renda-renda. Bagus, Mas,” tunjuk si pemilik toko. Merasa semakin kringetan dan sesak napas karena terlalu banyak beha mengelilingi, Janu langsung menunjuk yang berwarna hitam. “Ya udah ini aja, Mbak. Satu. Berapa ya?” “Tiga puluh lima ribu, Mas. Kalo beli setengah lusin lebih murah.” “Mahal ya,” celetuk Janu cepat. “Padahal pakenya buat di dalem. Keliatan juga engga.” “Ya… siapa tau kalo Mas nya ngasih, abis itu di kasi liat,” jawab pemilik toko sambil ngedip-ngedip macem orang kelilipan. Tidak ingin pingsan di dalem toko beha, Janu pun bergegas membayar, dan kabur. Sisa siang di habiskan pria itu untuk mandi dan bersiap-siap. Memakai baju terbagus, sebuah kaos ketat yang bahkan membuatnya sesak nafas dan celana panjang cutbray, tak lupa Janu menyemprotkan minyak wangi seliter dan mengoleskan Brylcream sejerigen ke rambutnya hingga klimis. Lalat pun dijamin kepleset kalo hinggap. Mantap! Batinnya sambil ngaca. Sudah mirip sama Ariel nya Peterpan. Puas dengan dandanannya, Janu meraih kado untuk Patri yang sudah terbungkus rapi dan berangkat lah sang romeo cerita kita ke rumah Patri. Jan 7 pas, Janu sudah berdiri di depan rumah Patri. Tok tok tok! Diketuknya pintu rumah sang janda kembang dengan perasaan tidak menentu. Pintu terbuka dan wajah Patri menyembul dari dalam. Mengenakan daster rumahan, wajah polos tidak bermake up Patri nampak kaget. “Loh, Mas Janu?” tanyanya. “Eh… Selamat ulang tahun, Dek. Ini hadiahnya.” Buru-buru di sodorkannya bungkusan kado dalam kresek yang di pegangnya dari tadi. “Hah? Hadiah?” tanya Patri kebingungan sambil melongok ke dalam kantung plastik yang di bawakan oleh Janu. “Semoga cocok ya. Maaf kalau gak sesuai selera.” “Selera? Tunggu…tunggu…,” sela Patri sambil mengelus jidatnya yang minyakan karena belum mandi. “Tapi aku kan ulang tahun masih lama, Mas?” “Eh? Loh? Lah kok tadi Djatmiko bilang….”Janu pun mengeplak kepalanya sendiri sambil berteriak ke arah bulan. “Eaaalahhh… DJATMIKO!!!” Sadar sudah di kena prank, Janu pun dengan wajah merah padam, buru-buru pamitan pulang. “Tunggu, Mas. Ini saya kembalikan kalo gitu. Maaf ya, Djatmiko memang nakal banget anaknya. Saya juga sampai tobat,” ucap Patri malu. “Sudah lah, Dek. Namanya anak-anak. Itu kadonya juga gak usah dibalikin. Buat Dek Patri aja. Cuman tolong bukanya nanti ya nunggu Mas udah jauh aja. Selamat malam, Dek,” pamit Janu buru-buru ngacir meninggalkan Patri di depan pintu dan Djatmiko yang cengar-cengir sembunyi di belakang sofa. NOTE: Ada yang mau angkat anak Djatmiko? Yuk di daftar. Yang baca dan blom tap lope. tap lope ya. Follow juga akun author D.F.E Trus jangan lupa yang berkenan nyumbang hadiah, klik ikon kado dan berikan seikhlasnya. Matur suwun nggih!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN