Bukan Sekedar Minunan Manis

1689 Kata
Mikayla baru saja keluar dari kamar mandi ketika ponselnya bergetar di atas meja. Nama “Ibu” tertera di layar, membuat dadanya langsung sesak. Ia menghela napas panjang sebelum menekan tombol hijau. “Mikayla,” suara Hilda terdengar ketus, penuh tekanan. “Kau di mana sekarang?” “Di rumah,” jawab Mikayla singkat. “Bagus. Dengarkan baik-baik. Kau tinggal di sana bukan untuk buang-buang waktu. Kau harus bisa membuat Arsenio menerimamu. Kau dengar itu?” Mikayla menggenggam ponselnya erat, menahan amarah yang mendidih. “Aku tidak butuh penerimaannya. Aku bahkan lebih baik hidup di jalanan daripada berusaha dekat dengan pria menjijikkan itu,” balasnya dingin. “Kau berani bicara begitu?!” suara Hilda meninggi, penuh gertakan. “Arsenio adalah kakakmu sekarang. Kau harus bisa akur dengannya. Itu perintah!” Mikayla memejamkan mata, hatinya berteriak, tapi ia tak menahan lagi. “Kakak macam apa yang tangannya suka merayap seenaknya? Jangan suruh aku pura-pura manis hanya demi menyenangkanmu di depan Mahendra. Aku muak!” Hening sejenak di ujung telepon, lalu suara Hilda kembali, lebih tajam. “Diam! Jangan pernah bicara begitu lagi. Kau pikir aku peduli dengan perasaanmu? Tidak. Kau hanya cara untuk membuatku terlihat seperti ibu yang baik di depan Mahendra. Itu satu-satunya alasan kau masih tinggal di sana.” Mikayla tertegun, hatinya seperti ditampar berkali-kali. “Kalau bukan karena Mahendra, sudah dari dulu aku singkirkan kau. Ingat itu baik-baik, Kayla. Jadi berhenti melawan dan jalankan peranmu. Tersenyum, patuh, dan jangan sekali pun mempermalukan aku di depan orang lain,” ujar Hilda, dingin dan penuh ancaman. Telepon terputus begitu saja. Mikayla menatap layar ponselnya yang gelap, tangannya bergetar hebat. Tubuhnya seakan membeku, tapi dadanya dipenuhi kobaran amarah bercampur sakit hati. Ponsel itu masih ada di genggamannya, layar sudah gelap, tapi kata-kata Hilda terus menancap di kepalanya. Kau hanya cara untuk membuatku terlihat seperti ibu yang baik di depan Mahendra. Mikayla terduduk di tepi ranjang, tubuhnya gemetar. Nafasnya terengah, seperti ada batu besar menghimpit dadanya. Ia menatap kosong ke arah lantai, kepalanya berputar dengan bayangan masa lalu. Selama ayahnya masih hidup, Hilda memang selalu tampak lembut. Tersenyum, menyuapi, bahkan menemaninya belajar. Mikayla ingat jelas bagaimana ia dulu sempat mengira bahwa Hilda mungkin benar-benar tulus mencintai dirinya, meski bukan anak kandung. Ia mencoba percaya, mencoba membuka hati pada wanita itu. Namun sekarang, kata-kata dingin Hilda membongkar segalanya. Semua kebaikan itu hanya topeng. Semua perhatian itu ternyata sekadar sandiwara untuk terlihat keibuan di mata Mahendra. “Jadi aku hanya alat? Tidak lebih dari pajangan untuk memoles citramu?” Mikayla berbisik pada dirinya sendiri, suaranya serak. Air matanya jatuh tanpa bisa ia cegah. Punggung tangannya mengusap kasar pipinya, tapi semakin ia usap, semakin deras air itu keluar. Hatinya terasa hancur, seperti tanah yang retak tanpa bisa kembali menyatu. Mikayla memeluk lututnya erat, menggigil di balik rasa marah dan kecewa. Ia tak menyangka, wanita yang sempat ia panggil “Ibu” kini menunjukkan wajah aslinya. Wajah yang penuh perhitungan, tanpa cinta, tanpa kasih. Hatinya benar-benar remuk. Ia merasa sendirian, terjebak di rumah besar yang tidak pernah benar-benar menjadi rumah baginya. “Aku tidak bisa di sini lagi,” desahnya, menekan wajahnya ke lutut. “Aku akan pergi, biar dia puas hidup dengan dunianya sendiri. Aku bisa hidup tanpa siapa pun.” Namun, suara tawa samar dari luar kamar mengingatkannya pada kenyataan lain. Arsenio. Bayangan pria itu selalu ada, mengekang langkahnya, mengintai tiap geraknya. Bahkan jika ia ingin lari dari Hilda, Arsenio adalah tembok lain yang menghadangnya. Tubuhnya lemah, tapi pikirannya kacau. Ia merasa seperti terjebak dalam lingkaran setan, di mana setiap arah yang ia pilih hanya membawanya kembali pada jerat yang sama. Untuk menenangkan diri, Mikayla akhirnya memutuskan pergi ke kampus lebih awal. Ia berharap di luar sana, di tengah keramaian mahasiswa, kepalanya bisa sedikit tenang. Namun, bahkan di kampus, bayangan ucapan Hilda masih menghantui. Mikayla duduk sendirian di bangku taman kampus. Matanya masih merah, kelopak matanya bengkak tipis bekas tangisan yang dipaksakan berhenti. Pikirannya kacau setelah percakapan telepon dengan Hilda. Kata-kata itu masih menusuk telinga dan hati. Kau hanya alat. Kau bukan apa-apa tanpa aku. Ia menunduk, menahan napas panjang, berusaha terlihat normal di tengah riuh mahasiswa yang berlalu-lalang. Namun tubuhnya tetap tegang, seolah dunia bisa runtuh kapan saja. “Kayla.” Suara itu muncul tiba-tiba. Mikayla mendongak, menemukan sosok Raka berdiri di hadapannya. Rambutnya agak berantakan, hoodie abu-abu melekat santai di tubuhnya. Senyumnya tipis, tapi sorot matanya tajam meneliti. “Kau kelihatan kacau,” katanya. Bukan pertanyaan, melainkan pernyataan. “Aku baik-baik saja,” balas Mikayla singkat. Suaranya terdengar serak. Ia buru-buru menegakkan punggung, seakan ingin menutupi kelemahan. “Tidak, kau tidak baik-baik saja.” Raka duduk di sampingnya tanpa minta izin. “Aku bisa lihat dari matamu. Kau seperti orang yang sudah terlalu lama menelan sakit sendirian.” Mikayla tidak menjawab. Hanya menggenggam erat buku catatannya, jari-jarinya pucat karena tekanan. Raka mencondongkan tubuhnya, menatapnya lebih dekat. “Kalau terus bertahan dengan cara itu, kau bisa gila. Kau butuh lari sebentar. Keluar dari semuanya.” Mikayla menoleh, menatapnya dengan curiga. “Keluar ke mana?” “Klub.” Senyum Raka mengembang. “Tempat di mana musik terlalu keras untuk membiarkanmu berpikir. Lampu neon terlalu silau untuk membiarkanmu menangis. Tidak ada yang peduli siapa dirimu. Kau bisa bernapas tanpa beban.” Mikayla menggeleng pelan. “Aku tidak pergi ke tempat seperti itu.” “Justru karena itu.” Raka menatapnya intens, suaranya merendah. “Sekali-sekali kau perlu mencoba. Malam ini saja. Anggap saja pelarian. Kau tidak akan rugi apa pun.” Hening. Mikayla menunduk, hatinya kacau. Ia memang ingin lari. Dari Hilda, dari rumah itu, dari dirinya sendiri yang semakin remuk. Raka memperhatikan Mikayla lebih lama. Pandangannya turun, meneliti tubuh gadis itu. Penampilan Mikayla sederhana, hanya kemeja putih longgar yang bagian atasnya sedikit terbuka karena satu kancing tak terkunci, dipadukan rok hitam selutut. Namun justru kesederhanaan itu yang menonjolkan pesonanya. Leher jenjangnya tampak pucat di bawah cahaya sore, kulitnya halus tanpa perhiasan. Kemeja tipis itu membentuk siluet samar lekuk bagian atas tubuhnya, membuat Raka harus menahan diri agar tidak menatap terlalu lama. Rok hitam sederhana membingkai pinggang ramping dan paha yang terlihat kuat namun feminin. Sepatu flat polos hanya menambah kontras polos tapi memikat. Yang membuat Raka paling terpana justru sorot matanya. Mata yang masih basah, merah, tapi menyimpan api kecil yang keras kepala. Perpaduan rapuh dan kuat yang memancing hasrat tersembunyi. “Kayla,” ucap Raka akhirnya, suaranya terdengar lebih dalam. “Kau bahkan tidak sadar betapa menariknya dirimu sekarang. Kau berdandan sederhana, tapi itu justru membuatmu…” Ia berhenti sejenak, tersenyum samar. “…sulit untuk diabaikan.” Mikayla mendengus, berusaha menutupi rasa tidak nyaman. “Kau mulai bicara aneh.” “Tidak. Aku bicara jujur.” Raka bersandar santai, tapi matanya tetap menempel pada Mikayla. “Kau boleh terus menolak, tapi aku tahu kau butuh tempat untuk bernapas. Kau tidak bisa terus terjebak sendirian.” Mikayla terdiam, matanya menatap kosong ke arah pepohonan di taman. Di satu sisi, ia tahu ikut ajakan Raka adalah ide buruk. Tapi di sisi lain, ia benar-benar ingin keluar dari lingkaran sakit yang mencekiknya. “Aku tidak janji akan suka,” gumamnya akhirnya, hampir tak terdengar. Raka menoleh cepat, senyumnya melebar. “Itu cukup.” ** Di tengah perempuan-perempuan glamor dengan gaun penuh kilau, kesederhanaan Mikayla tampak kontras sekaligus memikat. Raka berdiri di sampingnya, matanya tak pernah lepas dari Mikayla. Tatapan itu jelas bukan sekadar ramah. Ia mengangkat gelas berisi cairan merah pekat, lalu menyodorkannya ke arah Mikayla. “Minum ini. Manis, tidak keras. Bisa bikin kau rileks.” Mikayla menatap gelas itu ragu. Namun gengsi menahannya untuk menolak mentah-mentah. Ia menyesap sedikit, merasakan panas menjalar di lidah dan tenggorokannya. Kepalanya perlahan menjadi ringan, pandangannya agak kabur. Raka tersenyum puas. Ia mencondongkan tubuh, membisik di telinga Mikayla. “Kau cantik sekali malam ini. Dress hitam sederhana itu… justru membuatmu berbeda dari semua gadis di sini. Aku hampir tidak bisa melepaskan pandangan.” Mikayla bergeser, berusaha menjaga jarak. “Biasa saja, tapi aku tak terlalu cocok dengan tempat ini,” katanya. Suaranya terdengar tenang, meski di dalam dadanya ada keresahan yang tak bisa ia redam. Raka terkekeh rendah. “Itu karena kau terlalu kaku. Kadang kau harus biarkan orang lain menunjukkan bagaimana caranya bersenang-senang.” Tangannya merayap ke lengan Mikayla, mencengkeram lembut namun penuh maksud. Mikayla tersentak, menepis dengan cepat. “Jangan sentuh aku.” Mikayla menepis tangan Raka dengan cepat, tapi genggamannya tak sepenuhnya mengendur. Lelaki itu hanya terkekeh, seolah menertawakan perlawanan kecilnya. “Sudahlah, jangan tegang begitu,” ucap Raka. Ia kembali menyodorkan gelas merah itu ke depan wajah Mikayla. Cairan di dalamnya berputar pelan, memantulkan cahaya neon yang temaram. “Minum sedikit lagi. Kau akan merasa lebih santai. Aku tidak ingin malam ini terbuang percuma hanya karena kau sibuk menjaga jarak.” Mikayla mengerutkan kening, menatap cairan itu dengan curiga. Rasa panas dari tegukan pertama masih terasa mengganggu di tenggorokannya. Hatinya menolak, tapi sorot mata Raka yang penuh desakan membuatnya sulit mundur. Ia tidak ingin membuat keributan di tengah keramaian klub, di hadapan mata-mata asing yang bisa saja langsung menilai buruk dirinya. “Aku tidak butuh ini,” katanya pelan, berusaha terdengar tegas. “Tapi aku butuh kau tenang.” Raka mencondongkan tubuh, wajahnya mendekat, senyum tipisnya begitu yakin. “Satu tegukan saja, Kayla. Setelah itu kau bisa memutuskan sendiri apakah ingin tetap di sini atau tidak. Anggap ini penghormatan untuk tuan rumah.” Mikayla terdiam. Ia bisa merasakan tatapan orang-orang di sekitar, dan gengsi menahannya untuk menolak terus. Dengan napas berat, ia meraih gelas itu dari tangan Raka. Jemarinya gemetar, tapi ia menegakkan dagu, berusaha menutupi kegugupan. “Baiklah,” desisnya singkat. Cairan merah itu kembali melewati bibirnya, manis menusuk dengan sensasi aneh yang langsung menyebar ke seluruh tubuh. Hanya butuh beberapa detik, kepalanya mulai terasa ringan, tubuhnya hangat tak wajar, dan detak jantungnya berlari tanpa kendali. Raka tersenyum puas, matanya berbinar dengan kilatan yang membuat bulu kuduk Mikayla meremang. “Nah, begitu lebih baik,” bisiknya. Ia menyingkirkan gelas kosong dari tangan Mikayla, lalu jemarinya bergerak menyapu pelan lengan pucat itu. Mikayla mencoba menepis, tapi gerakannya melambat, seperti kehilangan tenaga. Pandangannya berkunang, napasnya mulai tersengal. Ada sesuatu yang salah. Ia bisa merasakannya. Apa yang baru saja ia minum bukan sekadar minuman manis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN