Part 7

2221 Kata
Nyatanya menjadi istri seorang dokter itu tidaklah mudah. Saat terbangun untuk melaksanakan kewajiban subuhnya, Falisha yang berniat untuk membuat sarapan bagi Gibran malah mendapatkan kabar kalau suaminya itu sudah berangkat ke rumah sakit karena harus melakukan visite pada pasien rawat inap dan setelahnya suaminya itu akan melakukan praktek yang tidak memungkinkannya untuk menunggu Falisha membuatkan sarapan untuknya. Lagi-lagi Falisha merasa moodnya jatuh terhempas begitu saja. Ia memilih untuk menuangkan s**u dingin ke dalam mangkuk yang sudah diisi cereal sebelumnya dan sarapan tanpa minat. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Tanyanya pada diri sendiri. Tidak ada yang bisa dikerjakannya karena selama ini dirinya hanyalah seorang pengangguran yang menghabiskan waktu untuk kuliah, menjemput adik-adiknya dan juga membantu kakak sepupunya di toko kue miliknya. Itu pun sudah lama tidak Falisha lakukan semenjak ia melakukan perawatan untuk penyakitnya dan proses penyembuhan setelahnya. Jadi sekarang, dia tidak mengerjakan apapun sama sekali. Haruskah ia pergi ke toko Syaquilla? Tanyanya pada diri sendiri. Tapi kakak perempuannya itu bisa dibilang orang yang teramat teliti. Wanita yang empat belas tahun lebih tua darinya itu jelas akan tahu jika sesuatu terjadi pada dirinya. Seolah dia adalah cenayang yang bisa membaca pikiran orang. Tapi jelas, Syaquilla itu bukan cenayang. Dia hanya wanita dewasa yang sudah memiliki banyak pengalaman hidup jika dibandingkan dengan Falisha sendiri. Falisha bisa saja kembali ke rumah orangtuanya. Beralasan rindu pada ibunya sambil menunggu Gibran pulang dari rumah sakit. Namun sama halnya seperti Syaquilla, ibunya, Nyonya Agisna Permata Levent itu juga orang yang sama sensitifnya. Dia akan tahu hanya dalam sekali pandang apa yang terjadi pada putra putrinya, dan Syaquilla sebenarnya tak ingin memberikan beban lebih banyak bagi ibunya. Sudah cukup selama ini dirinya membuat ibunya khawatir dengan kondisi fisiknya yang kurang sehat. Jangan pula Falisha harus menambahkan urusan rumah tangganya pada ibunya. Meylan dan Intan sudah tentu ada dalam daftar teratas untuk dicoretnya. Ilker dan Akara juga sudah sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Adik kembarnya bahkan sudah bersiap untuk mengambil spesialis setelah urusannya di rumah sakit beres. Ada sosok lain yang sebenarnya bisa Falisha datangi dan bisa ia ajak ngobrol. Wanita yang seusia dengan kakak sepupunya Syaquilla. Sahabat baik kakak sepupunya yang juga merupakan saudara jauhnya dari ikatan pernikahan paman Falisha (kakak sepupu ayah Falisha yang bernama Adskhan) dan tante wanita tersebut. Dia adalah Kak Carina. Namanya memang jarang Falisha sebut belakangan ini karena wanita itu sedang sibuk-sibuknya mengurusi mertuanya di Jakarta yang sedang dalam keadaan tak sehat. Namun Falisha mendengar bahwa wanita itu sudah kembali ke Bandung kemarin malam. Jadi, apakah Falisha harus mendatangi kakak sepupunya yang itu juga? Sosok wanita yang menurut adik kembar Falisha—Akara—adalah sosok yang sangat menyebalkan karena suka ikut campur urusan orang. Tapi bagi Falisha, Carina adalah orang yang paling netral yang bisa diajakanya berkomunikasi dengan nyaman tanpa menggurui atau memihak salah satu kubu. Ya. Sepertinya Falisha bisa pergi ke rumah kakak sepupunya dan bercerita disana. Dengan semangat itu Falisha akhirnya mandi, mengganti pakaian dan pergi ke kediaman kakaknya. Berpuluh menit kemudian ia sudah sampai di sebuah rumah berlantai dua yang di cat d******i warna putih. Ia menekan bel yang ada di bagian luar pagar, menyebutkan siapa dirinya saat seseorang dari dalam bertanya dan kemudian melihat seorang asisten paruh baya berjalan tergopoh membuka pintu. “Neng Fali, lama gak kesini.” Sapa asisten rumah tangga tantenya yang sudah lama ia kenal. “Kenapa, Mbah kangen ya sama Fali?” Goda Falisha seraya berjalan masuk ke dalam gerbang. Rumah itu sederhana, sama halnya seperti rumah Syaquilla yang didominasi kaca, rumah itu juga demikian. Memiliki halaman yang lebih luas dibandingkan ukuran bangunannya sendiri. Ditata dengan begitu indah dan rapi, ditumbuhi dengan bunga-bunga yang cantik. Sementara Falisha tahu, di bagian belakang rumah, ada kebun sayuran pribadi milik kakak sepupunya juga, bersama dengan sebuah kolam renang yang cukup luas dan rumah pohon yang dibuat sang suami untuk putra putrinya supaya mereka lebih betah tinggal di rumah daripada berkeliaran ke tempat lain. Falisha berjalan diantara jalan setapak yang mengantarkannya pada teras rumah dimana sebuah kursi kayu berada. Mbah—panggilan untuk asisten rumah tangga Carina—membukakan pintu depan menuju ruang tamu yang didesain minimalis dan terang. Tidak banyak pajangan disana, selain sebuah jam dinding besar dan lukisan pemandangan. Namun setelah melewati ruang tamu itu, Falisha bisa melihat pemandangan lain. Ruang tengah atau ruang keluarga yang menyatu dengan dapur yang dikelilingi dengan banyak dinding kaca. Di salah satu dinding besar yang merupakan dinding kamar utama, Falisha bisa melihat banyaknya foto keluarga Carina dengan banyak ukuran figura, salah satu foto dan yang paling besar diantaranya adalah foto pernikahan Carina dimana disana bukan hanya keluarga Carina dan suaminya saja, melainkan juga keseluruhan keluarga Levent, termasuk dirinya dan Akara juga ada disana. Falisha selalu tersenyum setiap kali melihatnya. Ya, mereka adalah keluarga. Meskipun tidak terikat keturunan ataupun darah. “Tumben kesini pagi-pagi.” Sapa kakak sepupunya dari arah dapur. Wanita itu mengenakan celemek bermotif polkadot putih dengan dasar merah. Tampak sedang asyik mengaduk sesuatu dalam wajan dengan spatula ditangannya. “Trus, Fali mesti kesini sore?” Falisha balik bertanya ketus namun memilih untuk duduk di depan kursi bar dan memperhatikan kakak sepupunya sibuk dengan pekerjaannya. Carina kembali mencoba masakan yang sedang dibuatnya sebelum kemudian wanita itu mematikan kompor, meletakkan spatula di atas wajan dan melepas celemeknya. “Mau minum sesuatu?” tawar Carina. “Apa aja.” Jawab Falisha dengan santainya. Setelah Carina membuatkan minuman untuk mereka berduanya, wanita itu kemudian membawa nampan yang terisi minuman beserta camilan yang Falisha tahu dibuatnya sendiri ke halaman belakang. “Jadi, apa yang membuat nona Falisha Permata Levent datang berkunjung sepagi ini?” tanya wanita itu seraya menghirup teh aromaterapi yang ada di tangannya. “Fali butuh saran.” Ucapnya datar dan melakukan hal yang sama seperti kakak sepupunya. Tanpa menunggu jawaban Carina, Falisha lantas mengemukanan semuanya. Tentang pernikahannya, apa yang didengarnya, apa yang dibicarakannya dengan Gilang dan Meylan dan keputusan akhir yang ia buat dengan Gibran. Carina tidak menyela—sedikit bertanya tentang sesuatu yang tidak dipahaminya, namun membiarkan Falisha meneruskan ceritanya. “Tidak ada yang salah.” Ucap wanita itu setelah tahu Falisha selesai bercerita. “Apa yang kamu rasakan, ketakutan kamu tentang hubungan pernikahan kalian dan kecurigaan perasaan Gibran ke kamu, kakak rasa tidak ada yang salah dengan itu. Insecure, begitu anak jaman sekarang mengatakannya, bukan hal yang tabu ataupun aneh.” Lanjutnya dengan nada datarnya. “Kakak kenal kamu sejak kamu masih bayi. Kakak lihat kamu tumbuh dewasa hingga akhirnya kalian menikah. Sejauh ini kamu orang yang selalu berpikiran positif, dan kakak suka itu. Di saat orang lain yang memiliki penyakit seperti kamu memilih untuk menjadi sosok lemah dan menyerah, kamu tidak seperti itu. Kamu tidak pernah mengeluh, mengecam dan selalu menunjukkan yang terbaik pada semua orang. Jadi tidak salah kalau sesekali kamu merasa rendah diri, karena ini bukan hanya tentang kamu pribadi, tapi tentang orang lain yang kamu cintai. Ucapan Uncle juga gak salah, begitu juga dengan ucapan sahabat kamu. Semuanya benar menurut asumsi mereka masing-masing. Tapi satu hal yang Kakak tahu.” Ucapnya pada Falisha. “Cinta itu, bisa hadir perlahan seiring berjalannya waktu selama kita yakin.” Lanjutnya yang membuat Falisha mengerutkan dahi bingung. “Jika kisah cinta Uncle dan kakak kamu itu berdasarkan cinta sama cinta namun terhalang restu Oma, berbeda dengan kakak. Kakak menikahi Mas Gibran tanpa dasar cinta sama sekali. Terpaksa pada awalnya. Namun percayalah bahwa Allah itu maha pembolak-balik hati. Seiring berjalannya waktu, rasa terpaksa itu terkikis. Semakin kakak mengenalnya, kakak semakin mencintainya dan bahkan itu terus tumbuh dari hari ke hari. Jika memang ‘keterpaksaan’ menjadi alasan Gibran menikahi kamu, maka berdoalah supaya hatinya berubah seperti hati kakak pada Mas Agam.” Ucap wanita itu dengan senyum di wajahnya. Tentu tidak instan. Sesuatu yang diperoleh secara instan akan hilang secara instan pula. Sesuatu yang kita peroleh dengan instan tidak akan membuat kita merasakan perjuangannya. Sementara perjuangan itu menjadi andil dalam segala hal yang berakhir pada kita menghargai apa yang kita dapatkan. Entah itu prestasi, cita-cita dan bahkan cinta. Dan ya, cinta kalian akan ada banyak perjuangan. Gibran yang akan berusaha mencintai kamu—jika dia memang menikahi kamu karena terpaksa—dan kamu yang berusaha membuatnya jatuh cinta—jika memang tidak ada cinta di hatinya. Tapi jika sebenarnya Gibran sudah memiliki perasaan buat kamu, kamu hanya perlu membuat cinta itu bertumbuh semakin besar.” Ucap Carina yang meskipun tak mau Falisha akui tetap membuatnya ragu. “Jelas, tidak ada perjuangan tanpa tanpa kecewa, kesedihan dan dan luka karena dua hal itu adalah tantangan untuk kalian bertahan atau sudahan. Karena saat kita berharap pada seseorang dan seseorang itu tidak memberikan apa yang kita harapkan, kecewa yang membuat kita pada akhirnya bersedih. Tapi selama kita yakin pada Allah, berdoa pada-Nya dan mengharapkan kebaikan, pada akhirnya semuanya akan baik-baik saja. Semua rintangan yang kalian hadapi akan jadi semacam kenangan untuk kalian berdua ingat di masa depan. Untuk membuat Gibran mencintai kamu, kamu hanya perlu menjadi dirimu sendiri di depan Gibran supaya dia tahu siapa dirimu, dan mintalah dia melakukan hal yang sama, menjadi dirinya sendiri. Berbincanglah, untuk segala hal. Buat diri kalian nyaman. Mulailah dengan persahabatan ringan, saling bergantung satu sama lain. Satu hal yang tidak boleh kamu lakukan adalah berprasangka. Jadilah Falisha yang selalu berpikiran positif akan segala hal. Jangan menduga. Jika kamu mendengar kabar yang tak baik tentang suamimu, dari siapapun itu, jangan langsung percaya. Lebih baik kamu menanyakan hal itu langsung pada Gibran. Jika apa yang dikatakannya tidak sesuai dengan apa yang kamu dengar, jangan pula lantas menyebutnya pembohong. Selalu ada alasan seseorang menyembunyikan sesuatu dari kita. Daripada kamu memborbardirnya dengan beragam tuduhan yang tak enak didengar, lebih baik kamu memberinya waktu, biarkan dia menjelaskan kembali padamu di suatu waktu. Kakak yakin, pada akhirnya kebenaran akan diungkapkan. Praduga hanya akan membuatmu berburuk sangka, amarah hanya akan membuatmu membuat satu keputusan yang salah yang pada akhirnya kamu juga yang akan menderita. Ingat untuk selalu berkepala dingin saat membahas sesuatu. Sekalipun kamu menggebu-gebu akan rasa penasaran, jangan pernah bertanya saat kamu marah, atau saat suamimu sedang lelah. Perasaan yang tenang akan membuat pikiran terbuka semakin lebar. Kakak tidak akan menyalahkan kamu kalau kamu memutuskan untuk memulai dari awal. Pacaran setelah menikah, meskipun bagi sebagian orang dianggap aneh, tapi tidak bagi kakak. Tapi ingat, jangan samakan prinsip pacaran setelah menikah sama dengan pacaran sebelum menikah, karena posisimu sebagai istri alal untuk suamimu. Kamu gak boleh lepas dari tanggung jawab kamu sebagai istri. Kamu sekarang memiliki suami yang harus kamu layani. Bukan hanya tentang urusan rumah, pakaian dan makanan tapi juga tempat tidur.” ucap Carina yang membuat wajah Falisha memerah seketika. Carina seolah bisa membaca apa yang ada dalam pikirannya untuk tidak dulu memberikan tubuhnya pada suaminya. “Percayalah, urusan tempat tidur itu adalah kunci hubungan baik suami istri. Memasak, mencuci, bersih-bersih rumah itu bisa dilakukan oleh asisten rumah tangga. Tapi urusan tempat tidur, itu hanya bisa dilakukan seorang istri. Kewajibanmu melayaninya, hak mu diperlakukan dengan baik olehnya. Hak nya adalah menggaulimu, dan kewajibannya adalah memperlakukanmu dengan baik. Bukan dengan cara barbar apalagi sampai menyebabkan luka fisik. Bukan secara memaksa pula. Jadi kalian harus sama-sama rela. Menyenangkan dan disenangkan. Ini hal yang sensitif yang kakak tahu tidak akan dibahas oleh ibu dan kakak sepupumu yang sama-sama pemalu. Tapi setelah kali pertama kalian melakukannya, jika kamu merasakan tidak terpuaskan oleh suamimu dan juga sebaliknya. Maka bahas. Ingat, satu masalah kecil bisa menjadi masalah besar jika tidak dikemukakan, jika tidak dikomunikasikan dan diberikan penyelesaian. Paham?” tanya Carina yang dijawab anggukkan oleh Falisha. “Lalu, tentang anak?” tanya Falisha lagi. Carina menggelengkan kepala. “Diskusikan itu berdua. Kalau kamu merasa belum siap punya anak, ya lakukan program kehamilan, tapi kalau kamu siap, ya lakukan.” “Bagaimana kalau Mas Gibran yang tidak mau punya anak?” tanyanya mengacu pada pertanyaan Meylan semalam. Carina kembali menggelengkan kepala. “Percayalah, seorang ayah tidak akan pernah menolak kehadiran anaknya saat anak itu sudah ada dalam rahim seorang wanita apalagi sudah terlahir kedunia. Mereka yang menolak kehadiran seorang anak adalah pria yang tidak punya perasaan. Yang mereka miliki hanyalah nafsu bukannya kasih sayang. Dan kakak rasa, sekalipun awalnya kamu ragu atau Gibran ragu, tapi saat Allah menitipkan kehidupan dalam rahim kamu, maka menurut-Nya, kalian sudah siap untuk menjadi orangtua. Yang baik menurutmu, belum tentu baik menurut-Nya. Dan berlaku sebaliknya.” Ucap Carina lagi yang membuat Falisha kembali menganggukkan kepala. Falisha meresapi ucapan Carina dan ia berjanji akan membahas ini dengan Gibran setelahnya. Ia kemudian memilih untuk pamit beberapa jam kemudian. Saat Carina mengantarnya keluar, wanita itu kembali berkata. “Ingat Fali, sebagai seorang istri, kamu harus melakukan segala hal atas ijin dan rido suami. Jangan pergi kemanapun tanpa meminta ijin suamimu kecuali jika suamimu sudah berikrar kalau dia akan mengijinkan kamu pergi kemanapun kamu mau karena dia percaya padamu. Jika kamu pergi tanpa ijinnya, tanpa ridonya maka malaikat akan mengutukmu sepanjang perjalanmu keluar rumah hingga akhirnya kamu kembali.” Falisha memucat, namun kemudian menganggukkan kepala. “Apa yang kau lakukan saat Gibran tidak ada?” tanyanya ingin tahu. “Tidak ada.” Jawab Falisha lagi. “Hanya duduk di apartemen dan menunggunya kembali pulang.” Jawabnya apa adanya. “Kalau kau mau menggunakan gelar Sarjana Ekonomi mu dan mengurangi waktu untuk melamunkan hal-hal yang tidak perlu, minta ijin pada Gibran dan pergilah ke Kralligimiz, ada posisi yang kosong untukmu dan kakak bisa membicarakan dengan HRD untuk memberikan jam fleksibel untukmu.” Sarannya yang dijawab anggukkan Falisha.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN