Author’s POV
Liam merapikan kemejanya dan bercermin, penampilannya sudah terlihat rapi dan sempurna. Ami mengamati cara suaminya merapikan kemejanya. Dia mengulas senyum.
“Sudah rapi Liam.”
Liam berbalik menatap istrinya yang bersedekap dan menatapnya dengan senyum yang selalu merekah. Ami melangkah mendekat dan memegang kerah kemeja suaminya. Sesaat mata mereka bertabrakan. Ami menangkup kedua pipi suamimya dan sedikit menggerakkan wajah Liam yang terlihat lucu karena bibirnya mengerucut.
“Ganteng banget suaminya siapa sih?” Ucap Ami gemas.
“Cantik banget istrinya siapa sih?” Liam membalas ledekan Ami sambil mencubit pelan pipi Ami.
“Istrimulah.” Balas Ami.
“Masa sih? Kapan ijabnya? Kok aku lupa ya?” Seringai Liam.
Mereka saling melempar tawa.
“Baby Cal mana sayang?”
Setiap mendengar Liam memanggilnya “sayang” ada desiran yang begitu hebat bertalu di dadanya. Ia seperti jatuh cinta kembali, bahkan rasanya lebih hebat dibanding saat dia jatuh cinta pada Kris.
“Dia bareng bibi Lasmi di bawah. Sarapannya udah siap, makan dulu yuk.”
Sejak ada baby Cal, Liam memutuskan untuk mengajak salah satu asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja di rumah orangtuanya untuk berkerja bersamanya. Semua itu dimaksudkan agar Amber tidak terlalu kerepotan mengerjakan pekerjaan rumah. Jadi Ami bisa fokus mengurus baby Cal.
“Ntar dulu lah.” Liam menarik tubuh Ami agar lebih dekat padanya. Tangannya meremas bagian belakang tubuh Ami yang kenyal. Seketika tangan Ami memukul pelan tangan Liam yang sudah tidak sopan menggerayanginya tanpa izin.
Plaakk...”Liam tangannya nakal banget.”
Liam tertawa kecil, “iya tangannya nakal banget. Padahal otakku nggak nyuruh tanganku buat macem-macem. Insting kali ya pingin meremas-remas sesuatu.”
Ami terkekeh. Suaminya ini emang kadang mesumnya kebangetan, tak hanya m***m kuadrat tapi juga sudah berpangkat-pangkat. Namun Ami tak mempermasalahkan karena Liam m***m hanya padanya saja. Terhadap perempuan lain dia akan menjaga sikap. Karena itu banyak yang tak percaya sosok Liam yang begitu berwibawa di kampus, di rumah adalah sosok yang m***m, terkadang kekanakan, selengekan, santai dan usil.
“Udah ayo makan, ntar telat.”
“Bentar..” Liam menangkup kedua pipi Ami lalu mengecup bibir Ami lembut dan beralih menjadi lumatan yang lebih ganas.
“Udah Liam, nanti telat.” Ami melepaskan ciumannya kendati Liam belum ingin menyudahinya. Ami menepuk pipi Liam pelan dan tersenyum.
Liam membalas dengan senyum yang tak kalah manis, “yuk.. turun ke bawah.”
Menu sarapan mereka lebih sederhana. Liam hanya meminta disiapkan oatmeal, granola, potongan pisang dan strawberry, serta kismis plus yoghurt. Baby Cal sendiri sudah makan menu keluarga. Dia sudah pintar mengunyah nasi dan makanan lain yang bertekstur kasar. Baby Cal sedang senang-senangnya bubbling, mengucapkan sesuatu namun belum jelas apa yang ia katakan. Kedekatan emosionalnya dengan Liam dan Ami juga sudah terbangun begitu kuat. Dia sudah dapat mengekspresikan rasa kehilangan jika Liam berangkat ke kampus dengan rengekannya dan dia kadang menangis jika Ami meninggalkannya meski hanya ke kamar mandi.
Baby Cal masih kesulitan memanggil ayah dan bunda, tapi dia bisa dengan mudah diajari sapaan lain, mom dan dad. Baby Cal bisa mengucapkan mom begitu jelas, sedang untuk memanggil daddy, dia hanya bisa mengucap dad. Liam dan Ami akhirnya memilih panggilan mommy and daddy karena lebih mudah pelafalannya untuk baby Cal. Liam bilang, maklum keturunan bule, lebih mudah mengucapkan bahasa asing dibanding bahasa lokal.
Seusai sarapan, Ami menggendong baby Cal dan mengantar Liam sampai ke halaman. Liam mengecup pipi baby Cal, “baby, daddy berangkat dulu ya. Baik-baik ama mommy. Jagain mom ya. Daddy takut mom diambil orang.”
Ami mencubit perut Liam karena gemas dengan keusilan suaminya.
“Ini namanya cubitan cinta Cal. Mommy mah gitu suka cubit-cubit daddy.”
Selanjutnya Liam mengecup kening Ami begitu lembut. Ami memejamkan mata dan rasa bahagia serta terharu menelusup ke dalam hati. Dia bersyukur untuk hidupnya yang semakin lengkap dengan kehadiran Liam dan baby Cal di sisinya.
“Daddy berangkat dulu ya, assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam hati-hati di jalan daddy.” Ami mengulas senyum.
Baby Cal kali ini tidak merengek. Dia memanggil “dad” berulang kali dengan senyum lebar. Pagi ini Ami berencana untuk membawa baby Cal ke taman kota yang lokasinya dekat dengan rumah. Dia ingin melatih baby Cal berjalan di taman yang luas.
Setiba di kampus, Liam berjalan menyusuri koridor menuju ruang kerjanya. Jadwal mengajarnya baru akan dimulai satu jam kemudian. Ia sengaja berangkat lebih pagi karena hendak mengerjakan tugas lain, mempersiapkan soal untuk ujian.
Kia yang sudah menunggu kedatangan Liam, seketika matanya berbinar menatap langkah dosen yang belakangan ini sudah mengobrak-abrik perasaannya. Setelah Liam masuk ke dalam rungan, Kia menyusul. Ia mengetuk pintu. Liam mempersilakan masuk. Dia agak terkejut melihat sosok yang membuka pintu. Tumben Krystal menghadapnya sepagi ini.
“Silakan duduk.” Ujar Liam.
Kia menarik mundur kursi itu, lalu duduk. Ia menyerahkan skripsi yang sudah ia revisi. Liam membuka halaman demi halaman untuk memeriksa sekilas.
“Insya Allah akan saya koreksi nanti ya. Besok kamu bisa ambil.”
Kia menatap Liam dengan tatapan yang begitu dalam seolah menerobos sampai ke ujung retina Liam. Liam merasa agak risih ditatap sedemikian lekat oleh perempuan yang bukan mahramnya.
“Pak.. boleh saya bertanya sesuatu?” Tanya Kia. Sebelumnya dia sudah menata hatinya untuk lebih mantap menanyakan soal ini.
“Silakan.” Balas Liam datar.
“Bapak sudah membaca surat saya?”
Liam terkejut mendengar pertanyaan Kia. Kia cukup berani juga menanyakan hal ini. Dia pernah mendengar desas-desus yang mengatakan bahwa gadis cantik di hadapannya ini dikenal playgirl dan hobi membuat baper para cowok.
“Tujuan kamu menulis surat itu apa?” Liam bertanya masih dengan raut wajah yang begitu dingin.
“Untuk mengungkapkan perasaan saya.” Jawab Kia tenang.
“Kamu tahu kan saya sudah menikah?” Liam menaikkan alisnya.
Kia mengangguk.
“Terus? Maksud kamu apa ngungkapin perasaanmu? Sudah jelas saya tidak akan menanggapi.”
Kia menghela napas. Sejujurnya ia sakit mendengar kata-kata Liam yang langsung menuju sasaran dan menusuk.
“Saya nggak berharap untuk ditanggapi. Tapi seandainya bapak mau menanggapi, saya bisa jaga rahasia.”
Liam menyeringai, “saya nggak akan pernah menanggapi. Kamu masih muda dan banyak laki-laki single yang mungkin mengharapkan kamu. Saran saya kamu mencoba buka hati untuk mereka.” Liam tidak menyangka Kia bisa sedemikian nekat dan tebal muka berbincang mengenai surat cintanya.
“Apa itu artinya bapak menyuruh saya mundur?”Ada kekecewaan tergambar dari ekspresi wajahnya.
Liam mengangguk, “cinta yang tak terbalas itu hanya akan menyakiti diri sendiri.”
Kia terdiam sesaat, “kalau bapak bisa menganalisa bahwa jatuh cinta itu salah dari kacamata psikologi, saya akan mundur.” Tegas Kia.
Liam tercenung. Cinta bisa membuat seseorang selalu merasa benar dan cenderung lebih menggunakan perasaan dibanding logika.
“Kia, kalau dari kacamata psikologi, gangguan mental sekalipun bukan sesuatu yang salah. Gangguan kepribadian bukan hal yang salah. Bisa kamu bayangkan jika ada seorang dengan anxiety atau depresi psikopatik meminta pertolongan pada psikiater untuk meresepkan obat, lalu psikiater tersebut mengatakan kamu salah bla bla..gangguan yang kamu alami itu kesalahan bla bla bla..kira-kira apa yang dirasakan pasien? Bukannya makin sembuh malah jadi makin parah kan?”
Kia terdiam dan masih menyimak.
“Sama seperti orang yang jatuh cinta, dalam psikologi bisa dianalisa bagaimana perasaan seseorang saat sedang jatuh cinta, bagaimana kondisi psikisnya saat jatuh cinta, bahkan menurut science, jatuh cinta bisa melibatkan hormon-hormon tertentu pada tubuh. Ketika awal kita tertarik pada seseorang, ada bagian di otak, namanya reseptor opiod yang mengendalikan perasaan suka atau tidak pada suatu hal. Selanjutnya tubuh akan memicu produksi hormon dopamin, adrenalin dan satu lagi apa itu..norepinefrin yang memunculkan euforia atau perasaan senang. Di sisi lain ada ketegangan karena adanya produksi adrenalin saat kondisi stres. Ada perasaan sulit tidur. Lalu ada juga penurunan kadar serotonin di otak. Nah rendahnya kadar serotonin ini menjadi alasan kenapa orang yang jatuh cinta bisa menjadi begitu terobsesi pada orang yang dicintai.” Liam menatap tajam Kia sedang Kia hanya termangu mendengar penjelasan dosen pembimbingnya.
“Yang jadi pertanyaan saya, kamu benar-benar mencintai saya atau hanya terobsesi?”
Tatapan menghujam Liam membuat Kia terhenyak. Bahkan Kia seperti tak bisa membedakan antara cinta dan obsesi. Yang ia rasakan adalah perasaan ingin memiliki dosennya ini meski harus memilikinya diam-diam rasanya tak masalah untuknya. Betapa ia ingin sekali saja Liam mau melihatnya dan perasaan mengagumi serta mencintai ini serasa sedemikian menggila, hingga ia tak bisa membendungnya lagi untuk kemudian meluapkan perasaannya pada dosen yang begitu cool ini.
Kia masih bergelut dengan pikirannya sendiri.
“Saya ini dosen kamu Kia. Tolong kendalikan perasaan kamu. Fokus saja pada skripsimu.”
“Saya juga inginnya begitu Pak. Tapi saya nggak bisa menghindari perasaan ini. Bukannya bapak juga bilang bahwa jatuh cinta tidak bisa disalahkan?” Kia berusaha membela dirinya sendiri.
“Cinta memang tidak salah. Cinta, jatuh cinta itu fitrahnya manusia. Tapi kita juga dikaruniai akal Kia. Dengan akal kita bisa berpikir apakah cinta yang kita rasakan ada di posisi dan kondisi yang tepat? Aku ingatkan berkali-kali aku sudah menikah. Aku tidak akan pernah membalas perasaanmu.” Tegas Liam sekali lagi.
Kia beranjak dan mendekat pada Liam yang masih duduk di kursinya. Liam terkesiap, dia beranjak dari kursinya. Kia memperpendek jaraknya dengan Liam. Jari-jarinya menelusuri barisan kancing kemeja Liam yang tertata memanjang. Liam kaget bukan main. Kia berbisik lirih, “saya nggak peduli pak. Saya tetap mencintai bapak dan saya akan menunggu atau bahkan saya akan berjuang untuk membuat bapak jatuh cinta sama saya.” Kia kembali menjauhkan diri dari Liam.
Liam beristighfar dan dadanya berdebar begitu kencang. Bagaimanapun dia laki-laki normal. Kalau saja dia tak ingat dosa dan istri di rumah, mungkin dia sudah tergoda. Ada pepatah di kampus yang mengatakan bahwa tak ada satupun cowok yang sanggup menolak Kia.
“Tolong jaga sikap kamu ya. Saya bisa mundur jadi dosen pembimbingmu kalau kamu terus merayu saya. Kalau kamu mengulangi sikap kamu kayak tadi, silakan kamu cari dosen yang lain.” Ujar Liam tanpa menoleh Kia.
“Bapak mengancam saya? Bahkan bapak nggak berani menatap saya. Kalau memang bapak pemberani, hadapi saya.”
Liam melirik Kia sejenak. Kia mengulas senyum tipisnya lalu melangkah menuju pintu dan keluar. Liam mengusap wajahnya dan lagi-lagi beristighfar. Ini pertama kalinya dia menemukan ada mahasiswi senekat dan seberani Kia. Wanita kadang tak mengerti bahwa pesonanya itu bisa meluluhkan laki-laki penguasa dan terkuat sekalipun. Liam berusaha sekuat hati untuk selalu menjaga hati dan cintanya untuk Ami. Kehadiran Kia atau wanita-wanita lain yang terang-terangan tertarik padanya seakan menjadi ujian untuk menguji sejauh mana dia bisa mempertahankan kesetiaan untuk Ami.
******
Ami melatih baby Cal berjalan di taman kota. Dia memegang bahu baby Cal dan membimbingnya berjalan. Baby Cal sudah bisa melangkah satu dua langkah tanpa dipegangi, namun di langkah ketiga ia terjatuh. Ami menyemangati baby Cal, “ayo baby Cal kamu bisa...You can do it..!”
Baby Cal tertawa lebar. Dia duduk di rerumputan dan memainkan bola yang memang sengaja Ami bawa dari rumah. Baby Cal menendang bola ke depan. Bola menggelinding. Tatapan mata Ami mengikuti ke arah mana bola itu bergulir. Tiba-tiba bayangan sepasang sepatu pria memantul di mata Ami. Ami mendongakan kepalanya. Wajah yang tak asing tercetak di kedua matanya. Kris...
Kris mengambil bola itu dan melangkah mendekati putri kecilnya. Ami hanya terpaku menatap ayah dan anak itu saling memandang. Ami tak dapat mendeskripsikan perasaannya pada Kris, apakah masih ada sisa cinta atau tidak. Tapi yang pasti saat ini perasaan cintanya pada Liam tengah berkobar begitu hebat. Dia sadar dia telah jatuh cinta pada Liam dan tak lagi mengharapkan Kris.
Kris meletakkan bola itu di sebelah baby Cal. Segaris senyum melengkung ke atas. Jauh di dalam hati dia sangat menyayangi anak ini. Sudut matanya berkaca kala menatap tubuh putrinya yang tak memiliki kedua tangan. Kris mengusap rambut pirang baby Cal. Tak ada kata terucap hanya mata yang bicara. Sorot matanya meluapkan segala kesedihan dan rasa sayangnya. Kris merasa begitu bersalah karena telah menjadi ayah yang buruk untuk putrinya yang tak berdosa.
Kris menoleh Ami. Ami menundukkan wajahnya.
“Aku tadi ke rumah, bibi Lasmi bilang kalian lagi jalan ke taman, jadi aku menyusul ke sini.”
Ami sudah menduga Kris tahu keberadaannya dan baby Cal di taman dari bibi Lasmi.
Kris duduk di sebelah Ami sambil mengamati putrinya memainkan bola dengan kakinya.
“Aku nggak tahu harus bilang apa dan nggak tahu mesti berterimakasih dengan cara apa, tapi yang jelas aku udah berhutang budi ama kalian dan aku sangat berterimakasih karena kalian udah merawat Callista dengan penuh kasih sayang.”
Ami masih setia dengan sikap diamnya. Dia tak tahu harus membalas apa.
“Maafkan aku Ami...” Kris menatap Ami begitu lekat.
Ami melirik Kris sejenak, “minta maaf untuk apa?”
Kris menunduk lalu mengalihkan pandangan ke arah lain. Napasnya terasa begitu mencekat di ujung dan setiap kali menghadapi Ami, aliran darahnya seperti berhenti. Lidahnya mendadak kelu untuk bicara lebih banyak. Dalam hatinya telah tertulis begitu banyak kata namun semua seakan buyar ketika ia menatap mata Ami yang terlihat indah. Sayangnya dia tak lagi menemukan ada cinta yang berpendar di sana, seperti ketika hubungan mereka masih membaik.
“Minta maaf karena telah menyakitimu.”
Ami tersenyum tipis, “aku nggak mau mengingat masa lalu Kris.”
“Ya, dan aku udah terlambat.” Kris kembali menundukkan wajahnya. Jauh di lubuk hatinya yang terdalam, dia masih mencintai Ami dan sampai kapanpun Ami selalu menjadi wanita istimewa di hatinya.
Kris kembali mendekati putrinya. Ada perasaan sedih, kalut, sekaligus rasa sayang dan rasa bersalah yang membelenggu pikiran Kris. Dia begitu speechless dan tak tahu harus berkata apa pada buah hatinya. Kesedihan itu semakin meluluhlantakkan perasaannya. Sudut mata Kris seolah mengkristal karena ia berusaha membendung sekuat tenaga agar air matanya tak jatuh. Namun pertahanannya jebol juga. Bulir bening itu menetes kala baby Cal mengulas senyum padanya. Kris mendaratkan kecupan di kening baby Cal dengan tetesan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya.
Ditatapnya balita umur satu tahun itu dengan perasaan berkecamuk, tak menentu..
“I’m so sorry..I’m really sorry... I’m sorry....” Air mata Kris menetes membasahi baju kaki mungil baby Cal. Baby Cal hanya bengong menatap ayahnya.
“Aku mungkin orang yang brengsek..sangat brengsek...tapi aku harap kamu tumbuh menjadi anak yang baik..Ayah sayang kamu...Pekik Kris dalam hati.
Kris beranjak dan ia segara melangkah menjauh sebelum air matanya semakin deras mengalir. Ami menatap kepergian Kris dengan rasa haru yang membuncah karena untuk pertama kali ia melihat Kris menangis untuk Callista.