Senja baru saja turun ketika Hilda datang ke ruang kerja Mahendra. Aroma teh melati yang dibawanya menguar lembut, kontras dengan ketegangan yang terasa tipis di udara. Ia meletakkan cangkir porselen itu di meja, lalu duduk anggun di sofa panjang. “Aku baru dihubungi Ibu Kristal,” ucap Hilda perlahan. “Beliau bilang keluarga besar sudah sangat menantikan makan malam bersama minggu depan. Mereka menyiapkan tempat khusus.” Mahendra menutup berkas di tangannya. Pandangannya jatuh pada foto keluarga yang selama ini ia simpan di sudut meja. Ada Mikayla kecil di sana, tersenyum polos di antara kado ulang tahun. “Aku rasa kita harus menundanya.” Hilda mengangkat alis, pura-pura heran. “Karena Mikayla belum ditemukan?” Mahendra menoleh, suaranya berat namun tetap tenang. “Kau tahu kenapa.” “A

