Tubuhmu Nyaris Direnggut, Hasratku Meledak

1154 Kata
Mikayla merasakan tubuhnya semakin ringan, kepalanya berputar seperti ditarik arus deras. Musik keras klub yang tadinya hanya memekakkan telinga kini terdengar seperti gema jauh, bercampur dengan cahaya lampu neon yang makin menyilaukan. Nafasnya memburu, kakinya goyah saat ia berusaha bangkit dari kursi bar. “Raka… ada yang salah…” bisiknya dengan suara serak, matanya mencoba fokus namun kabur. “Tidak ada yang salah, Kayla. Kau hanya terlalu kaku. Aku akan menjagamu,” jawab Raka dengan senyum puas. Ia meraih pinggang Mikayla, menopang tubuh lemah itu. Tangannya menempel lebih lama dari yang seharusnya, penuh maksud. Mikayla berusaha menepis, tapi lengannya terasa berat, seolah tubuhnya bukan lagi miliknya. Degup jantungnya makin kacau, sementara keringat dingin membasahi pelipis. Raka menunduk di dekat telinganya. “Tenang saja. Kita ke tempat yang lebih privat. Kau butuh udara.” Dengan langkah setengah menyeret, ia membawa Mikayla melewati kerumunan menuju lorong belakang klub. Cahaya neon berganti temaram, musik berangsur meredam, hanya tersisa dentuman samar dari kejauhan. Lorong itu berakhir di sebuah pintu hitam besar bertuliskan VIP Only. Mikayla berusaha bicara, tapi suaranya hampir tak terdengar. “Lepas… jangan sentuh aku.” Raka terkekeh, jemarinya sudah merayap nakal di paha samping Mikayla. “Kau makin cantik saat melawan. Tubuhmu jujur, Kayla. Jangan pura-pura.” Ia mendorong pintu VIP yang kebetulan tak terkunci, namun sebelum sempat masuk, tubuh Mikayla terseret menempel ke dinding lorong. Raka menahannya kasar dengan satu tangan di bahu, sementara tangan lainnya bergerak nakal ke arah d**a Mikayla. “Raka… berhenti…” suara Mikayla bergetar, matanya berkaca-kaca, kepalanya terhuyung. Raka menunduk, mencium lehernya cepat, napasnya berbau alkohol menusuk. “Kau tidak bisa lari sekarang. Kau terlalu lemah. Dan aku terlalu menginginkanmu.” --- Dari sisi lain klub, langkah tegap Arsenio memasuki area VIP bersama beberapa rekan kantornya. Setelan gelap melekat sempurna di tubuhnya, sorot matanya dingin saat menyapu ruangan. Ia tidak berniat lama, hanya sekadar memenuhi undangan jamuan singkat. Namun, di tengah langkahnya yang biasa penuh percaya diri, pandangannya membeku. Kilasan rambut hitam panjang. Gaun hitam sederhana. Tubuh mungil yang sedang terhuyung di lorong VIP. Arsenio menghentikan langkah, pupil matanya menyempit tajam. “Sialan…” desisnya lirih, darahnya mendidih saat menyadari itu Mikayla. Dengan cepat ia meninggalkan rekan-rekannya, berjalan menyusuri lorong temaram. Suara musik makin jauh, berganti dengan adegan yang membuat rahangnya mengeras. Di sana, tepat di depan pintu VIP, ia melihat seorang pria menekan Mikayla ke dinding. Tangan pria itu jelas-jelas menjalar ke tubuh adik tirinya, sementara Mikayla tampak lemah, hampir tak mampu melawan. Arsenio mengepalkan tangan, suaranya rendah, penuh amarah yang ditahan. “Bajingan.” Detik itu juga, tatapan matanya berubah jadi pisau. Napasnya berat, langkahnya mantap, aura dinginnya menyelimuti lorong sempit itu. Arsenio menunggu sepersekian detik, memastikan penglihatannya tidak salah. Dan ketika ia melihat jelas bagaimana Raka semakin menekan tubuh Mikayla, jemarinya nyaris merobek gaun hitam sederhana itu, sesuatu di dalam dirinya meledak. Langkahnya berat, menghentak lantai lorong. Aura dinginnya langsung menelan udara. Raka tidak menyadari, sibuk menahan Mikayla yang meronta lemah. Baru ketika bayangan tinggi besar jatuh menutupi tubuhnya, ia menoleh. Arsenio berdiri hanya beberapa langkah darinya, tatapannya dingin membunuh, wajahnya tanpa ekspresi, tapi sorot matanya penuh amarah yang menggelegak. “Lepaskan dia.” Suara itu rendah, datar, namun membuat udara di sekitar mereka menegang. Raka terkekeh gugup, mencoba menutupi ketakutannya. “Siapa kau? Ini urusanku, jangan ikut campur!” Arsenio tidak menjawab. Dalam sekejap, ia menghantamkan tinjunya tepat ke rahang Raka. Suara benturan keras bergema, membuat tubuh Raka terhuyung lalu terhempas menabrak dinding seberang. Gelas di tangannya terlepas, pecah berhamburan di lantai, bercampur darah yang mulai merembes dari sudut bibirnya. Mikayla terjatuh ke lantai, tubuhnya gemetar, matanya kabur. Namun dalam samar, ia melihat sosok Arsenio berdiri tegap di hadapannya. Bukan sebagai kakak tiri yang menyebalkan, melainkan sebagai badai yang siap menghancurkan siapa pun yang berani menyentuhnya. Arsenio mendekati Raka yang masih terhuyung, lalu mencengkeram kerah bajunya dan menempelkan wajahnya dekat ke wajah Raka. “Aku sudah bilang, lepaskan dia!" Suaranya tetap rendah, tapi setiap kata seperti belati yang menusuk langsung ke tulang. ** Di luar jendela, hujan turun deras, menampar kaca mobil dan berlanjut hingga halaman rumah. Arsenio masuk dengan langkah cepat, tubuh Mikayla yang setengah sadar berada dalam gendongannya. Ia membawanya melewati lorong panjang, aroma parfum samar Mikayla bercampur dengan dingin udara malam dan basah hujan yang menempel di pakaiannya. Tubuh rapuh itu direbahkan di ranjang kamar pribadinya. Sprei putih kusut saat punggung Mikayla jatuh pelan di atasnya. Gadis itu merintih lirih, menggeliat tak nyaman, tubuhnya seperti terbakar dari dalam, napasnya pendek-pendek. Arsenio berdiri di tepi ranjang, tubuhnya sendiri dipenuhi amarah yang belum sepenuhnya padam. Kemeja hitamnya setengah terbuka, d**a bidangnya basah oleh sisa hujan, napasnya berat seakan menahan sesuatu yang lebih liar dari sekadar marah. Tatapannya jatuh pada lekuk Mikayla yang tak berdaya di hadapannya. “Bodoh,” gumamnya serak, nyaris seperti desahan. “Apa kau pikir dunia ini aman untuk gadis polos seperti kau. Dunia di luar sana penuh b******n haus tubuhmu.” Mikayla membuka mata perlahan, kabur, berair, tapi cukup untuk melihat siluet Arsenio di sana. Bibirnya bergerak, suara pelan namun menusuk keluar dari tenggorokannya. “Kau tampak bangga sekali, seolah jadi pahlawan. Padahal aku tidak pernah meminta kau datang.” Arsenio mengembuskan napas kasar, lalu duduk di sisi ranjang. Tangannya yang besar menyentuh pipi Mikayla, kali ini lembut, kontras dengan sorot mata yang masih menyala marah. Jemarinya meluncur turun, menyusuri garis rahang, lalu berhenti di leher jenjang yang bergetar lemah. “Kau benar. Kau tidak pernah memintaku datang. Tapi aku juga tidak pernah membutuhkan izinku untuk menghancurkan orang yang berani menyentuhmu,” suaranya rendah dan menekan. “Kau pikir aku melakukannya untukmu? Tidak. Aku melakukannya karena tidak ada satu pun pria yang boleh memiliki dirimu. Tidak ada satu pun, kecuali aku.” Bibirnya melengkung miring. “Kau ini adik tiri yang merepotkan.” Mikayla mengerutkan alis, setengah sadar, suaranya pecah. “Kau masih menganggapku mainanmu. Hentikan. Jangan pernah sebut aku adik. Jijik sekali.” Arsenio mendekat lebih rapat. Napas panasnya membelai wajah Mikayla, membuat kulitnya meremang. Mata tajamnya menatap dalam, liar, antara hasrat dan amarah yang saling bertabrakan. Tangan satunya menahan sisi ranjang, tubuhnya condong hingga panas tubuhnya menyelimuti Mikayla yang menggigil. “Bukan mainan,” desisnya di telinga Mikayla. “Tapi milikku. Oke, kalau kau tak ingin dipanggil adik tiri, bagaimana kalau Sayangku?" Mikayla mendesis, tubuhnya bereaksi meski otaknya menolak. “Gila.” Arsenio menunduk, bibirnya hanya berjarak satu sentimeter dari kening Mikayla. Detik itu, ia bisa merasakan aroma manis kulitnya, panas tubuhnya, godaan yang menusuk akal sehatnya. Tangannya hampir saja turun lebih jauh, hampir menyerah pada liar yang mendesak keluar. Namun ia menghentikan dirinya. Rahangnya mengeras, urat di pelipisnya menegang. Dengan kasar ia menarik diri, berdiri, lalu melangkah mundur. “Tidurlah.” Suara pintu tertutup pelan, tapi langkah Arsenio berat, nyaris meledak. Di lorong gelap ia mengumpat pada dirinya sendiri. “Sialan. Kenapa aku merasakan ini.” Napasnya memburu, dadanya panas. Ia sadar permainan yang ia ciptakan mulai membakar dirinya sendiri, dan itu lebih berbahaya dari apa pun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN