Dan pada akhirnya, tidak ada lagi pencarian di internet tentang seperti apa kencan yang harus mereka lakukan. Falisha sendiri sebenarnya bingung dengan apa yang harus dirinya dan Gibran lakukan. Semenjak mendengar ucapan para perawat dan juga ucapan pamannya, Falisha dilanda kebingungan. Sejujurnya, kata ‘cerai’ terus bergema dalam kepalanya sepanjang perjalanan dari rumah sakit sampai ia tertidur di apartemen. Tapi ketika ia melihat bagaimana Gibran, mendengar permohonan maaf pria itu, ia merasa bahwa pikirannya teramat dangkal.
Tapi di satu sisi, dirinya merasa hal itu tepat untuk dilakukan, sebelum ia menyerahkan dirinya pada suaminya dan suatu waktu menyadari bahwa apa yang ia dengar dari para perawat itu bukan sekedar isu namun memang faktanya seperti itu.
Sepanjang sore sampai malam, mereka menghabiskan waktu di apartemen Gilang. Falisha memutuskan untuk memasak bagi mereka berdua dan makan malam dengan cara yang biasa. Bukan candle light dinner atau makan romantis seperti yang biasanya dilakukan pasangan baru. Sambil berbincang, mereka membicarakan apa yang akan mereka lakukan kedepannya. Gibran sendiri memilih untuk mengikuti apa saja yang Falisha inginkan, meskipun sebenarnya bukan jawaban itu yang ingin Falisha dengar.
Ibaratnya pasangan yang sama-sama dimabuk cinta. Falisha menginginkan mereka melakukan sebuah perencanaan bersama. Ia tahu bahwa Gibran memang sedatar itu. Sejak awal dia sudah paham seperti apa sosok pria yang dicintainya itu. Tapi tidak salah kan kalau ia menyimpan sedikit harapan supaya Gibran juga bisa mengutarakan isi kepalanya. Mengungkapkan perasaannya. Dengan begitu Falisha tidak akan salah menduga.
Dan mendengar Gibran menyerahkan semua keputusan pada Falisha, membuat Falisha menduga kalau pria itu memang terpaksa berada bersamanya. Bukan benar-benar ingin bersamanya. Apa Falisha salah? Kembali, rasa tak aman itu menghasutnya.
Falisha menarik nafas panjang. Melihat ekspresi wajah Gibran yang datar. Ia memilih untuk membereskan bekas makan mereka tanpa suara sementara Gibran tampak sibuk dengan tablet yang ada di hadapannya. Falisha menduga bahwa pria itu sedang memeriksa sesuatu di dalamnya. entah itu laporan dari rumah sakit atau mungkin laporan dari café yang suaminya dan sahabatnya kelola saat ini.
Saat Falisha kembali ke meja makan setelah selesai mencuci piring. Ia melihat suaminya masih duduk disana, seolah pria itu patung yang dipahat untuk duduk didepan meja. Jika saja matanya tidak bergerak mengikuti arah kalimat yang dibacanya dan tangannya tak bergerak menggeser layar. Falisha akan benar-benar menduga suaminya itu patung.
Falisha kemudian berdeham, membuat Gibran mendongakkan kepala. “Sudah cukup malam, sebaiknya Mas Dokter kembali ke apartemen Mas.” Ucapnya dengan nada yang ia buat sedatar mungkin.
Pria itu mendongakkan kepala dan memandang Falisha dengan heran. “Kenapa?” tanyanya bingung.
“Karena kita sudah setuju kalau kita akan memulai semuanya dari awal.” ucap Falisha mengingatkan. Bukan hanya Gibran tapi dirinya sendiri supaya tidak terburu-bur menyerahkan dirinya pada Gibran. “Jangan bilang kalau Mas lupa dengan apa yang kita bahas tadi. Kita akan mulai seperti pasangan oada umumnya. Berkencan, saling mengirim pesan, jalan-jalan, makan bersama, mengobrol. Ya hal-hal receh seperti itu.” lanjutnya dengan kedikan bahu. “Tidak ada orang yang berkencan tinggal satu rumah, Mas Dokter.” ucapnya kala Gibran tak juga beranjak dari duduknya. Falisha menarik lengan Gibran dan mencoba untuk membuat pria itu berdiri. Gibran pada akhirnya mengalah dan mengangkat tubuhnya. “Mas tenang saja. Fali tetap akan melakukan kewajiban Falisha yang lain untuk mengurusi makanan Mas, rumah Mas dan juga pakaian Mas. Hanya saja, Fali belum siap memberikan semuanya sama Mas.” Tidak sebelum Fali yakin dengan perasaan Mas terhadap Fali. Tambahnya dalam hati.
Gibran tak banyak menyanggah. Pria itu hanya mengangguk saja dan kemudian melangkah keluar dari apartemen Gilang menuju apartemennya sendiri. Falisha hanya bisa memandangi pintu dengan tatapan kosong selama beberapa waktu. Ia tahu kalau dia ini labil. Ia yang mengusir Gibran dari tempat tinggalnya namun dia juga yang mengharapkan Gibran bertahan. Bersikap ngeyel dan membujuknya supaya tidak mengusirnya dari tempat itu. Tapi lagi-lagi ia harus dilanda kecewa karena angannya tak menjadi kenyataan.
Falisha kembali menarik nafas panjang. Ia berjalan menuju sofa dan menyalakan televisi dengan setting volume terpelan. Ia berbaring dengan malas-malasan. Jelas tak ingin melakukan apapun. ia kemudian meraih ponselnya dan mencari kontak sahabatnya. Bukan intan, karena meskipun selama ini Falisha sangat percaya pada Intan, tetap saja Intan itu adalah adik iparnya kini. Dan tidak ada adik yang tidak membela kakaknya apapun kesalahannya. Apalagi saat ini Gibran sama sekali tidak melakukan kesalahan apapun padanya, tentunya hal itu hanya akan membuat Intan menganggapnya sebagai orang yang manja. Dalam kepalanya, ia melihat ekspresi Intan yang memandangnya dengan tatapan menuduh yang secara tak langsung menganggap dirinya sudah gila.
Falisha mencari nama Meylan di kontaknya. Ia menatap nama itu selama beberapa saat sebelum akhirnya menekan tombol panggil.
Lima belas menit kemudian, sahabatnya itu datang dan memandanginya dengan sorot heran. Bayangan Intan yang menatapnya dengan tatapan menuduh kini berubah menjadi sosok Meylan. Sahabatnya itu jelas tidak percaya dengan apa yang dia dengar sehingga langsung menghakimi Falisha saat ia tiba. Namun bukan menghakimi dalam artian yang buruk. “Kenapa sama otak loe?” tanya Meylan heran. “Bukannya seharusnya pengantin baru sekarang ini sedang panas-panasnya? Maksudnya, kalian meskipun gak pergi bulan madu ke belahan dunia lain, tapi kan biasanya lagi mesra-mesraan, gitu.” Sindir Meylan lagi yang membuat Falisha mendelik padanya. Meylan akhirnya terkekeh dan menggumamkan maaf pada sahabatnya. “Jadi kenapa sama neng Fali? Ada masalah apa sampai nyuruh nyai datang kesini malam-malam begini?”
Mereka duduk di atas sofa. Meylan mengangkat sebelah kakinya dan menekuknya di atas sofa. Sebelah lengannya bertumpu pada punggung sofa dan gadis itu memandang Falisha dengan sebelah alis terangkat.
“Gue bingung.” Ucap Falisha, dan meluncurlah semua yang ia dengar dari para perawat dan juga nasihat dari pamannya. “Gue udah mutusin kalo gue mau mulai semuanya dengan benar. Maksud gue, gue mau kita kencan lebih dulu kayak orang pacaran pada umumnya.”
Meylan mencibir seraya menganggukkan kepalanya. “Gue paham, gue bisa ngerti maksud loe. Sepaham gue kenapa selama ini loe nyembunyiin penyakit loe dari kita.” Ucap Meylan dengan nada menyindir yang membuat Falisha memandangnya dengan ekspresi cemberut. Dia sudah mengatakan pada Meylan dan Intan juga tentang alasan kenapa dia merahasiakan penyakit yang dimilikinya saat ini. Tapi rupanya sahabatnya itu masih belum bisa memaafkannya. “Gue juga gak bisa nyalahin pemikiran loe. Tentang ke insecure-an loe. Kalo gue jadi loe, gue rasa gue juga bakal ngelakuin yang sama. Atau mungkin bisa aja lebih ekstrim daripada ini. Secara Mas Dokter loe itu super duper cuek abis dan gak bisa mengekspresikan perasaannya. Tapi pertanyaan gue, apa memang harus seperti ini? Tinggal secara terpisah? Emang loe gak takut dosa?” tanyanya bertubi-tubi.
“Gue takut.” Jawab Falisha apa adanya. “Gue bener-bener takut sama dosa.” Jawab Falisha dengan sungguh-sungguh. “Tapi perasaan takut menyesal di kemudian hari jauh lebih besar dibandingin sama rasa takut gue akan dosa yang gue lakuin saat ini.” Wajah Falisha berubah sedih. Ia kemudian mengangkat kepalanya dan memandang Meylan dengan sungguh-sungguh. “Loe tahu gimana impulsifnya gue. Loe tahu gimana gue kalo gue udah punya keinginan.” Meyla menganggukkan kepalanya karena ia jelas tahu seperti apa Falisha dan keinginannya. “Jujur, gue juga bukan cewek baik-baik. Sebagaimana cowok yang gak bisa nahan diri kalo lihat cewek bohay nan menggiurkan didepannya dan mau main terkam aja, gue juga begitu sama laki gue.
Apalagi status kita sekarang udah halal. Loe bayangin aja. Gue bisa ngelakuin banyak hal sama laki gue tanpa ada hambatan. Manja-manja, rayu-rayu, usap-usap, cium-cium, raba-raba dan banyak lainnya. Bahkan gue bisa niruin adegan semua film blue sama dia.” Ucapnya terkekeh yang membuat Meylan hanya bisa membuka mulutnya tak percaya. “Tapi kemudian gue sadar kalau bukan itu tujuan akhir yang gue mau dari laki gue. Bukan Cuma urusan fisik. Tapi gue juga mau dapetin hatinya dia. Gue mau tahu seberapa cintanya dia sama gue.
Sampai sejauh ini gue gak yakin apa laki gue cinta sama gue atau Cuma kasihan. Gimana kalo beberapa waktu ke depan dia lantas ketemu sama cewek yang bener-bener dia mau. Bener-bener dia cinta dan ninggalin gue? Gue bisa apa? Jelas gue juga gak bisa ngemis dia buat tetep bertahan sama gue. bener kan?” tanyanya mencoba mencari solusi.
“Kalo gitu, iket aja hubungan kalian sama anak. Bukannya biasanya kalo ada anak para orangtua akan pikir-pikir untuk pisah?” tanya Meylan dengan ragu.
“Tapi contoh yang diberikan kedua orang tua Mas DokterKu gak begitu, Mey. Lo tahu kenapa sekarang Mama Dokter jadi nyokapnya Intan. Itu karena dia dan bapaknya Mas DokterKu pisah meskipun mereka punya Mas Dokter. Dan gue yakin, Mas Dokter juga bakal ngerasa kalo anaknya bisa bertahan meskipun bonyoknya pisah. Karena dia pun melewati masa itu.”
Meylan menggelengkan kepala. “Loe salah. Justru biasanya para anak broken home itu gak pernah mau terjadi perceraian dalam pernikahan mereka. Alasan pertama adalah ego, karena mereka ingin membuktikan pada orang-orang yang mereka kenal—orang orang yang menganggap mereka sama dengan orangtua tua mereka—secara tidak langsung kalau mereka berbeda dengan orangtua mereka. Bahwa mereka bisa berhasil dengan pernikahan mereka, bukannya gagal seperti yang terjadi pada orangtua mereka.
Dan alasan kedua. Karena jiwa orangtua mereka lebih unggul dibanding perasaan yang lain. Mereka akan memilih untuk mempertahankan pernikahan mereka bagaimanapun caranya, hanya supaya si anak tidak mengulang kisah lama mereka. Supaya si anak tidak mengalami rasa yang pernah mereka rasakan. Rasa karena tidak memiliki orangtua yang lengkap. Rasa tidak dicintai dan diperhatikan. Rasa tidak dibutuhkan. Mereka biasanya ingin memberikan cinta yang lebih banyak kepada anak-anak mereka sebagai ganti apa yang tidak pernah mereka dapatkan dari kedua orangtuanya.” Jawab Meylan panjang lebar.
Falisha memandangi sahabatnya itu dengan dahi berkerut dalam “Begitukah?” tanyanya tak yakin.
Melyan mengedikkan bahu. “Loe coba aja bahas masalah itu sama laki loe. Coba tanya sama dia, bahas tentang masalah anak, tentang seberapa banyak dia mau punya anak dari loe.”
“Kalo misalkan dia bilang dia belum mau punya anak?” tanya Falisha ingin tahu.
“Tanya balik, kenapa alasannya dia gak mau punya anak dari loe. Bukankah pada akhirnya menikah itu untuk memperbaiki keturunan? Melanjutkan silsilah keluarga. Kalo dia gak mau punya anak, dasar apa yang selama ini dia pegang untuk nikahin loe. Selain cinta?
Sebagian orang menunjukkan cinta mereka dengan cara yang menggebu-gebu. Macem yang loe tunjukin saat ini, tapi sebagian juga memilih untuk menjadi pasif, kayak Mas DokterLoe sampai loe sendiri bertanya-tanya dan gak yakin sama perasaannya.
Tapi intinya, pernikahan itu pasti dengan tujuan memiliki momongan. Nah, kalo dia gak mau punya anak dari loe, mungkin itu bisa menjadi bahan pertimbangan loe selanjutnya tentang rencana gila loe mau mulai semuanya dengan pacaran blah-blah-blah.” Ucap Meylan dengan ekspresi mengejek di wajahnya.
“Tapi gak semua orang yang menikah itu karena mereka mau punya keturunan.” Komentar Falisha lagi.
“Kalo mereka gak punya mereka gak punya pemikiran tentang keturunan. Terus apa yang mereka kejar? Apa yang mereka cari dari pernikahan itu? Pengurus rumah? Loe bisa sewa pembantu. Pelayanan di tempat tidur? loe bisa dapet itu semua dengan sewa jasa wanita penghibur. Apalagi? Duit? Kalo gitu loe pasangan loe mesti orang yang gak punya apa-apa atau minimal dia sangat serakah. Dan gue gak lihat itu dari Mas DokterLoe.
Alasannya ya balik lagi ke yang loe pikir tadi. Cinta atau kasihan. Dan pembuktiannya gue rasa ada di masalah anak.
Bukan karena urusan menambah keturunan. Dengan keberadaan anak, dengan membayangkan berapa banyak anak yang loe mau punya sama pasangan loe. Itu berarti dalam masa depan yang dia rencanakan, itu ada loe. Ada kalian. Bukan Cuma ada dia doang. Yang berarti, dia mau menjalani masa hidupnya sama loe. Bukan sama cewek lain, bukan sendirian. Dan itu berarti dia emang cinta sama loe. Bukan mengasihani seperti yang orang-orang iri itu bilang.” Ujar Meylan berhipotesa. “Lagian gue juga heran sama loe, sama pemikiran loe yang absurd itu, Fal. Orang lain diluar sana rela ngasih diri mereka atas nama cinta meskipun tahu itu haram. Tapi loe, udah halal loe malah takut ngasih diri loe karena masa depan yang belum jelas kayak gimana?
Hey, loe udah dihalalin. Status loe udah jelas di mata hukum. Sekalipun loe pisah suatu saat nanti sama Mas DokterLoe, semua orang tahu kalo loe udah pernah nikah. Jadi sekalipun laki baru loe gerayangin loe yang udah bukan perawan, dia tahu kalo dia nikahin janda. Sementara orang lain, statusnya jadi gak perawan tanpa dikawinin. Loe tahu kan istilah perawan bukan janda bukan?”
Falisha memutar bola matanya mendengar komentar sahabatnya itu. Bagaimana bisa Meylan membandingkannya dengan para wanita yang kalah oleh nafsu diluar sana. “Gue Cuma pikir panjang aja, Mey.” Ucapnya membela diri.
“Begini, loe bilang pikir panjang. Telat, cin. Seharusnya, kalo loe mau pikir panjang, itu sebelum loe terima dia jadi laki loe. Kalo kayak gini, itu namanya cinta loe selama ini sama Mas DokterLoe gak tulus?” tanya Meylan lagi.
“Ada perbedaan antara tulus sama rasional, Mey.” Jawab Falisha lirih. “Yang tulus itu jika kita memberikan sesuatu tanpa pamrih, yang dimana kita gak mendapatkan apa yang kita inginkan kita gak ngerasa nyesel udah ngasih itu. Sementara rasional itu adalah melakukan sesuatu dengan konsep yang matang untuk mendapatkan apa yang sudah kita prediksikan.
Dan perasaan gue, sama Mas Dokter. Emang gak tulus.” Jawab Falisha yang kembali membuat Meylan berjengit. “Kalo gue tulus, gue bakal ngelakuin semuanya dengan ikhlas, tanpa pamrih. Cukup gue mencintai dia aja tanpa perlu memikirkan tentang gimana perasaannya dia. Tanpa berharap balasan apapun dari dia.
Gue gak tulus sama dia karena gue juga mau dia cinta sama gue. Gue mau dia balas perasaan gue. Gue mau dia merhatiin gue, sayang sama gue, peka sama gue. Dan kalo gue tulus, gue gak akan kebingungan seperti sekarang ini.
Dan lebih dari itu, pada akhirnya gue sadar, kalo selama ini gue gak rasional. Karena itulah gue mau memperbaiki keadaan. Gue mau mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi di kemudian hari.
Dan sampai gue ngerasa yakin sama perasaan dia ke gue. Gue gak mau nyerahin diri gue sama dia, meskipun gue tahu hukumnya dosa.” Putus Falisha pada akhirnya yang membuat Meylan hanya bisa terdiam tak berkata-kata.