Okay!
Level suntup Reya memang sudah berada di ambang batas kewajaran, dia merasa cukup stress di rumah. Jadi dia berfikir memang sangat memerlukan yang namanya liburan.
Entah liburan kemana saja, asalkan liburan begitu . Tapi kalau keinginan Reya sih ke Bali. Dan dia ingin berangkat secepatnya agar bisa cepat pulang juga.
Sejujurnya Reya memang berniat mengajak Dhini _temannya itu_ aja agar setidaknya tidak akan sendirian di sana, makanya malam ini dia langsung menelefon temannya itu untuk berdiskusi.
"Ayok Dhin," ajak Reya yang cenderung lebih ke merengek. Reya bahkan seperti akan menunjukkan tangisannya. Jujur saja ke suntup an Reya di rumah tak lain tak bukan juga karena dia masih saja kepikiran dengan pria itu. Bos Dhini siapa lagi. Perasaan Reya begitu tak enak akhir-akhir ini, entah itu semua hanya karena overthinking nya sendiri atau memang ada hal besar yang mungkin akan terjadi nantinya
Dhini terdengar bergumam pelan di seberang telefon sana, "Pengen juga gue liburan mah ..." balas Dhini namun menggantung di akhir kalimat _macam berfikir_.
"Makannya ayok." Reya mendesak lagi, berharap temannya itu mau. Bahkan Reya siap ikut menanggung separo dari pengeluaran Dhini nanti, entah dia yang membelikan tiket pesawat, atau yang membayar tempat inap dan wisata lainnya.
Dari yang Reya dengar sih Dhini tengah menghela nafas panjang di sana, sepertinya wanita itu memang tidak bisa melakukannya.
"Tapi gue sibuk, dan kayaknya nggak bisa ambil cuti mendadak. Mana liburannya nggak sehari doang pasti," Dhini berat sebenarnya mengatakan hal tersebut, tapi mau bagaimana lagi, dia memang tidak bisa. Perusahaanya sekarang cukup ketat perihal masalah perizinan.
Reya memanyunkan bibirnya, dia kecewa, tapi juga memang sejak awal dia sudah memikirkan jawaban Dhini yang bisa saja memang tidak bisa ikut itu, jadi dia juga tidak terkejut terkejut sangat, "Emm .., seriusan nih lo nggak bisa?" Tapi dia masih bertanya memastikan.
"Enggak bisa. Jelas ini mah." balas Dhini penuh keyakinan kalau yang ini, sebab dia tidak ingin memberi temannya tersebut harapan palsu yang malah akan mengecewakan nantinya.
"Masa gue liburan sendiri sih." Bukannya Reya tidak berani sendirian, hanya saja menurutnya jika pergi ke tempat baru bersama sama pasti akan jauh lebih mudah nan seru dari pada sendiri.
"Ya nggak papa, malah enak. Kayak masih pemula aja masalah sendirian, lo kan pakarnya sendiri, status jomblo dari lahir lo jangan di remehin dong," Dhini terkekeh pelan setelah mengatai temannya itu, walaupun niatannya hanya sebagai bentuk candaan agar temannya tersebut tidak cemberut, tapi sebenarnya dia juga sedikit menyelipkan fakta di sana, kalau Reya bukanlah wanita yang tidak bisa jika sendiri, wanita itu wanita mandiri.
"Tai, sialan lo," ujar Reya mengeluarkan kekesalannya dengan umpatan kasar.
"Huhu, tapi pengen ada temen." Setelah beberapa saat Reya terdengar mengeleuh lagi tentang permasalahnya tersebut.
"Hadeh ... Ya gimana ya." Dhini juga bingung, tidak bisa melakukan apa apa kan.
Reya juga faham akan hal tersebut, tenang dia tidak akan memaksa Dhini untuk kepentingannya sendiri. Jadi memang tidak ada pilihan lain selain pergi liburan sendiri.
"Ck, terpaksa sendiri, gue udah nggak tahan pengen liburan soalnya," ungkap Reya akhirnya.
"Emang mau kemana?" tanya Dhini di seberang sana, mungkin dia penasaran ke mana tujuan Reya liburan, sebab sejak awal menelepon memang temannya itu belum sempat menjelaskan, dan malah langsung to the point mengajak nya untuk liburan.
Tak ingin membuat Dhini menunggu, Reya sendiri langsung saja menjawab atas pertanyaan yang di ajukan temannya tersebut, "Ke Bali,"
Hmm ... Agak terlalu dadakan memang tujuan liburan ke Bali kali ini, tapi Reya memang ingin ke sana. Dia bahkan belum memberi tahu mamanya atas niatannya ke Bali, yang mungkin mamanya akan langsung mengoceh oceh ria mengetahui anaknya malah liburan ke Bali di saat sebelumnya di ajak ke sana juga menolak mentah mentah.
"Bukannya keluarga lo baru aja ke Bali kemaren?" Dhini sendiri juga bingung, karena dia tadi baru saja melihat postingan instragram milik mama Reya, kalau wanita paruh baya itu juga baru saja dari Bali.
"Emang," Reya menjawabnya santai.
"Kok lo nggak ikut mereka aja?"
Reya mendesah pelan mendengar pertanyaan yang Dhini ajukan, ya bagiamana ya menjelaskannya. Liburan dengan keluarga dan sendiri itu beda, sangat beda menurut Reya. Kalau bersama keluarga malah tidak seperti baru saja liburan.
"Ogah bener lah, mereka aja sama keluarga besar mau ke kondangan juga. Males banget kuping gue panas denger ocehan mak-mak," Akhirnya Reya juga memilih jujur mengatakannya.
Sontak terdengar suara tawa di seberang sambungan telefon sana, sepertinya memang Dhini paham betul jika temannya itu sangat menghindari yang namanya kondangan juga tente tante Reya yang kalau kata temannya bermulut bau itu. "Haha okay okay, serah lo serah, Pokoknya jangan lupa oleh oleh nya yang buanyakk ..."
Sebagai teman yang baik dan bijaksana bukannya Dhini sudah bertindak semestinya untuk meminta oleh oleh ketika teman baiknya liburan, haha. Kapan lagi Dhini memiliki kesempatan seperti ini, yakni memoroti Reya.
Halah Dhini, itu masih sangat norma meminta oleh oleh baik baik. Karena biasanya saja temannya itu _Reya_ malah lebih ngerampok ketika Dhini bepergian ke luar kota. Memang tidak tau diri Reya itu.
"Dasar lo," cibir Reya.
Tidak mau menanggapi desisan Reya, Dhini memilih melanjutkan untuk memberi kata kata yang akan membuat Reya membelikan nya oleh oleh.
"Awas aja nggak bawa oleh-oleh," Dhini mengancam, sepertinya wanita itu memang mencoba temannya tersebut bangkrut sekali kali. Ini serius, pokoknya Dhini memang harus di bawakan oleh oleh. "Karena lo nggak boleh lupa, kartu as lo ada di gue semua. Bisa habis kalo lo nggak bawa."
Reya pun memutar bola matanya malas, terserah saja apa kata Dhini, "Hm, gue bawain tenang, pasir pantai aja se-botol,"
Candaan Reya sontak saja mendapat balasan tolakan keras _berupa umpatan kasar_ dari Dhini tersebut. "Tai kotok lo!"
Dan Reya hanya menanggapi dengan kekehan pelan. Namun selanjutnya Dhini kembali berbicara.
"Udah, kalo hadiah gue sebenarnya nggak perlu yang susah susah. Cogan aja gue mah haha ... Cogan bule," tekan Dhini di bagian akhir kalimat. Dia juga tertawa riang di sana. Jangan salah faham, Dhini hanya bercanda kok, akan tetapi kalau Reya benar membawakan cogan atau setidaknya nomor cogan sih Dhini tidak bisa apa apa selain menerimanya kan.
"Ya ya ya," Reya pun mengiyakan saja dengan malas. Lagipun dia juga tidak berminat mendekati cogan hanya bertujuan sebagai mak comblang Dhini itu. Lebih baik dia jalan jalan saja kan.
Reya masih bisa mendengarkan tawa Dhini dari speaker ponselnya.
Karena menunggu tawa Dhini reda, mata Reya pun melirik ke arah jam dinding sana, yang tertempel di atas rak buku _berhadapan dengan ranjang tersebut. Saat ini Reya memang memposisikan diri bersenderan di kepala ranjang yang mana langsung tertuju ke arah jam.
Hm ... Saat ini sudah pukul 7 malam, jadi menurut Reya dia harus melakukan kegiatan lain untuk menunjang acara liburannya nanti.
"Em, kalo gitu gue matiin dulu, gue mau packing soalnya," pamit Reya akhirnya, dia takut keburu mengantuk jika tidak tidak cepat mempersiapkan.
Tentu Dhini terkejut mendengar kalau Reya sudah mau packing, padahal tadi baru juga mengajaknya untuk liburan. "Lah emang berangkatnya kapan?" tanyanya dengan rasa penasaran yang tidak dapat di tutup-tutupi.
"Emm ... Besok," Reya tersenyum memikirkan reaksi temannya tersebut, sejujurnya keinginannya untuk liburan baru menggebu gebu di sore tadi. Tapi rupanya makin malam dia malah makin makin memikirkannya, oleh karena itu Reya sudah memantapkan diri untuk secepatnya berangkat liburan, besok sekalipun. Padahal mah persiapan satu hal pun belum ada yang di lakukan, malahan tiket pesawat juga belum. Memang cukup percaya diri ya Reya ini.
"Anjir cepet banget, gue kira masih minggu depan," balas Dhini terkejut pasti akan jawaban Reya tersebut. Sial, Reya memang terlalu bar bar kalau sudah memiliki kemauan.
Reya menggeleng pelan, meski tidak akan ada yang melihat di sana, "Nggak bisa kalo nanti nanti, minggu depan acara tunangannya Nopal, sama acara syukuran tiga bulanan kehamilan Sia kan, jadi gue harus cepat cepet berangkat, biar bisa pulang tepat waktu." Reya menjelaskan akan alasannya liburan yang bisa di bilang terburu buru sangat tersebut pada Dhini.
"Iya juga sih," Dhini dapat mengerti tentang permasalahan Reya. Kalau Reya sampai tidak hadir di acara Nopal _sepupu Reya_, wanita itu bisa di amuk tante Gita. Sedangkan kalau yang tidak hadir di acara Sia, Reya juga akan di amuk oleh temannya itu. Tidak ada pilihan lain, jadi Dhini setuju kalau liburan cepat adalah keputusan terbaik.
"Ya udah kalo gitu, gue doain lo dapet jack pot gede di sana, siapa tau kecantol bule." Doa Dhini yang sebenarnya bukan hanya candaan belaka, tapi juga terselip nada harapan besar kalau Reya memang akan bertemu seseorang yang cocok untuk melanjutkan hidup temannya tersebut hingga akhir hayat. Bukan malah melanjutkan cita cita menjomblo seumur hidup.
Reya berdecak sambil memutar bola matanya malas, dia juga tidak ingin menanggapi lebih doa Dhini, mungkin karena saat ini dia harus melakukan hal lain, tidak habis-habis malah pembahasannya jika dia ikut membalas. "Ya ya ..., gue tutup,"
"Hm," Ungkapan pamitan Reya di setujui oleh Dhini hanya dengan gumaman.
Dan setelah itu Reya menjauhkan ponsel dari samping telinga, menekan tombol merah tanda mengakhiri.
Tutt ...
Sambungan pun terputus di sana. Reya pun berlanjut melakukan kegiatan yang sangat penting selanjutnya, yakni memesan tiket pesawat. Agak ngeri juga sebenarnya dia membeli tiket cukup mendadak macam ini, mana sedang musim liburan kan. Tapi tidak apa apa, Reya harus mencoba.
Reya pun mulai membuka aplikasi untuk memesan tiket tersebut, dan seperti dugaannya tiket benar benar hampir full. Tapi setelah mencari cari pesawat yang dia inginkan juga jam nya, ternyata tidak juga, dia masih mendapatkannya di sisa sisa terakhir di sana. Sepertinya memang masih rejeki Reya sebagai anak sholehot dan berbakti kepada neneknya, karena dulu sering membantu sang nenek _yang ada di desa_ untuk mengambilkan mangga milik tetangga dengan tanpa izin. Nyolong bestie. Saat itu Reya masih berumur 5 tahun, jadi belum faham.
Okay ... Kembali ke topik.
Reya langsung tersenyum lega seraya memandangi e-tiket nya di layar ponsel, akhirnya satu hal sudah terceklist untuk dia kegiatannya liburan. By the way, dia akan berangkat jam 1 siang besok ya.
"Yey ..." Reya bersorak senang seraya bangkit dari posisinya bersandar di ranjang tersebut _hendak memulai packing_.
Reya sudah bisa membayangkan betapa bahagianya dirinya besok bisa menikmati indahnya suasana resort yang akan dia datangi. Ah benar Reya memang memiliki niatan menginap di salah satu resort yang sangat bagus yang pernah dia kunjungi, mahal sih di sana tapi saat dia dulu ke Bali dan menginap dia langsung merasakan nikmatnya hidup yang tidak tara, astaga Reya sampai tidak bisa berkata-kata saking sukanya dia dengan tempt itu. Bukan lebay ya, memang Reya suka dengan hal seperti itu, mimpinya saja bisa memiliki rumah yang mirip-mirip dengan resort itu.
Reya sudah bangkit berdiri sepenuhnya, bahkan mulai mengambil koper yang dia simpan di lemari besar di sana.
Tapi tiba-tiba Reya teringat jika dia belum memesan tempat inapnya di Bali nanti, di resort yang tadi Reya katakan. Bodoh memang, padahal sudah di bayangkan tapi malah lupa untuk mem-booking nya. Takut sebenarnya Reya kalau dia tidak bisa mendapatkan satu kamar di sana, sebab Reya tidak bisa memikirkan tempat lain yang dia inginkan selain tempat itu.
Reya berlari lagi menuju ranjang mengambil ponsel yang sempat dia meletakkan di atas sana. Lalu langsung membuka ponsel.
Namun ketika dia hendak membooking kamar melalui website resmi resort, layar ponselnya tersebut malah langsung berpindah dari yang mulanya website menjadi menampakkan sebuah panggilan masuk dengan nama kontak 'Bu Gita' yang sudah pasti adalah mama Reya sendiri.
Reya pun dengan terpaksa menunda untuk mem-booking tempatnya penginapannya, dan langsung menggeser tombol hijau untuk mengangkat sambungan telefon dari 'Bu Gita'.
Dan baru juga Reya mendekatkan ponsel ke samping telinga, Reya langsung bisa mendengar suara mamanya yang menyapa itu.
"Halo,"
Reya pun membalas sapaan, dan berlanjut segera menanyakan maksud dari mamanya menelefon, ya gimana ya, Reya tengah terburu-buru tapi jika mamanya telefon tanpa adanya hal yang penting, sudah pasti Reya akan kesal sih. "Apa ma?"
"Kapan kamu ke sini? Oleh-oleh nya banyak nih di rumah."
Ucapan mama Reya terdengar di speaker ponselnya, yang mana membuat Reya menggaruk sendiri yang tidak gatal tersebut.
Reya bingung juga harus menjawab apa, dia kan belum memberi tahu mamanya perihal niatannya liburan, ke tempat yang sama seperti tujuan liburan mamanya kemarin datangi pula.
"Hehe, kapan kapan aja ma." Reya membalas dengan tambahan cengiran yang sudah pasti tidak akan bisa di lihat oleh sang mama tersebut.
Sejujurnya dahi mama Reya sontak berkerut tanpa di ketahui anaknya. "Kenapa gitu, kan udah mama beliin." Tentu saja mama Gita di sana sangat bingung dengan jawaban penolakan anaknya tersebut, pasalnya mana ada sih orang yang menolak oleh oleh yang padahal tinggal mengambilnya saja di rumah. Dan yang mama Gita tau, Reya tidak pernah seperti itu, anak gadisnya itu, selalu sangat excited jika sudah berhubungan dengan oleh oleh apalagi jika itu berupa makanan. Bisa di bilang ngerampok habis habisan adalah kebiasaan Reya malah, namun giliran sudah di belikan cukup banyak, anaknya itu dengan entengnya menolak begitu saja.
Reya mengulum bibirnya sejenak, agak bingung menjawabnya, namun tetap saja dia memang harus mengatakannya bukan. "Reya besok mau ke Bali sendiri," ungkap Reya akhirnya.
"Hah?"
Benar bukan apa kata Reya kalau mamanya itu terkejut bukan main mendengar ucapannya.
"Besok?"
"Apa maksud kamu?" Mama Gita bertanya secara beruntun sebab memang dirinya amat shock mengetahui anaknya juga akan pergi ke Bali, ke tempat yang sama seperti yang dia kunjungi sebelumnya _malah baru pulang kemarin_. Terlebih yang membuat amat terkejut itu, bahwa Reya akan berangkat besok, besok loh, yang bahkan sebelumnya sama sekali tidak memberi tahu dirinya _yang notabene sebagi ibu_.
"Ya ... Reya mau liburan juga." balas Reya enteng seolah tanpa beban sama sekali.
"Lah ... Kalo tau kamu juga tujuan Bali, kenapa nggak barengan sekalian sih." Kesal cukup kesal memang mama Reya saat ini, bisa di bilang anaknya seperti menghindari liburan bersama nya. Ya kan Gita pikir anaknya masih lama perginya, atau tidak tujuan Bali juga. Eh ternyata sama semua.
"Ya nggak papa. Sama aja kan." Reya berusaha mencari alasan di sana.
"Kan enak barengan sayang." Mama Gita sebenarnya sudah pasrah, namun kenapa, padahal kan lebih bahagia kalau bareng bersama keluarga kan.
Reya menunjukkan gelengan kuat di sana, ya lagi lagi meski mamanya tidak tau, "Enggak, Reya mau nya sendiri dulu ma." Reya agak ngotot dalam berbicara.
Mama Reya terdengar menghela nafas dari sambungan telefon sana, "Kamu mah. Tapi kok dadakan banget." Dadakannya itu loh juga yang paling mengejutkan.
Reya bergumam agak berfikir sejenak sebelum menjawab, "Em ... Enggak juga sih," Reya tidak akan mengatakan sejujurnya kepada mamanya itu, lebih baik dia diam saja kan.
"Berarti kamu sengaja nggak bilang mama. Atau malah mau pergi nggak bilang dulu." tuduh mama Reya macam macam dan tak terhingga itu.
Astaga ... Reya hanya dapat mendesah kasar akan lontaran tuduhan mamanya.
"Mau bilang kok bilang."
"Halah bo'ong kamu. Selalu aja gitu sama mama." Lihat lah lihat, mama Reya sama sekali tak percaya dengan ucapan anaknya. Insting ibu memang tak pernah salah ya.
"Ih enggak loh." Reya sendiri juga tidak akan pernah menyetujui tuduhan tersebut meski benar adanya pun. Jadi sekuat tenaga dia juga menyangkal.
"Terserah terserah. Ya udah hati hati, jaga diri kamu di sana." Tak ada hal yang dapat Mama Reya lakukan di seberang sana, kecuali pasrah nan mendoakan anaknya, lagi pun sudah terlanjur juga, anaknya pasti akan tetap berangkat liburan besok.
"Iya ma iya," Reya menjawab sambil mengangguk, by the way saat ini dia juga sudah duduk di ranjang dahulu, mengingat ternyata kegiatan menelefon mamanya tidak se-simple sat set sat set selesai. Cape juga kalau terus berdiri.
"Iya deh, lagi pun sama Dhini juga kan?" Entahlah itu sebuah pertanyaan atau pernyataan di pendengaran Reya.
Akan tetapi Reya langsung menyengir lagi di sana. "Hehe aku sendiri."
"Heh? Kok sendiri?"
Nah kan, mama Reya memekik lagi akibat terkejut.
"Dhini sibuk kerja." ucap Reya berusaha menjelaskan dengan sejujur jujurnya itu.
"Jangan sendiri dong," Mama Reya nampaknya tidak ikhlas jika sang anak berangkat sendiri, padahal kan sama saja, anaknya juga sudah terbiasa sendiri sejak lahir, alias menjomblo.
"Ya emang mau sama siapa?" tanya Reya balik dengan bola mata yang dia putar malas.
"Siapa gitu kek."
Huft ... Mamanya ini selalu deh, Reya ampun jika sudah berhubungan dengan mamanya. "Nggak ada temen. Ya kali ngajak Terry."
"Ya nggak papa sama Terry aja."
Eh ...
Ucapan sang 'Bu Gita' malah menjadikan Reya terperangah seketika, masalahnya Terry kaum batangan loh, bagaimana bisa 'Bu Gita' membiarkan anaknya pergi bersama Terry, apa tidak takut goa anaknya ini di sodok habis sama batang teman dan tetangganya itu.
"Ma, anak mama ini perempuan loh dan Terry laki-laki. Serius mama berani sodorin anak nya ke lubang buaya." ujar Reya agak kebingungan, niatnya cari aman tapi kalau di temani sesama laki laki sama aja bo'ong kan. Ya bukannya Reya tidak mempercayai tetangga sekaligus temannya sejak kecil itu, hanya saja ya Reya cuma mencari alasan di aman sebenarnya dia ingin lebih bebas di penginapan nanti _tanpa kaum lelaki_, di tambah ngeri juga kalau di suruh membayarkan tempat Terry juga kan, karena kalau iya memang statusnya di sini Reya yang akan mengajak.
"Ya nggak gitu. Terry mah nggak mungkin aneh aneh kalo sama kamu." balas mama Reya. Mereka semua sudah mengenal terry sejak kecil, dan melihat bagaimana sikap pria itu terhadap Reya, yang memang menurut Gita begitu gentle itu. Kadang Gita ingin status Terry dan anaknya bisa lebih dari sekedar teman saja. Sudah mengenal luar dalam akan lebih mudah bagi dia untuk mempercayakan anaknya tersebut pada pria lain bukan.
"Dih, enggak ah enggak, Reya sendiri aja." Reya merasa tidak akan ada jalan keluar, jika di rinya tidak ngotot dahulu. Mamanya pasti akan menyodori Terry tanpa henti.
"Padahal Terry pasti mau tuh." balas Mama Reya terdengar kecewa di sana.
Astaga ...
Reya menghela nafas ... "Terry sibuk ma." Terry saat ini memang tengah sibuk bekerja di salah satu perusahaan yang lumayan besar di di sana, bisa di bilang hampir menyaingi Riven corp juga, jadi sudah di pastikan Terry tidak akan bisa seperti Dhini temannya itu.
"Iya juga sih. Ya udah ya udah. Kamu hati-hati kalo gitu di sana." Lagi lagi mama Reya hanya bisa pasrah di sana.
"Iya iya. Ngomong ngomong, mama nggak mau oleh-oleh nih?" tanya Reya.
"Halah, tuh se-koper belom mama buka. Nggak usah beli apa apa buat mama." Mama Reya langsung saja membalas. Meski jawaban mama Reya demikian, sebenarnya sebagai anak Reya juga tidak akan setega itu, orang tuanya saja memikirkannya sedalam itu, yakali dia sebagai anak malah diam saja dan tidak bertindak lebih.
Jadi Reya memilih mengiyakan saja, "Ya ya okay-okay."
"Hm."
Reya pun melirik jam di dinding nya itu, yang membuatnya langsung teringat akan mem-booking penginapannya lagi.
"Reya tutup dulu ya, mau packing packing." Reya berucap dengan alasan seperti itu, meski sebenarnya juga karena booking yang utama.
"Iya, mama juga mau buatin adek kamu makanan." Mama Reya mengerti, karena juga ada pekerjaan lain di sana.
Hanya saja, Reya yang mendengar ucapan mamanya malah dia yang langsung sewot _seperti melupakan kegentingannya perihal booking mem-booking. "Manja amat tuh anak, kebiasaan nggak mau makan yang udah di masakin." Reno _adik Reya_ selalu saja seperti itu, begitulah hidup, memang begitu seimbang, mama Gita memiliki dua anak, yang satunya susah makan yakni Reno, yang satunya _Reya_ malah keterlaluan sukanya dengan makanan sampai bisa di bilang rakus sangat juga tersebut.
"Kalo nggak di buatin nggak bakal makan soalnya." Balas Mama Reya, sebagai orang tua siapa sih yang tega anaknya tidak makan seharian.
"Ck, iya-iya. Kalo gitu, Reya tutup ma," pamit Reya akhirnya.
"Iya."
Dan setelah itu ...
Tut ...
Sambungan telefon benar benar terputus dengan Reya yang menekan tombol merah _menutupnya_ lebih dahulu.
Reya pun buru buru kembali ke halaman website yang tadi sempat dia buka tersebut. Dia mencari dengan seksama resort yang ingin dia kunjungi dengan harap harap cemas. Sungguh Reya ingin menginap di tempat yang memiliki pemandangan langsung menuju laut, dengan kolam private juga memiliki pemandangan lautan luas, kamar mandi di luar yang tidak akan bisa di lihat oleh siapapun, dan terlebih nuansanya tempatnya di bangun seperti bongkahan batu tebing seperti itu. Reya tau tempat itu bisa di bilang agak mahal dari resort lain, tapi tidak apa apa jika sesekali menyenangkan dirinya yang sudah berhasil bekerja sekuat tenaga selama ini, self reward itu penting loh.
Dan benar saja seperti ke khawatiran Reya, karena ternyata kamar di tempat itu hanya tersisa satu saja, tidak heran karena lagi lagi sebab minggu ini musimnya liburan. Tapi dia juga bersyukur masih memiliki sisa kamar itu, makanya dia cepat cepat mem-booking-nya.
Dan yeah ... Lega!
Seperti itulah perasaan Reya sekarang.
Dengan perasaan senang, Reya harus segera menuntaskan kegiatan packing nya malam ini, karena packing menurut Reya juga akan memakan waku, seperti memilih outfit dahulu, belum nanti kalau berubah pikiran.
Reya berlanjut memilih beberapa pakaian yang pasti bisa di bilang kebanyakan bukanlah baju syar'i a.k.a memang yang pendek pendek, tapi tenang pendeknya masih di batas wajar juga. Dan yan terpenting, Reya tak lupa untuk membawa bikini karena dia ingin berenang di kolam private tersebut, beberapa varian bikini amat minim akan sangat cocok jika Reya pakai di sana. Tapi tetap kok, kalau untuk pakaian ke pantai sih, dia juga menyiapkan bikini yang tidak seterbuka itu.
Dan setelah bergelut dengan segala per packing an, akhirnya di jam 10 malam Reya berhasil menyelesaikannya semuanya.
Huft ... Reya senang karena ternyata dia jauh lebih cepat dari dugaannya.
Oleh karena itu, Reya bisa langsung beristirahat _yang sebelumnya sudah membersihkan diri dan skincare an_ sebelum naik ke tempat tidur.
By the way ... Sungguh saat ini jantungnya berdegup kencang menantikan hari esok. Entah karena Reya terlalu senang, atau ada suatu perasaan yang akan menyambut suatu kejadian tak terduga besok. Yang pasti untuk sekarang dia memilih tetap memejamkan mata walau jantungnya tidak mau memelan sama sekali.
Jadi ada apa sebenarnya?