Mikayla baru saja selesai merapikan tasnya. Rambutnya dikuncir sederhana, wajahnya masih pucat setelah malam penuh gejolak. Ia hendak melangkah keluar menuju kampus ketika pintu kamarnya tiba-tiba terbuka. Hilda berdiri di ambang pintu dengan wajah tegang, bibir merahnya bergetar menahan amarah. Tanpa bicara, Hilda menutup pintu dengan keras hingga suara kayu menggema di seluruh ruangan. Lalu ia melangkah cepat dan menampar Mikayla keras. Suara tamparan itu pecah, meninggalkan jejak panas di pipi Mikayla. “Anak tidak tahu diri!” teriak Hilda dengan mata melotot. “Aku memintamu dekat dengan Arsenio agar hubungan kalian akrab sebagai saudara, tapi kau malah menjual diri padanya, hah!” Mikayla terhuyung, menahan sakit di pipinya. Napasnya tercekat. “Bu, aku—” Belum sempat ia menyelesaikan

