Sorry for Doing this to You

1959 Kata
Kia mengerjap, dicubitnya tangannya pelan untuk memastikan apakah dia sedang bermimpi atau tidak. Rasanya di luar bayangan, dosen pembimbingnya yang super angkuh itu mengajaknya ketemuan di night club? Nggak salah? Kia mengirim balasan. Tumben bapak ngajak saya ketemuan, di club pula. Bapak bilang ini first date? Datang balasan dari Liam. Ya ini first date kita. Tolong jaga rahasia ini. Kita ketemuan jam sembilan di Lobely night club. Meski masih merasa aneh, tapi Kia senang. Dia sangat yakin, Liam pasti akan berhasil dia taklukan. Kini ia bingung, pakaian apa yang harus ia kenakan malam ini. Liam memintanya untuk menjaga rahasia, itu artinya dia tak bisa bercerita pada Vicky maupun Sasha. Liam mengusap wajahnya. Meski pesan-pesan WA yang ia kirimkan pada Kia hanyalah sandiwara, namun tetap saja ia merasa bersalah, seolah ia benar-benar mengkhianati Ami. Sesaat dia berpikir untuk memberi tahu Ami tentang isi pesan WA Kia yang bernada ancaman, tapi setelah ia baca-baca lagi, isi WA Kia lebih banyak berisi pesan yang seolah-olah mengindikasikan adanya hubungan diantara mereka. Hal ini justru akan memperkeruh persoalan. Di waktu yang bersamaan, Ami mengajak Callista bermain di taman. Callista begitu menyukai suasana taman yang sejuk dan dikelilingi bunga berwarna-warni. Warna-warna yang mencolok ini menjadi daya tarik tersendiri. Ami sengaja membiarkan baby Cal berdiri dan diarahkan pada bunga-bunga itu untuk memancingnya berjalan mendekat ke arah bunga. Callista sudah mengalami perkembangan yang cukup baik. Langkah kakinya bertambah panjang. Kini ia bisa melangkah enam langkah. Selama berjalan, tawa lebar terlukis di wajah imutnya. Sejenak, Ami lupa akan kesedihannya karena memikirkan permasalahannya dengan Liam. Tiba-tiba ada seorang wanita paruh baya mendekat ke arahnya. Dia menuntun seorang balita perempuan yang kemungkin sepantaran dengan Callista. “Wah dedenya udah pinter jalan ya neng. Umurnya berapa?” Sapa ibu itu ramah. “Alhamdulillah pelan-pelan anak saya udah makin lancar jalannya. Umurnya 15 bulan.” Jawab Ami sembari mengamati balita perempuan yang berjalan mendekati Callista. “Wah seumuran ama cucu saya ya. Cucu saya juga 15 bulan. Tapi dia udah lancar jalannya. Dari umur 12 bulan udah pinter jalan.” Ujar ibu itu bangga sembari menatap cucunya dengan senyum merekah. Ami tersenyum tipis tanpa mengucap sepatah katapun. Ia tahu perkembangan setiap anak itu berbeda satu sama lain. Setiap anak spesial dengan caranya. “Itu dedenya nggak punya tangan?” Sang ibu memicingkan matanya dan menatap Callista lekat-lekat. Ami mengangguk, “iya bu. Dari lahir dia memang tidak memiliki tangan.” Ibu tersebut melongo, “dia cacat lahir ya? Kasihan banget ya. Biasanya anak yang cacat begitu bisa jadi karena ibunya kurang hati-hati waktu hamil.” Ami mengernyitkan dahinya, “kurang hati-hati gimana ya?” “Ya mungkin neng waktu hamil lupa baca doa atau motong ayam nggak doa dulu. Atau bisa juga karma karena orangtuanya berbuat dosa.” Ujar si ibu tanpa tedeng aling-aling. Ami tak suka mendengar kata-kata pedas itu. Meski Callista bukan anak kandungnya tapi tetap saja selalu ada rasa sakit yang menjalar setiap kali orang mengaitkan cacat yang ada pada tubuh Callista dengan karma yang diterima ayah ibunya. “Saya rasa nggak adil kalau anak yang terlahir fitrah dan tak berdosa harus menanggung dosa orangtuanya. Ini semua sudah ketentuan Allah bu.” Balas Ami. “Tapi rata-rata begitu sih, kalau orangtuanya dosanya banyak, eh anaknya pas lahir ada aja kekurangannya. Entah cacat, sakit-sakitan atau apa itu..menderita sindrom apa itulah..” Celetuk ibu itu lagi. Ami terdiam, tak membalas lagi. “Oya dedenya ini benar-benar anak neng? Kok ada bule-bulenya ya? Bapaknya bule ya?” Ami hanya tersenyum menanggapi pertanyaan sang ibu. “Mukanya cantik. Meski nggak punya tangan tapi cantik. Ini pasti mirip bapaknya makanya cantik.” Glek.. Ami jadi kesal sendiri. That means she is not beautiful? “Perkembangan anaknya neng lambat ya. Umur 15 bulan baru bisa jalan, itu juga belum lancar. Badannya juga mungil, nggak kayak cucu saya, gemuk. Ibunya telaten sih neng. Setiap hari masak makanan bergizi buat anaknya.” Ami semakin bad mood mendengar sang ibu nyerocos, membandingkan Callista dengan cucunya. Seakan dia tak becus mengurus Callista. Setiap hari dia selalu memasak menu yang sehat untuk Callista. Badan Callista memang mungil namun berat badan dan tinggi badan masih normal kalau dilihat dari growth chart. Rasanya Ami tak tahan lagi jika hanya diam. “Anak saya badannya mungil tapi perkembangannya masih normal. Dia juga selalu saya buatkan makanan yang sehat dan bergizi. Yang terpenting dia sehat. Gemuk belum tentu sehat. Perkembangan dan pertumbuhan anak kan berbeda satu sama lain, nggak bisa dibanding-bandingin.” Ujar Ami sedikit ketus. “Ya tapi gemuk kan lebih lucu. Pipinya kayak bakpao bikin orang gemas.” Celetuk sang ibu. “Ya mudah-mudahan cucu ibu gemuk terus sampai nanti seumuran ibu, menuruni gemuk dari neneknya.” Balas Ami sambil beranjak dan menggendong baby Cal. Sebenarnya dia nggak suka ngomongin fisik orang, tapi si ibu yang memulai membandingkan fisik Callista dengan cucunya. “Pulang yuk, udah sore.” Ucap Ami pada baby Cal lalu dengan santainya meninggalkan sang ibu dan cucunya. Ibu tersebut bengong dan sangat kesal dibilang gemuk oleh Ami. Ami mengenyahkan omongan negatif sang ibu tentang Callista. Ami merasa tak nyaman jika orang mulai membicarakan kondisi Callista yang berbeda dengan anak-anak lain yang memiliki anggota tubuh yang lengkap. Dia ingin Callista bisa diterima dan dipandang sebagai manusia yang sama dengan yang lain meski kondisinya memang berbeda. Termasuk omongan yang mengatakan badan kecil Callista juga seringkali membuat Ami jengah. Dia menerima apapun keadaan Callista dan di matanya Callista tetap bersinar seperti bintang. Tiba di rumah, dia melihat mobil Liam sudah terparkir di halaman. Ami masuk ke dalam. Terdengar suara ceburan air yang seakan menggema di seantero ruang. Ami melirik ke arah kolam. Liam sedang berenang. Gerakannya begitu gesit berenang dari ujung kanan ke ujung kiri. “Ami..” Liam memanggilnya, namun Ami cuek. Dia masih kesal pada Liam dan belum ingin berdamai dengannya. Bibi Lasmi mendekati atasannya itu, “neng sini baby Cal ama bibi dulu. Kayaknya aa Liam butuh bantuan neng Ami.” Wanita paruh baya itu menggendong baby Cal, sedang Ami masih mematung menyaksikan Liam yang masih memanggil-manggil namanya. Ami tampak ragu, namun akhirnya ia berjalan ke arah kolam. “Ami temeni aku berenang.” Ujar Liam lalu berenang ke tepi. “Nggak. Renang aja sendiri.” Balas Ami sewot. Liam menepi dan naik ke atas, “kamu kalau lagi ngambek gini nggemesin banget. Kenapa sih kamu keukeuh banget ama pendirian kamu? Harusnya kamu lebih percaya ama suami sendiri.” Ami mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Pokoknya aku janji, aku bakal dapetin bukti itu. Aku bakal berjuang buat dapetin kepercayaan kamu lagi.” Amber tak menggubris. Dia berbalik dan saat hendak melangkah, Liam menarik tangan istrinya. “Ami, please buka hati kamu buat percaya sama aku lagi. Sumpah aku nggak suka kita diem-dieman dan ngambek-ngambekan kayak gini. Aku pingin kita baik-baik terus. Ami menoleh Liam. Sorot mata Liam seakan begitu memohon. Ada pengharapan besar di kedua matanya. Jauh di dalam hati Ami juga sangat merindukan moment romantisnya bersama Liam. Dia juga menginginkan semua berjalan baik, tapi dia belum bisa memercayai Liam sepenuhnya. Ami melepaskan tangannya dari genggaman suaminya. Tanpa berkata-kata, Ami melangkah meninggalkan Liam yang masih mematung dan menatap langkah Ami yang menjauh dengan segala rasa pilu yang berkecamuk. Rasanya seperti kehilangan sebagian nyawanya. ****** Kia duduk di salah satu sudut ruangan sambil menyaksikan lalu lalang orang-orang yang mencari hiburan dan kesenangan di night club. Lampu disko berkelap-kelip diiringi musik hiphop dan tarian dari para pengunjung. Beberapa pasangan terlihat begitu asik bercengkrama, membuat Kia risih sendiri. Dia tak memesan minuman apapun. Dia hanya ingin bertemu Liam dan melalui malam ini dengan begitu romantis. Sebenarnya sudah lama dia tak lagi menjejakan kaki di night club. Sejak memutuskan untuk lebih fokus mengerjakan penelitian dan menyusun skripsi, Kia memang menghindari clubbing. Demi bertemu Liam, dia rela mengunjungi tempat ini lagi. Sudah lima belas menit menunggu namun Liam tak datang jua. WA yang ia kirim berulang kali juga tak mendapat balasan. Kia semakin kesal. Kini ia mulai curiga bahwa Liam telah mengerjainya. Setengah jam berlalu dan tak ada tanda-tanda kedatangan Liam. Kia emosi dibuatnya. Dengan amarah yang sudah tak tertahan lagi, Kia mengupload foto-fotonya dan Liam di i********:. Kia tersenyum sinis. Dia yakin setelah postingan ini viral, karir Liam pun akan segera berakhir. Saat Kia hendak beranjak, seorang pemuda berperawakan tinggi dan berwajah rupawan menghentikannya. “Boleh aku duduk di sini?” Tanya Kris dengan seulas senyum tipis. Kia menatap Kris yang tampak keren dengan setelan jas semi formal dengan wangi parfum yang begitu menenangkan. “Silakan, saya juga mau pulang.” Balas Kia. “Kenapa pulang? Saya sendirian di sini, bisa nggak kita berbincang sebentar? Biar saya ada temannya.” Tanya Kris lagi. Kia sedikit ragu, namun keramahan Kris membuatnya tergugah untuk memberi kesempatan pada pemuda itu untuk mengenalnya. Wajah tampan Kris cukup membuatnya tertarik. “Baiklah, tapi sebentar aja ya.” Balas Kia. Kris mengangguk. “Oya kenalkan aku Kris.” Kris mengulurkan tangannya. Kia menyambutnya, “aku Kia. Mereka duduk bersebelahan. Suasana terasa canggung namun Kris berusaha menciptakan suasana rileks di saat mereka berbincang banyak hal. Kris yang telah berpengalaman menaklukkan para cewek sanggup membuat Kia mau berbincang lebih lama. Kia mengakui, Kris begitu menarik dan dia seakan telah mengenal Kris lama karena Kris bisa menciptakan suasana yang hangat dan akrab. Tiba waktunya Kris memesan minuman. Dua gelas vodka untuk keduanya. Kia yang sudah lama tak meminum alkohol, malam ini dia kembali meminumnya demi menghargai Kris yang telah memesankan minuman untuknya. “Kia gimana kalau kita membuat permainan? Siapa yang kalah dia harus minum.” Kris mengulas senyum manisnya. Kia tak berani menolak. Dia butuh bersenang-senang malam ini untuk menghilangkan kekesalannya pada Liam yang telah mengerjainya. “Permainan apa?” Tanya Kia. “Gampang, permainan suit jari aja.” Balas Kris. Mereka pun memulai permainan. Kia sudah bolak-balik kalah dan ia pun terpaksa minum. Kia kehilangan kendali untuk menjaga dirinya sendiri. Dia tahu bahwa night club tak akan pernah aman untuk perempuan, namun emosinya sedang begitu labil karena ia frustasi dipermainkan Liam, apalagi pesona Kris susah untuk ia tolak. Saat Kris melihat Kia sudah mulai mabuk dan sedikit meracau, Kris menghentikan permainannya. Kia memegangi kepalanya yang terasa begitu pusing. Kris melirik Chandra yang sudah ia minta untuk standby di club dan merekam serta memotret interaksinya bersama Kia. Sudah lama Kris tak berkencan dengan siapapun. Malam ini sepertinya akan menjadi kencan pertamanya setelah sekian lama dia tak berkencan dengan siapapun. Kris memeluk pinggang Kia dan mengecup leher Kia begitu lembut, membuat Kia meremang. Dia bahkan seperti kehilangan tenaga untuk menolak. Dia sudah kehilangan setengah kesadarannya. Alkohol membuat gairahnya menyala. Ia biarkan Kris mengecup lehernya dan mencium bibirnya. Moment ini tak disia-siakan Chandra. Dia merekam dan memotret moment panas Kris dan Kia dengan smartphonenya. Semua ini dilakukan demi menyelamatkan nama baik Liam. Kia meracau dan menarik kerah kemeja Kris. Kepalanya masih terasa pening dan ciumannya dengan Kris mampu membuatnya sedikit lebih rileks, serasa menerbangkannya karena ia belum pernah merasakan ciuman sepanas ini. Kia dikenal playgirl, dan tujuannya memacari banyak pria itu hanya untuk sekedar menantang diri sendiri sejauh mana dia bisa menaklukkan para cowok yang ia anggap menarik dan disukai banyak perempuan. Tak ada rasa cinta , hanya ketertarikan sesaat. Karena itu dia tak pernah lama berpacaran. Setelah bosan, ia akan memutuskan pacar-pacarnya. Satu hal yang sangat dijaga Kia, keperawanannya. Dia tak mengizinkan mantan-mantannya untuk menyentuhnya. Pengalaman ciumannya pun masih minim. Ia hanya pernah berciuman dengan Kai, dan itu tak ada apa-apanya dibanding ciuman Kris. “Anterin aku pulang....ibu kostku bisa marah-marah kalau aku pulang kemaleman..” Racau Kia masih sambil memegangi kepalanya yang semakin terasa berat. Kris memeluk tubuh Kia dan berbisik di telinganya, “aku akan mengantarmu, tapi tidak ke kostmu.” Kris tersenyum. Kia tak menanggapi ucapan Kris. Dia sudah mabuk berat. Kris berbisik sekali lagi, “maaf Kia sayang, kelicikan harus dibalas dengan kelicikan juga.” ******
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN