I Will Defend You

2526 Kata
Author’s POV Ami hanya bisa terpaku saat Liam dengan aktifnya menelusuri setiap jengkal tubuhnya dengan jari-jari lembutnya. Bajunya masih menempel di tubuhnya, hanya saja semua kancing bajunya sudah terlepas. Liam seakan lupa daratan. Saat ini dia hanya menginginkan Ami. Tentu saja ia percaya Ami bisa menjaga diri dan tidak melakukan apapun dengan Kris. Namun ia ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk menuntaskan rasa penasarannya, what does s*x feel like? Sama seperti alur film semi panas yang tidak dipahami Liam dan ujuk-ujuk membawa pemain laki-laki dan perempuan ke ranjang, maka seperti itulah yang sedang terjadi antara dirinya dan Ami. Entah siapa yang memulai, mereka sudah ada di ranjang dengan posisi saling berhimpitan. Liam menindih tubuh Ami namun ia masih memberi celah untuk memberi ruang pada Ami agar leluasa bernapas. Liam kembali memagut bibir Ami dan refleks Ami mengalungkan tangannya ke leher Liam. Hanya sebuah kehangatan dari hati yang sudah saling membutuhkan yang saat ini menyeruak di setiap sudut ruang. Mereka hanya tak menyadari, keinginan untuk merasakan setiap sentuhan yang menerbangkan ke awan sama halnya dengan keinginan untuk melengkapi dan membawa pernikahan ini benar-benar menjadi pernikahan yang selaras dengan impian. Liam terlalu jaim untuk mengakui bahwa perasaannya pada Ami mulai bersemi melebihi keinginannya untuk memiliki raga Ami seutuhnya. Rasa itu semakin menguat kala setiap tarikan napasnya seakan ingin meneriakkan bahwa ia tak rela dan tak akan pernah rela Ami bersama dengan Kris. Ami pun tak menyadari bahwa hati manusia adalah bagian yang paling rapuh diantara bagian yang lain. Terkadang menjadi sesuatu yang sangat kuat dan di sisi lain bisa saja rapuh dan hancur dengan mudahnya. Dia tak mengerti bahwa cinta bisa datang kapan saja. Dan bahkan ia lupa bahwa ia pernah begitu mencintai Kris di saat kecupan Liam di sepanjang lehernya dan menurun ke dadanya mampu hadirkan desiran dan sensasi yang begitu aneh, seakan dia menginginkan Liam seutuhnya untuk menyatu dengan dirinya. Mendadak Liam merasa gerah. Dia membuka semua kancing bajunya dan melepasnya lalu melemparkan serampangan. Kembali ia mencium bibir Ami yang begitu sayang jika dilewatkan. Dia belum pernah merasakan gairah sehebat ini pada wanita manapun selain pada Ami. Selalu ada perasaan berdebar, degup jantung yang berpacu lebih cepat dan perasaan seakan tersengat aliran listrik menjalar di seluruh pembuluh darahnya setiap kali berdekatan begitu intim dengan Ami. Malam ini ia tak mau memikirkan hal lain selain menikmati moment romantisnya bersama Ami. Ia tak peduli apakah sudah ada rasa cinta di hatinya untuk Ami atau belum, yang ia inginkan hanya menyatukan tubuhnya dan tubuh istrinya dengan segenap gairah yang sudah membenamkan keduanya dalam pergumulan yang begitu panas. Mereka tak bisa menyangkal, they’ve never had s*x before and they’re so curious about it. Marriage without s*x is like an impossible thing.. And they need “it” like a heart needs a beat... ____censored__________ ******* Ami memasak pagi sekali. Hari ini Liam sudah aktif mengajar lagi di kampus. Suaminya menjadi dosen di fakultas psikologi dan kadang Ami tersenyum sendiri mengingat karakter Liam yang bisa menjadi sedemikian menjengkelkan dan tak memahami perasaan justru menjadi tenaga pengajar di bidang yang mengkaji manusia dari sisi psikis dan harusnya ia bisa lebih memahami perasaan orang lain. Liam berderap menuruni tangga dengan pakaian formal yang terlihat begitu rapi. Ami mengakui Liam tampak lebih gagah dengan pakaian kerjanya. Aura selengekan dan tengilnya tak lagi dominan. Mata mereka beradu dan seketika aura canggung seakan menyergap segala penjuru. Mendadak perasaan mereka begitu sungkan satu sama lain membayangkan apa yang telah terjadi semalam. Meski pergulatan yang panas itu tak berhasil mengoyak “sesuatu” yang telah dijaga Ami sekian tahun namun sensasi mendebarkan itu masih terasa hingga kini. Wajah Liam memerah membayangkan Ami yang meringis kesakitan ketika ia mencoba mnerobos lebih dalam untuk menyatukan tubuhnya dan istrinya. Dia tak tega untuk meneruskan dan mungkin malam-malam seperti ini akan terus berulang beberapa waktu ke depan sampai akhirnya mereka merasakan apa yang disebut “goal”, yang tak hanya berlaku dalam pertandingan di lapang tapi juga di ranjang. Tapi semua itu tak mengurangi keromantisan yang telah terbangun, entah ada atau tak ada cinta. Liam mencuri pandang ke arah Ami yang tengah menata hidangan di meja. Entah apapun model pakaian yang dikenakan Ami, di pikiran Liam, Ami terlihat seolah tak mengenakan pakaian apapun, seperti apa yang sudah ia lihat semalam. Ia hafal benar bentuk setiap inchi tubuh Ami tanpa sehelai benang pun. Matanya mengerjap dan berusaha mengenyahkan pikiran ngeresnya. Liam akui membayangkan s**s itu terkadang jauh lebih mudah dibanding mempraktekannya langsung, terlebih dia dan Ami belum pernah melakukannya sebelumnya. Ada rasa awkward namun di saat yang sama begitu mendebarkan dan indah. Liam teringat akan artikel yang pernah ia baca bahwa some people have unrealistically high expectations of s*x. Sang pria membayangkan akan begitu mudah mencapai k*****s setelah ereksi dan akan tahan lama sebelum ejakulasi, sedang perempuan berharap akan mencapai o*****e dengan mudahnya. Mungkin pengaruh media atau film yang seolah memberi informasi betapa s**s itu sangat menakjubkan tanpa memberi edukasi bagaimana persiapannya terutama untuk pasangan yang baru menikah dan belum berpengalaman, telah mengisi imajinasi sebagian besar akan s**s yang berakhir fantastis. Meski Liam pernah menonton bokep dan mempelajarinya dari situ, toh saat berhadapan langsung dengan Ami, teori dan fantasi yang pernah memenuhi isi kepalanya seolah buyar seketika dan mati kutu dibuatnya. Mungkin dia seorang good kisser dan bisa memberikan foreplay yang mampu membuat Ami melayang. Namun saat memasuki permainan inti, semua ekspektasi jadi amblas. Satu fakta tentang s**s yang menurutnya benar adalah “bikin ketagihan” karena dia masih menginginkan untuk mengulangnya bersama Ami. Ami telah menyelesaikan pekerjaannya. Hanya tuk sekedar memanggil suaminya tuk makan bersamanya pun rasanya sungkan. Harusnya dia tak lagi malu mengingat ia sudah tampil polos di depan Liam semalam, namun tetap saja dia merasa gugup. “Liam...udah matang masakannya.” Ucap Ami tanpa berani membuat kontak langsung dengan Liam. Liam berjalan mendekat lalu duduk di kursi. Ami mengambilkan nasi dan lauk untuknya. Lalu ia mengambil untuk dirinya sendiri. Mata mereka kembali beradu. Tiba-tiba sesuatu memancing perhatian Liam. Ia bisa melihat dengan jelas bahwa jejak perbuatannya semalam tercetak di leher Ami, sebuah kiss mark yang begitu kentara. “Mi apa lo bakal keluar rumah?” Pertanyaan Liam memecah keheningan antar mereka. “Iya, gue mau ke toko. Gue mesti motong pola soalnya ada customer yang minta tema khusus.” Liam ingin memberi tahu tentang jejak merah itu tapi dia bingung memilih kata. “Kenapa Liam? Kayak ada yang mengganjal?” Liam menggaruk kepala belakangnya, “ehm itu Mi, di leher lo ada bekas gigitan gue. Coba lo ngaca, merah banget.” Ami meraba-raba lehernya. Dia beranjak dan berkaca di cermin yang tergantung di ruang tengah. Matanya mendelik saat kiss mark yang sedemikian jelas terpampang begitu nyata di lehernya. Ia bahkan tak ingat rasa sedikit sakit kala Liam memberi ciuman ganas di lehernya, yang ia ingat adalah bagian nikmatnya. Astaga... Ami merutuki dirinya sendiri. Ia bersumpah untuk tidak mau melakukannya tanpa cinta tapi semalam ia pasrah begitu saja saat Liam meraba tubuhnya, bahkan ia menikmatinya. Lagipula dia tak mau dilaknat malaikat sampai subuh gara-gara menolak ajakan suami. Ami kembali duduk dan bibirnya sedikit mengerucut. “Lo kalau nyium nggak kira-kira Liam. Jadi merah gini kan?” Liam ikut mengerucutkan bibirnya, “salah sendiri punya leher jenjang dan bagus.” Ami tersipu. Ada rona merah yang bersemu di pipinya. “Lo mau nutupin pakai apa?” Tanya Liam sambil memasukkan sesendok nasi ke mulutnya. “Dibiarin aja. Kalau ada yang nanya, bilang aja abis digigit nyamuk atau gatal-gatal.” Jawab Ami tanpa beban. Liam melongo sejenak, “lo yakin?” “Emang kenapa Liam? Apa harus ditutupi?” Ami bertanya dengan polosnya. “Emang lo nggak malu.kalau ketahuan orang? Semua orang tahu ini tuh kiss mark, bekas ciuman.” Perhatian Liam masih terfokus pada jejak merah itu. Ami tertegun. Dipikir-pikir malu juga jika karyawannya meledekknya gara-gara kiss mark ini. “Gue mesti pakai cara apa buat nutupin? Apa pakai jaket berhodie ya?” Ami mengernyitkan alisnya. “Ya coba aja pakai itu.” Balas Liam. “Lain kali jangan diulangi Liam. Lo bisa nyium di bagian lain kalau mau kasih kiss mark, di bagian yang tertutup.” Deg.... Seketika keduanya merasa canggung dan tersipu. Membayangkannya saja sudah membuat Liam cenut-cenut. Anda saja hari ini masih libur mungkin Liam akan menyekap Ami di kamar dan akan ia cium saat itu juga, di bagian yang tertutup. Liam menyudahi sarapannya dan ia pamitan pada Ami. Ami mengantarnya sampai ke depan. Liam mematung, menghadap Ami sebelum masuk ke dalam mobil. “Mi.. gue berangkat dulu.” Ami mengangguk dan mengulas senyum. Liam ingin mencium Ami terlebih dahulu namun ia sungkan dan sedikit gengsi juga. Ia tak mau Ami mengecapnya sebagai “pecandu ciuman”. Meski ia akui, mungkin memang ia sudah menjadi pecandu. Liam membuka pintu mobil dan meletakkan tas kerjanya di dalam. Rasanya ia tak sanggup harus membesarkan gengsi. Daripada saat mengajar nanti tak bisa konsentrasi karena selalu kepikiran bibir cipokable Ami yang belum sempat ia kecup, maka ia pun berbalik dan dengan sigap melumat bibir istrinya tanpa diantisipasi oleh Ami sebelumnya. Mata mereka terpejam seakan menstransfer segala rasa yang ada. Liam melepas ciumannya dan tersenyum. Senyum seorang suami yang manis. Entah kenapa baru kali ini Amber merasa benar-benar memiliki seorang suami. “Gue berangkat ya.” Ami membalas senyumnya, “ya..hati-hati di jalan. Kalau udah sampai jangan lupa kasih kabar.” Seerrr... Untuk pertama kali Liam merasa dianggap benar-benar sebagai seorang suami karena kepedulian Ami dan jelas ia mengkhawatirkannya dan membutuhkan kabar darinya. Ami menatap laju mobil Liam sampai menghilang dari pandangannya. Senyum terulas di bibirnya. Hari ini mungkin menjadi hari spesial untuknya karena baru kali ini ia merasakan manisnya sebuah pernikahan. ****** Ami tengah sibuk memotong pola flanel untuk dibuat busy book dan kerajinan flanel. Toko craft yang Amber kelola menjual aneka craft khususnya mainan edukatif anak dari berbagai material, ada yang dari flanel, kayu, maupun bahan lain. Dan sebagian besar dibuat ala homemade, menerima pesanan by request serta dijual secara online. Awalnya Ami hanya dibantu sepupunya, sekarang dia sudah memiliki 30 karyawan di bagian produksi, tiga di bagian pemasaran online dan lima di dalam toko. Suara panggilan dari salah seorang karyawannya menghentikan aktivitasnya. “Bos.. ada yang nyari. Meni cakep pisan.” “Siapa?” Ami mengernyitkan alisnya. “Temen lamanya non Ami. Kris, yang gantengnya nggak ilang-ilang,” Sita tersenyum. ia begitu mengidolakan Kris yang menurutnya memiliki visual wajah yang begitu sempurna. Ami berpikir, ada perlu apa Kris menemuinya. Semalam mereka sudah berbincang di coffee shop, juga di rumah Luna. Ami menemui Kris yang tampak serius mengamati mainan edukatif yang terpajang di rak. “Kris...” “Mi...maaf gue ke sini nggak kasih kabar dulu.” Kris mengamati Ami yang semakin ke sini terihat semakin menarik. “Ada apa ya Kris?” Ami tak lagi merasakan debaran yang kuat ketika menatap Kris. Hanya ada sedikit desiran. Apa itu artinya dia sudah mulai bisa move on dari Kris dan menerima kehadiran Liam sebagai suaminya. “Mi, gue rasanya nggak bisa nahan lagi perasaan gue. Gue pingin kita mulai lagi semua dari awal. Gue bisa nunggu sampai lo nyelesaiin dulu urusan lo ama Liam. Gue nggak bisa tidur kepikiran hal ini terus dan gue mutusin buat ngebicarain ini semua ama ayah ibu dan juga Liam. Gue tahu kalian nggak saling cinta. Ayah ibu pasti bisa maklumi jika kalian ingin pisah karena dari awal menikah, kalian menikah karena terpaksa.” Ami terdiam sejenak. Hoodie yang menutup kepalanya perlahan turun. Ami melihat ke arah samping dan Kris begitu terperangah melihat ada kiss mark di leher Ami. “Gue...gue masih ingin mempertahankan pernikahan gue bareng Liam.” Ucap Ami. Kris begitu kecewa. Jelas kini ia mengerti kenapa Ami masih ingin bertahan dengan Liam. “Lo jatuh cinta ama Liam? Secepat itu lo pindah ke lain hati.” Ami tercenung. Kris berjalan menjauh dan mendekat ke arah pintu. Ia keluar dari toko Ami dengan kekecewaan yang teramat besar. ****** Liam begitu kaget saat ia dikejutkan derap langkah Kris tiba-tiba masuk ke ruang kerjanya. Tentu Kris sudah hafal dimana letak ruang kerja adiknya dan semua rekan Liam juga sudah mengenalnya jadi ia bisa leluasa masuk ke dalam. “Berani juga lo datang ke sini Kris. Setelah lo kabur, lo pulang dan ampe sekarang lo belum sekalipun nemui ayah ibu. Lo malah ketemuan ama Ami. Gue pikir lo nggak bakal berani nemui gue setelah apa yang lo lakuin.” Tatapan Liam begitu menghujam, menusuk hingga menembus ke dalam tatapan Kris yang juga begitu tajam menatap adiknya. “Gue bakal nemui ayah ibu. Lo nggak usah khawatir. Gue juga mesti kerja lagi. Cuma sebelum pulang ke rumah, gue pingin bicara dulu ama lo. Gue kecewa ama lo Liam.” Liam beranjak dan berdiri berhadapan dengan Kris yang saat ini terlihat seperti orang asing. “Kecewa? Gue yang seharusnya kecewa ama lo. Lo main kabur segala. Lo ngancurin mimpi gue. Lo tahu kan gue punya impian menikah dengan Lalisa? Gara-gara lo kabur gue mesti nikahi Ami.” Kris tersenyum sinis, “nggak usah berlagak kalau lo yang dirugiin dalam masalah ini Liam. Lo senang kan bisa menikahi Ami? Lo manfaatin kesempatan. Kalau lo emang kepaksa nikah ama Ami, lo nggak akan menyentuhnya.” Liam terpekur. Bagaimana bisa Kris tahu semalam dia memang menyentuh Ami. Tak hanya menyentuh tapi sudah mengobok-obok. “Gue bener-bener kecewa. Gue cinta Ami Liam. Dan gue yakin Ami juga masih cinta ama gue. Gue nyesel kabur dua hari sebelum pernikahan. Gue akui gue benar-benar bodoh udah melepas Ami. Tapi gue nggak pernah ngira kalau secepat ini kalian bisa dekat. Gimana bisa lo secepat ini nglupain Lalisa dan berani macam-macam ke Ami.” Liam menyeringai, “berani macem-macem? Gue suaminya Kris dan gue punya hak atas dia.” Kris terdiam. Bara kekecewaan dan amarah seakan berkecamuk menjadi satu. “Kemarin-kemarin gue ngalah ama lo. Bahkan gue udah terlalu sering ngalah ama lo. Sekarang gue nggak mau lagi ngalah ama lo. Gue bakal mempertahankan rumahtangga gue.” Kata-kata Liam meluncur tegas. Kris menatap Liam dengan gemuruh amarah yang begitu menyesakkan. Dia berbalik dan keluar ruangan dengan membanting pintu sebelum kehilangan kontrol atas emosinya yang sedang carut marut. Liam menghempaskan tubuhnya di kursi kerjanya. Dia tak pernah berpikir untuk berpisah dari Ami. Dia ingin mencoba mencintai Ami dan melanjutkan pernikahannya. Bukan semata karena tanggungjawab bahwa dia sudah menjamah tubuh Ami tapi ada tanggung jawab lain yang ia rasakan jauh lebih penting dibanding itu. Tanggungjawab untuk membawa rumahtangganya di jalan yang benar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN