Beberapa hari setelah acara kumpul bersama dengan Sia juga Dhini itu, akhirnya Dhini pun juga sudah meninggalkan Reya dan kembali ke apartment nya sendiri. Sedih? Sedikit sih, tapi kalau kata Reya lebih tepatnya belum terbiasa. Padahal awalnya dia takut akan sulit menerima Dhini, karena dia memang suka sendirian. Tapi setelah bersama seperti itu, rindu juga kan.
Makanya di hari pertama tanpa teman yang entah kenapa merasakan adanya rasa suntup di rumah, Reya pun memutuskan untuk pergi ke cafe di sekitar pusat kota yang juga berada tak jauh dari gedung apartment-nya, dia saja ke sana dengan berjalan kaki alih alih menggunakan mobil. Akhir akhir ini atau sejak ada Dhini di rumahnya Reya memang jarang ber olahraga, oleh karena itu jalan kaki _meski hanya jarak pendek_ menjadi jalan ninja Reya agar membuatnya ototnya setidaknya bergerak.
Alasan Reya pergi kek cafe bukan hanya untuk nongki belaka, tapi dia ingin menulis di sana dengan mencari suasana baru, sebelumnya dia memang lumayan beberapa kali mengunjungi cafe itu, sebab dia merasa nyaman berada di sana cafenya cantik suasana tenang, dan yang pasti hal itu membuat Reya lebih fokus dalam mengerjakan tulisannya. Ah satu lagi, Reya suka makanan di sana, enak enak.
Dengan memesan dua gelas americano juga dua potong cheesecake, dua donat macha, 1 slice pizza ukuran besar, dan juga dua potong sosis bakar jumbo, Reya pun berhasil duduk di sana selama lebih kurang dua setengah jam lamanya. Dan selama itu pula dia hampir menghabiskan seluruh makanan pesanannya, tapi sebagai gantinya dia juga berhasil menulis sebanyak 9 ribu kata dalam sekali dudukan. Gila memang, edan sudah, gerakan otak dan jari Reya tidak perlu di ragukan lagi. Tangannya cepat, otaknya apalagi, makanya hanya dalam kurun waktu yang bisa di bilang singkat untuk menulis, dia sudah berhasil mengetik sebanyak itu. Penulis profesional mah memang beda.
Reya menekan tombol save di MacBook nya itu, karena merasa cukup pegal dengan badannya yang bisa di bilang tidak bergerak posisinya sejak awal, dia pun sedikit mengeliat agar melonggarkan otot ototnya yang kaku tersebut.
Sepertinya cukup menulis untuk hari ini, mungkin dia akan melanjutkannya lagi nanti sore atau malam, jadi Reya memutuskan untuk menutup laptopnya tersebut agar dia sendiri bisa melanjutkan sisa waktu sore ini untuk menikmati suasana sekitar.
Reya tadi memang mengambil posisi duduk di cukup ujung nan pojok ruangan, di mana di sampingnya langsung di suguhi bagian outdoor sejuk penuh dengan tanaman nan spot foto aesthetic. Meski nampak nyaman rapi dia kurang suka berada di luar.
Reya pun melirik piring piring kosong di mejanya, kalau di fikir fikir sebenarnya cukup memalukan menyantap sebegitu banyak makanan sendirian, tapi juga kalau Reya sih fine fine saja, asal perutnya kenyang terisi dia tidak akan memperdulikan sekitar.
Tangan Reya terulur untuk megambil garpu di meja, lalu bergerak mulai menusuk sisa sosis bakar yang belum sempat dia habiskan itu.
By the way untuk masalah bos Dhini, Reya sebetulnya masih sangat mengingatnya, hanya saja dia juga berusaha keras untuk menyingkirkan sedikit masalah tersebut ketika dirinya harus melakukan pekerjaan seperti ini, sebab pekerjaan penulis harus menggunakan otak kan, jika otaknya tersebut penuh dengan memikirkan bos Dhini lalu bagaimana dia bisa menulis, makanya dia tetap harus profesional sebagai penulis yang handal, tidak perduli dengan perasaan yang mempengaruhi saat ini, menulis tetap harus di lakukan.
Reya sesekali menoleh untuk melihat keadaan kafe yang cukup lenggang tersebut, hanya ada 5 kursi yang mengisinya salah satunya yang Reya duduki. Entahlah kenapa kafe ini tak terlalu ramai meski tempat dan makanan begitu menarik.
Ting ...
Secara tiba tiba Reya mendengar bunyi lonceng khas pintu yang di buka tersebut, sepertinya akan ada penghuni kursi lagi di sana setelah ada pengunjung yang datang lagi. Lonceng adalah tanda adanya orang yang membuka pintu dan masuk ke dalam cafe. Karena memang cafe itu berdesain klasik aesthetic.
Entah kenapa mata Reya malah dengan mudahnya menuju ke arah sumber suara lonceng, lebih tepatnya menatap pintu untuk melihat pengunjung yang baru saja tiba.
Hanya saja ketika sudah menatap hal itu, sontak saja mata Reya di buat harus melebar sempurna _khas orang terkejut_, karena ya rupanya pengunjung yang datang bukanlah orang yang tidak Reya kenal! Reya tau, tau betul orang itu, sebab sudah berhari hari lamanya dia memikirkan orang tersebut. Yups, dia Ronal bos Dhini.
Yang lebih mengejutkannya lagi adalah, bos Dhini tidaklah sendiri, pria itu datang dengan seorang gadis yang lagi lagi juga Reya kenal betul, karena ya gadis itu adalah Ana tetangganya sekaligus mantan dari bos Dhini, Ronal.
Gila!
Benar benar gila bukan!
Reya bahkan sampai membulatkan matanya selebar lebar mungkin. Dia berada di antara terkejut bingung nan gugup yang menjadi satu. Namun otak mungiel Reya masih berusaha berfikir jernih dengan memikirkan solusi melarikan diri, sebab kalau semisal dirinya tidak bersembunyi atau berlari, bisa bisa dia akan ketahuan oleh bos Dhini tersebut. Sungguh Reya belum siap!
Makanya dengan gerakan panik sangat, Reya langsung saja melepas ikatan rambutnya agar tergerai menutupi wajah, lalu dia mulai menunduk dan berpura pura memainkan ponsel. Sesekali dia tetap melirik kedua orang itu yang saat ini mengambil posisi di bagian tengah _dari sela sela rambut_, mereka berdua duduk di sana saling berhadapan dengan nyaman.
Sial,
Tidak hanya gugup takut, tapi saat ini Reya juga tengah gemas sendiri melihat dua orang itu.
Sungguh Reya tidak habis fikir, dia tidak lupa loh kalau Ana _wanita itu_ satu minggu lagi akan bertunangan dengan sepupunya Naufal a.k.a Nopal, lalu kenapa hari ini wanita itu malah bertemu sang mantan pacar, dan kalau menurut Reya kelakuan keduanya bisa di bilang cukup[ mesra loh tadi, Ana saja menggandeng bos Dhini ketika berjalan masuk ke dalam cafe. Oh my god ... Apa mereka tidak takut kalau ketahuan orang terdekat atau keluarga dari pihak Naufal seperti dirinya ini.
Hih ... Reya tidak tahan jadinya.
Jujur ya Reya merasa tidak terima sebenarnya, apalagi wajah bos Dhini saat ini sangat amat songong menurut Reya, ganteng sih tapi songong.
Reya merasa Naufal harus mengetahui tentang ini, agar pria itu bisa bertindak sebelum semua hal fatal terjadi di antara Nopal dan Ana. Hubungan perselingkuhan itu tidak bisa di benarkan loh, menurut Reya selingkuh jika sudah fi lakukan lebih dari sekali bukan lagi bisa di katakan kekhilafan, melainkan karakater yang sudah mendarah daging pada diri seseorang. Apalagi kedua orang itu melakukan perselingkuhan terang terangan seperti ini. Huh ... Bisa bisa meski nanti Ana sudah terikat dengan Nopal, wanita itu masih akan berhubungan dengan bos Dhini, Ronal.
Hishh ... Ini tidak bisa di biarkan.
Akan tetapi Reya juga tidak bisa melakukan apa apa, dia merasa kalau dirinya juga hanyalah upik abu di sini, dia tak lupa kalau dirinya saja takut bukan main dengan si Rivendra itu.
Namun, Reya juga tidak akan diam begitu saja, dia memutuskan untuk mengambil gambar saja, dan nanti bisa dia kirimkan pada Nopal sepupunya. Setelah nya dia tidak akan ikut campur lagi. Hih ... ngeri kalau masalahnya malah akan bertambah.
Reya mengarahkan kamera ponselnya tersebut ke dua sosok yang asik bercakap cakap tersebut dengan hati hati, masih berusaha keras menyembunyikan wajah menggunakan rambutnya yang tergerai, Reya melirik layar ponsel. Dan setelah merasa pas dengan posisi yang ingin di ambil, dia langsung saja menekan tombol memotret di sana.
Ckrekk ...
Satu ...
Ckrekk ...
Dua ...
Ckrekk ...
Setelah mengambil lebih dari tiga jepretan, Reya pun buru buru menurunkan ponselnya itu, takut takut jika ada orang yang memergoki kelakuannya memotret tanpa izin, yang mana malah dia akan di anggap penguntit.
Huft,
Reya menghela nafas mengetahui semuanya aman berjalan dengan lancar, dan dia mendapatkan gambar yang dia mau. Dia mengecek dahulu gambar yang tadi dia ambil, hm ..., cukup jelas meski dia mengambil gambar dari jarak yang cukup jauh.
Reya sontak saja tersenyum di sana, merasa bangga pada dirinya sendiri yang akan mengungkap kelakukan tercela dua orang itu. Haha ... memang ya, perilaku busuk tetaplah akan tercium, walaupun tertutup emas sekalipun.
Okay ... Reya akan tetap di posisi seperti itu sampai kedua orang itu pergi dari sana. Jadi Reya hanya perlu menunggu dengan tenang agar tidak ketahuan.
Hanya saja sepertinya Reya salah kaprah. Siapa bilang dia tidak ketahuan. Sebab tanpa wanita itu sadari, sebenarnya perbuatan tadi itu sudah tercium oleh seseorang, dan selama Reya berusaha keras terdiam faktanya dia malah terus amati oleh orang tersebut.
***
"Kampret!"
Ronal menoleh mendengar umpatan dari sepupunya tersebut, Ana. Siang menjelang sore ini dia berdua memang baru saja menjenguk mama Ana yang tiba tiba drop di rumah sakit, eh ralat, Ronal awalnya bersama mamanya (mama Iffa) dan mengantar mamanya tersebut ke rumah sakit, tapi mamanya malah ingin tinggal dulu dan gantinya meminta untuknya mengantar Ana pulang saja _sebab gadis itu sejak kemarin belum pulang_.
Oleh karena itu, kali ini mereka berdua tengah berada di perjalanan menuju rumah Ana.
"Kenapa?" Ronal bertanya setelah menoleh sekilas sebab mendengar umpatan yang Ana lontarkan secara tiba tiba itu.
Dan karena di tanyai, Ana malah makin memberenggut kesal saja di sana, "Nopal nggak angkat telfon," keluhnya. Wajahnya yang sudah kusut makin kusut saja mengetahui pacar yang sebentar lagi akan menjadi calon tunangannya tersebut tidak bisa di hubungi. Padahal kan Ana tengah dalam fase tertekan, di hari bahagia yang satu minggu lagi akan datang, keluarganya malah menimpa musibah, mamanya jatuh sakit karena asam lambung yang naik. Harusnya kan Naufal pacarnya bisa mendukungnya bukannya malah sibuk bekerja sampai tidak ada waktu seperti itu.
Ronal yang mendengar keluhan tersebut juga tidak bisa berbuat apa apa, hanya saja yang pasti bukan Naufal sengaja mengacuhkan sepupunya itu, Ronal yakin ada suatu alasan yang membuat Naufal sulit di hubungi.
"Kenapa dia nyuekin gue Nal," Ana masih tidak terima pacarnya seperti itu, dia bahkan ingin membanting ponselnya sendiri saking kesalnya.
"Dia mungkin sibuk," Bukan apa apa, Ronal tidak bermaksud membela Naufal, hanya saja bukannya lebih baik untuk ber-positif thinking saja ketimbang overthinking yang malah akan menambah beban fikiran itu.
Tapi sepertinya Ana tidak mau menerimanya dengan semudah itu, wanita itu kekeh dengan pemikirannya sendiri, "Ih tapi pas jam istirahat tadi aja dia gak angkat juga,"
"Nanti malem di coba lagi," Tanpa melihat ke arah Ana, Ronal berucap memberi saran yang lebih baik.
"Ih," Ya begitulah tapi, Ana masih saja uring-uringan.
Dan tiba-tiba ...
Srett ...
Dalam gerakan mendadak, Ronal begitu saja membelokkan roda kemudinya menuju pelataran sebuah cafe di pinggir jalan, dan berlanjut berhenti di sana.
Ronal sengaja melakukannya, karena saat melintasi tadi dia langsung teringat, makanya gerakannya juga sama sekali tidak ada ancang ancang. Untuk saja cara mengemudi Ronal tersebut tidak di protes pengendara lain.
"Kenapa berhenti di sini?" tanya Ana merasa bingung bukan main, seraya menatap ke arah cafe berdesain ala rumah klasik tersebut. Sebenernya itu cafe yang sering Ana kunjungi sih.
"Makan, biar mulutnya diem," balas Ronal sekilas. Lalu mulai melepas selt belt nya dan bergerak turun dari mobil. Alasan Ronal berhenti di sana, juga sebab dia teringat kalau di cafe tersebut menyedikan makanan favorite Ana, yakni nasi goreng spesial yang kalau kata Ana tidak ada duanya itu.
Ana mengangguk mengerti, lagipun perutnya saat ini memang cukup keroncongan, "Hm, iya deh, gue kan laper,"
Dan begitulah akhirnya, mereka pun masuk ke dalam sana dengan Ana yang menggandeng tangan Ronal, mungkin jika tidak mengetahui status keduanya, orang bisa saja salah faham dan menganggap Ana juga Ronal adalah sepasang kekasih yang di mabuk cinta saking mesranya dalam menggandeng.
Ronal dan Ana mengambil tempat duduk di bagian tengah _saling berhadapan_. Dan ketika salah seorang pelayan pria datang, mereka langsung menyebutkan pesanan yang di inginkan masing masing, yang mana sudah di pastikan kalau Ana memesan nasi goreng spesial. Untuk Ronal sendiri yang pada dasarnya tidak pilih pilih makanan itu, dia memesan apa saja yang dia lihat pertama kali di buku menu.
Seraya menunggu, Ana mengoceh ria membahas acara pertunangannya yang akan datang, belum lagi membahas Naufal sang pacar, namun sejujurnya Ronal tidak selalu memerhatikan, atau malah sama sekali tak mendengarkan tepat ketika matanya yang mulanya hendak menatap sekeliling malah menangkap sosok wanita dengan menunduk hampir semua rambut menutupi wajah _yang membuat seseorang tak dapat mengenalinya_.
Hanya saja kalau Ronal sama sekali tidak mengenali itu salah besar, dia bahkan tau betul siapa wanita yang saat ini duduk di pojok ruangan itu, hanya dengan melihat potongan rambutnya dan banyak piring kosong yang mengisi meja Ronal sudah bisa menebak dengan tepat siapa wanita itu.
Yups, wanita itu adalah Reya, teman Sia yang tempo hari menamparnya.
Lama ya tak melihat wanita itu, terakhir kali dia hanya mendengar tangisannya di sambungan telefonnya dengan Sia. Sebenarnya Ronal juga tak melupakan masalah tamparan, bahkan dia sudah memikirkan suatu balasan yang mungkin akan membuat wanita itu kelimpungan dan memohon mohon untuk tidak mau menerima kosekuensi. Tapi ya bagaimana lagi, wanita itu hanya tinggal menunggu waktu untuk boom atom meledak saja.
"Kampret Ronal, lo nggak dengerin gue cerita," pekik Ana tiba-tiba, yang langsung membuat Ronal tersentak di tempatnya. Dia cukup terkejut dengan suara cempreng Ana.
Ronal menoleh dan menatap ke arah Ana sepenuhnya, wajah Ana saat ini tengah memberenggut makin makin kusut saja atas ulahnya.
"Lo lagi ngelamunin apa sih?" Ana bertanya dengan nada kesal bukan main.
Akan tetapi bukannya menjawab pria itu malah hanya bergumam sebagai tanggapan.
"Tauk lah,"
Ya begitulah Ana, si bocah labil nan sensian _tapi sudah ngotot menikah_. Hm, jika sudah seperti ini memang tak ada pilihan lain kecuali diam dulu sampai kobaran api setidaknya menyurut, sebab meski usaha dengan apapun ketika masih begini, semua pasti akan mental jauh, Ana tetap ngambek dan tidak mau mendengarkan Ronal sama sekali.
Ronal memilih mengabaikan Ana lagi saja, dan hendak melirik ke arah sosok wanita yang masih setia berposisi menunduk. Tapi saat baru dia melihat menggunakan ujung matanya, dia malah mengurungkan niat untuk melirik, karena dia melihat saat ini wanita itu tengah mengarahkan ponsel ke arahnya, yang mana bisa Ronal tebak kalau Reya berusaha memotret dirinya dengan Ana. Tidak salah lagi ..., tapi kenapa?
Dan setelah beberapa detik Ronal mengamati dengan ujung matanya, dia tau kalau wanita itu sudah selesai mengerahkan ponsel.
Hm ...,
Sebenarnya perilaku tersebut salah satu hal yang merugikan Ronal loh, dia bisa saja melapor atau menghampiri wanita itu. Tapi entah kenapa dia malah diam saja, sambil mengamati tanpa henti teman Sia itu.
Huh ...
Wanita aneh, pikir Ronal. Karena menyadari Reya sama sekali tak bergerak dari posisi dan masih setia menunduk, yang padahal kalau di fikir fikir pasti memilih posisi seperti itu sangatlah membuat pegal.
Ah ... Benar, Ronal kira wanita itu menyembunyikan wajah memang karena hendak memotret. Tapi sampai selama ini Reya masih saja seperti itu, berarti wanita itu memang mencoba menyembunyikan diri darinya kan, dengan harapan tidak ketahuan.
Wow ... Dan lihat sekarang, usaha mati matian wanita itu bersembunyi sama sekali tidak berguna, sebab Ronal sudah menyadarinya posisi wanita itu sejak awal.
Bodoh!