Briana melangkah perlahan melewati lorong rumah sakit jiwa yang sunyi, hanya terdengar suara langkah kakinya yang menggema. Hatinya terasa berat setiap kali harus datang ke tempat ini, namun ia tak bisa membiarkan Mamanya sendirian. Setiap kunjungannya selalu membawa harapan bahwa suatu hari, Mamanya akan kembali pulih. Setibanya di depan kamar isolasi, Briana melihat melalui kaca kecil di pintu. Di dalam sana, Arum duduk meringkuk di sudut ranjangnya, matanya menerawang tanpa fokus. Setelah kemarin mendapat kebebasan yang lebih, hari ini Mamanya kembali dikurung karena kondisinya yang memburuk. Briana menatap perawat yang berjaga di depan kamar itu. "Bisakah Anda membukakan pintunya?" pinta Briana dengan suara lembut namun penuh harap. Perawat mengangguk dan dengan hati-hati membuka pi