Pengaruh Obat Sialan

1423 Kata
Cahaya lampu kamar menyala lembut. Tirai tipis bergoyang pelan diterpa angin dari balkon. Mikayla terbaring gelisah di ranjang, keringat membasahi pelipis dan tengkuknya. Tubuhnya bergetar bukan karena dingin, melainkan panas yang membakar dari dalam. “Kenapa aku bodoh sekali,” gumamnya pelan, napasnya terputus-putus. Pintu kamar berderit terbuka. Arsenio masuk, membawa segelas air. Matanya langsung menangkap tubuh Mikayla yang menggeliat, kaos tipisnya menempel pada kulit basah, bibirnya sedikit terbuka, pipinya merah menyala. “Kenapa kembali, sial,” Mikayla mengumpat lirih, matanya kabur. “Hanya mengecek,” jawab Arsenio datar, meski nadanya berat. Ia berdiri di sisi ranjang, menatap lekat setiap detail tubuh Mikayla. Jemarinya hampir terulur, lalu ia menahan diri. “Kau kenapa? Kau belum sadar penuh?” desisnya. Mikayla menggeliat, tangannya mencoba membuka kaos yang lengket di kulit. “Panas…” gumamnya lemah. Arsenio langsung meraih tangannya. “Jangan.” “Arsenio…” suaranya lirih, nyaris seperti memohon. “Maaf.” Arsenio menutup mata, nyaris lupa cara bernapas. Ia menunduk dekat wajah Mikayla, rahangnya mengeras. “Kau tahu apa yang kau lakukan sekarang? Atau kau hanya bicara karena otakmu sedang dimanipulasi racun b******n itu?” Mikayla menggenggam seprai erat, tubuhnya melengkung mencari kenyamanan. “Panas…” Arsenio duduk di tepi ranjang, jemarinya menyentuh pipi Mikayla. Kulitnya lembut, bahkan terlalu lembut. Tatapannya turun ke bibir Mikayla, ke leher yang basah oleh keringat. “Kalau aku pria b******k, aku sudah melakukannya.” Ia mengembuskan napas kasar, lalu terkekeh sinis. “Tapi aku bukan seperti pria yang kau sukai itu.” Mikayla tersentak, matanya melebar. “Aku tak menyukainya!” “Oh ya?” Arsenio menunduk lebih dekat, sorot matanya menusuk. “Lalu kenapa kau mengikutinya ke tempat itu? Duduk di sampingnya, menerima minumannya, seolah percaya penuh? Kau bahkan hampir membiarkan tubuhmu diambil di depan semua orang.” “Itu bukan… bukan begitu,” suara Mikayla pecah, tubuhnya gemetar. Arsenio terkekeh dingin, tangannya mencengkeram dagu Mikayla kasar. “Kau pikir aku sebodoh itu? Pria macam itu tidak akan mendekat kalau tidak mencium kelemahan. Dan kau, Mikayla, memberinya celah. Kau yang membuatnya yakin bisa memiliki tubuhmu.” “Tidak! Aku menolak!” teriak Mikayla dengan sisa tenaga. Arsenio menahan dagunya lebih keras. “Menolak? Dengan tubuhmu yang menggeliat seperti itu? Katakan padaku, kalau aku tidak datang tepat waktu, apa kau masih bisa berteriak menolak, atau akhirnya pasrah di bawah tubuhnya?” Air mata Mikayla jatuh. “Kau b******n…” Arsenio tersenyum tipis, dingin. Ia melepas dagunya dengan kasar. “Mungkin. Tapi setidaknya aku b******n yang tahu cara menjaga miliknya. Tidak seperti pria itu, yang hanya tahu merusak.” Napasnya tersengal, tubuhnya tetap panas, tetapi perlahan rasa kantuk memaksa menutup matanya. Kata-kata Arsenio menggema, menusuk telinga dan menekan dadanya sampai sulit bernapas. Ia ingin melawan, ingin berteriak lagi, namun tubuhnya terlalu lemah. Beberapa jam kemudian, malam berganti dini hari. Hujan di luar sudah reda, menyisakan udara lembap dan dingin. Tubuh Mikayla akhirnya tenang, napasnya mulai teratur. Ia membuka mata pelan, pandangannya masih buram. Seketika, tatapannya menangkap sosok Arsenio di kursi dekat ranjang. Tubuh besar itu tertunduk, lengan terlipat di d**a, jemari terkepal seolah masih berperang dengan dirinya sendiri. Cahaya lampu temaram membuat wajahnya terlihat lelah, tetapi rahangnya tetap keras, urat di pelipisnya menonjol. Mikayla terpaku. Dadanya berdebar tidak karuan. Ia menatap lama, mencoba memahami. Pria itu, sumber dari semua terornya, kini duduk di sana seperti penjaga yang tidak bergeming sepanjang malam. Ia menggigit bibir, hatinya kacau. Apa benar dia menjaganya, atau hanya menunggu sampai ia cukup sadar untuk kembali dipermainkan. Tangannya terangkat pelan, menyentuh pipinya sendiri. Masih terasa panas, seolah jejak jemari Arsenio tadi belum hilang. Kilasan tatapannya, bisikan tajamnya, genggaman keras di dagu, semuanya terlalu nyata untuk disebut mimpi. Mikayla menunduk, suaranya lirih hampir tidak terdengar. “Kenapa harus kau yang ada di sini.” Ia menarik selimut lebih tinggi, menutup tubuhnya rapat. Namun matanya tetap terpaku pada Arsenio. Meski membencinya, meski takut, ada bagian dalam dirinya yang justru tidak ingin pria itu pergi. Dan kesadaran itu membuatnya semakin muak pada dirinya sendiri. Mikayla masih berbaring dengan mata terpejam rapat. Jantungnya berdetak cepat saat ia mendengar kursi di sudut kamar bergeser pelan. Dari celah bulu matanya, ia menangkap gerakan Arsenio yang bangkit dari kursinya. Tubuh tinggi itu mendekat, berdiri di sisi ranjang. Napas Mikayla tercekat. Ia ingin membuka mata, ingin menatap langsung, tapi nalurinya memilih berpura-pura tidur. Ia bisa merasakan tatapan pria itu menusuk tubuhnya. Berat, dalam, membuat darahnya berdesir tidak karuan. Arsenio berdiri cukup lama. Matanya menelusuri wajah Mikayla yang tampak damai dalam tidur palsu itu. Rambutnya berantakan menutupi sebagian pipi, bibirnya lembap, kaos tipis yang dikenakannya menempel di kulit pucat yang masih memerah sisa panas obat. Rahang Arsenio mengeras. Ada sesuatu yang menghantam kepalanya, membuatnya sulit berpaling. Namun akhirnya ia mengembuskan napas kasar, lalu berbalik. Langkahnya pelan tapi berat, meninggalkan kamar dengan pintu tertutup rapat. Begitu suara pintu hilang, Mikayla membuka mata. Nafasnya tersengal. Ia menutupi wajah dengan selimut, berusaha menenangkan degup jantungnya yang kacau. “Kenapa aku tidak bisa tenang saat dia ada di sini.” Sementara itu, di kamarnya sendiri, Arsenio menghantam pintu hingga bergetar sebelum menguncinya. Ia berjalan mondar-mandir, tubuhnya seperti terperangkap oleh api yang tidak bisa dipadamkan. Bayangan Mikayla tadi kembali muncul di kepalanya. Tubuh rapuh itu menggeliat di ranjang, kaos tipisnya melorot, memperlihatkan kulit pucat yang berkeringat. Bibirnya terbuka lirih, menggumam namanya dengan suara setengah mendesah. Setiap detik Mikayla di bawah pengaruh obat membuat darah Arsenio mendidih. Ia berhenti di depan cermin. Wajahnya sendiri terlihat kusut, mata merah, rambut berantakan. Tangannya bertumpu kuat di tepi meja hingga buku jarinya memutih. “Sialan.” Suaranya parau, serak penuh tekanan. “Aku hampir saja menelanjangi gadis itu.” Arsenio menunduk, menarik napas dalam yang tetap gagal meredakan panas di dadanya. Bayangan Mikayla yang meronta lemah, menggenggam seprai erat, memohon dengan tubuhnya sendiri, kembali menghantam kesadarannya. Tangannya terangkat, memukul kaca cermin sampai gemetar. “Aku gila. Kenapa aku menginginkannya.” Namun semakin ia mencoba menyingkirkan, semakin jelas Mikayla menari di kepalanya. Tubuh mungilnya, kulit lembutnya, cara ia menyebut namanya dengan suara bergetar. Semua itu menjerat Arsenio lebih dalam dari yang ia kira ** Mikayla turun perlahan dari kamarnya, tubuhnya masih terasa berat, namun kepalanya sudah lebih jernih. Bayangan malam tadi tetap membekas, membuat perutnya mengikat setiap kali mengingat bagaimana Arsenio menatapnya. Di meja makan, Arsenio sudah duduk santai. Kemeja putihnya tergulung di lengan, rambutnya basah setelah mandi, aroma sabun maskulin samar menyebar. Satu tangan memegang koran, sementara cangkir kopi mengepul di sisi kanan. Sekilas, seolah ia tidak menunggu siapa pun. Tetapi mata gelap itu terangkat cepat saat Mikayla masuk, lalu kembali menunduk ke halaman koran. Mikayla berhenti di ambang pintu, gengsinya menahan langkah. Ia benci kenyataan bahwa pria itu yang menyelamatkannya. Tetapi semakin ia menolak, semakin besar rasa tercekik di dadanya. Ia menarik kursi, duduk, dan tanpa menatap langsung ia membuka suara. “Terima kasih,” katanya pelan, suaranya tegas meski ada getaran tipis. “Aku tidak pernah minta kau datang, tapi kalau saja tidak ada kau malam itu, aku pasti sudah berakhir.” Arsenio menutup koran pelan, menatap Mikayla dengan tatapan yang sulit dibaca. Bibirnya melengkung samar, lebih mirip ejekan daripada senyum. “Jadi akhirnya kau bisa mengucapkan itu,” ucapnya ringan. “Meski setengah mati kau jelas-jelas membenciku.” Mikayla mendongak, tatapannya merah. “Aku tidak buta. Aku tahu siapa yang menarikku keluar dari neraka semalam.” Arsenio mencondongkan tubuh, kedua sikunya bertumpu di meja. Matanya menelusuri wajah Mikayla, lalu turun ke bibirnya yang bergetar. “Kau berterima kasih, tapi suaramu terdengar seperti kau sedang menyalahkanku.” “Karena aku memang benci,” balas Mikayla cepat. Arsenio tersenyum tipis, lalu meneguk kopinya. “Kau boleh benci. Tapi tubuhmu yang gemetar di pelukanku semalam bercerita hal lain.” Pipi Mikayla merona. Ia menggenggam sendok erat, berusaha menahan reaksi tubuhnya. “Kau memuakkan.” Arsenio berdiri perlahan, kursinya bergeser. Langkahnya berputar mengitari meja, hingga ia berdiri tepat di belakang Mikayla. Nafasnya jatuh di lehernya, membuat gadis itu menegang. “Kalau aku memuakkan, kenapa kau tidak lari sekarang?” bisiknya dekat telinga Mikayla. Jemarinya menyentuh ringan rambut panjangnya, menggulirkan helaian di antara jari-jari. Mikayla terdiam, tubuhnya membeku. Ia ingin bangkit, ingin menjauh, tapi bagian dalam dirinya justru menunggu apa yang akan dilakukan pria itu selanjutnya. Arsenio menunduk lebih dekat, bibirnya hampir menyentuh helai rambut Mikayla. “Terima kasihmu memang terdengar pahit, tapi tetap saja, itu terdengar indah di telingaku.” Mikayla akhirnya berdiri, kursinya berdecit. Ia menoleh cepat, tatapannya bertemu mata Arsenio dari jarak terlalu dekat. Untuk sesaat, dunia berhenti. Napas mereka bertubrukan, mata mereka terkunci, seolah hanya menunggu siapa yang lebih dulu menyerah. Arsenio tersenyum samar. “Kau mulai belajar mengakuinya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN