Zalina ~ Part 8

1421 Kata
Kali ini tatapan lelaki berparas tampan itu semakin lekat, ia menilik wajah ku. Mencoba membuat ku malu saat menatap nya, aku pun segera menundukkan kepalaku. “Siapa nama mu?” tanya nya, “Dan apa yang kau lakukan disini?” tanya nya kembali kepada ku. “A-aku,” “Ah, kau wanita yang diceritakan Sevi bukan?” “Sevi?” tanya ku heran. “Ya Sevi,” ucap nya sembari mengangguk-anggukkan kepalanya berulang, “Sevi adalah pelayan pribadi di rumah ini,” ucapnya kembali. “Oh.” sahutku sembari membuat huruf O. “Kau belum menjawab pertanyaan ku,” “Pertanyaan yang mana?” tanya ku. “Nama mu siapa?” tanya nya kembali. “Aku Zalina,” “Zalina?” “Ya,” “Maaf Tuan, saya harus segera pergi darisini.” Aku segera menaiki kembali pagar pembatas itu, namun lelaki itu membuat tubuhku tak mampu bergerak. Aku merasa takut, sepertinya wajah tampannya hanya menutupi keganasannya. Namun aku salah, dia menunjukkan sebuah kunci. “Kau bisa memakai ini jika mau keluar,” ujar nya, aku pun merasa gugup dan sedikit terbata kala ingin membalas kalimatnya. Aku pun menundukkan kepala ku, wajah ku bersemu merah. Sembari menatap ku, Ia pun segera membuka pintu tersebut. “Silahkan Nona Zalina,” ucapnya. Aku keluar tanpa menyahuti kalimat nya itu, “Hey,” panggilnya kembali. “Iya,” sahut ku. “Apa tidak bisa mengucapkan terimakasih?” tanya nya kepada ku. “Terimakasih Tuan,” Aku pun segera berlari mencari jalan untuk pulang kerumah ku, air hujan mulai turun. Yang aku takuti adalah hujan lebat, hujan yang akan membuatku merasa takut dengan kekuatan petir yang menyambar. “Ayaaaah,” lirih ku saat memanggil ayah ku, “Aku takut,” ucapku kembali, aku meratapi nasib ku saat ini. Betapa kejamnya sosok Xavier, demi rasa suka nya dan ambisi yang besar untuk memiliki ku, ia rela menyekapku. Dan saat aku berjalan mencari ujung jalan dari komplek perumahan milik Xavier, sebuah mobil menghampiri ku. Cahaya nya seakan menyoroti langkahku, aku takut dan segera berlari. Namun aku merasa mobil itu dengan cepat mengikuti ku, aku pun terus berlari hingga mobil itu berhenti tepat di belakangku. “Hey,” Panggilnya, “Suara itu?” Yang jelas bukanlah suara Xavier, melainkan suara lelaki yang baru saja menolongku. “Zalina,” panggilnya kembali, aku pun menoleh. “Kau?” tanya ku padanya. “Panggil Aku Vittore,” ucapnya sembari tersenyum, aku menatap nya heran. Entah mengapa senyumannya membuat ku merasa nyaman, namun aku segera menundukkan kepala ku. “Masuklah Zalina, aku antar kau pulang.” ucapnya. “Tatapan sayu mu mengatakan jika kau sedang merasa bingung dengan keadaan mu saat ini, dan biarkan aku membantu mu.” ucapnya kembali, aku hanya menatap nya dan tak lama kemudian aku kembali menundukkan kepalaku. “Aku bukan orang jahat seperti Xavier,” Dalam hatiku bergumam, “Hah dia tahu Xavier,” Aku menatapnya lekat, “Jelas saja tahu, aku bertemu dengan nya tepat di belakang taman rumah milik Xavier.” “Zalina mengapa kau malah diam?” tanya nya kembali. Aku tetap terdiam dan terpaku dalam keadaan berdiri, “Ayo aku antar kau pulang, Sevi sudah menceritakan tentang mu padaku.” ujarnya. “Dan aku tak mau merestui itu,” “Kau?” tanya ku, “Kau siapa Xavier?” tanya ku kembali. “Aku anak kandung Xavier,” “Kau memanggil Xavier dengan nama?” tanya nya. “Tidak,” tolaknya sembari menggelengkan kepalanya. “Tadi?” “Oh itu,” jawabnya kembali, “Di depannya aku memanggilnya Daddy, dibelakangnya aku bebas menanggilnya dengan sebutan apa.” jawabnya sembari mengangkat kedua bahunya. “Ayolah Zalina, Daddy ku sebentar lagi menyadari jika kau tidak ada di sana.” tunjuknya pada rumah bertingkat milik Xavier, “Apalagi hujan nya sangat deras, pakaian mu dan pakaian ku sudah sangat basah.” tambahnya. “Baiklah,” jawabku, “Kau tidak menipuku kan?” “Untuk apa?” “Kau bisa saja membawaku kembali ke rumah itu,” “Tidak Zalina, aku lebih memilih kau menikah dengan ku dibandingkan dengan Daddy ku.” Pekiknya. Aku pun segera masuk kedalam mobil miliknya, karena menurut ku benar saja apa yang dikatakan olehnya. Bisa saja Xavier datang mencariku dan membawaku kembali untuk masuk kedalam rumahnya, aku pun tidak mau jika itu terjadi. Mobil sudah berjalan sesuai arah tujuan, sebelumnya Vittore bertanya dimana letak rumahku. Ternyata perjalanan menuju rumah ku dari rumah Xavier terbilang sangat jauh, jarak tempuhnya saja bisa memakan waktu satu jam tiga puluh menit. “Kau sudah tak sadarkan diri selama dua hari,” ucapnya memberitahuku. “Hah?” jawab ku terkejut, “Tidak kah kau berbohong?” “Tidak,” gelengan kepalanya seakan meyakinkan ku. “Tidak mungkin,” tukas ku kepadanya, “Bagaimana bisa?” “Daddy membius mu, dan itu sudah pasti di lakukan olehnya.” ucapnya, “Dan Sevi lah orang kepercayaan ku jika ada wanita yang ingin di nikahi Daddy,” jelasnya. “Daddy mu sekejam itukah?” tanya ku. “Daddy tidak kejam, Daddy hanya merasa sakit hati dengan sikap mantan istrinya yaitu ibu ku.” terangnya. Aku merasa heran dengan jawaban yang diberikan Vittore, “Mengapa seperti itu?” tanya ku. “Daddy mengalami trauma karena merasa ditinggalkan oleh ibu ku,” “Jadi Liliana itu bukan ibu kandung mu?” tanya ku. “Bukan, dia adalah wanita kesekian kalinya yang Daddy nikahi.” jawab Vittore kembali. “Aku tak mengerti mengapa dia sesering itu menikahi gadis, yang jelas yang aku tahu dia mencari sosok wanita seperti ibu ku.” jelasnya kembali. “Dan menurutku kau mirip dengan ibu ku,” “Oh ya?” aku menggelengkan kepalanya, “Apanya yang mirip sih?” tanya ku. “Senyum mu, rambut pirang mu dan wajah sederhana mu.” ucap Vittore. “Begitukah? Vittore tolong cepatkan laju mu, aku harus segera menemui adik ku. Kasihan dia,” keluh ku, Vittore segera mempercepat laju nya. Aku merasa khawatir dengan keadaan Raline, entah mengapa hati ku merasa takut jika terjadi sesuatu kepada dirinya. Apalagi Aline sama sekali tak memiliki uang, bagaimana bisa ia makan atau sekedar membeli roti. Krubuk... krubuk... “Perut ku? Oh My God,” ucapku sembari menatap kikuk kearah Vittore. “Kau lapar?” Aku menganggukkan kepala ku, “Apakah ada secuil roti? Atau segelas air?” pertanyaan ku dibalas gelak tawa kecil dari Vittore, ia juga menggelengkan kepalanya. “Ini mobil ku, bukan dapur atau minimarket.” jawabnya dengan senyuman yang masih saja melekat itu. “Maaf,” ucap ku berseru padanya, “Ya sudah aku tahan saja sampai nanti di rumah,” ucapku kembali. “Di persimpangan ada sebuah minimarket, nanti kita berhenti disana.” “Tapi aku tidak memiliki uang,” “Tidak apa-apa, aku ada kok.” sahutnya kembali. “Mungkin karena aku merasa kedinginan, lalu aku lapar.” keluh ku, Vittore seakan menahan rasa ingin tertawanya. Dia kembali memfokuskan dirinya untuk mengemudi, sesekali ia menatap ku namun saat aku menatap nya. Ia mengalihkan tatapan itu, aku tahu jika kalimat terakhirku membuatnya ingin tertawa. Sesampainya di sebuah persimpangan, Vittore segera keluar dari dalam mobil. Tubuhnya yang sangat tegap itu membuatku takjub, ia juga terlihat sangat tampan saat rambutnya basah kuyup. Aku tersenyum saat melihat wajah serta tubuhnya namun segera aku menepisnya, bisa saja sikapnya tak jauh dari Ayahnya. “Menyebalkan,” decihku sembari menatap kearah luar, tak berselang lama Vittore segera keluar dari dalam minimarket. Ia membawa beberapa kantong berisikan belanjaan, aku tak tahu apa saja yang ia beli. Tok tok... ia mengetuk kaca jendela pintu sampingku, aku segera membukanya. “Mau makan mie disana?” tanya Vittore. “Mie?” “Iya, di dalam minimarket ada termos air panas dan aku membeli mie Instan cup untuk mu.” “Baju ku basah, biar aku makan di dalam sini saja.” ucapku. “Baiklah,” ia membuka pintu belakang mobil miliknya ini, lalu menyimpan beberapa kantong belanjaannya tersebut. Dan setelah itu, ia kembali masuk kedalam minimarket. Beberapa menit pun berlalu, ia kembali keluar dengan cup mie instan di kedua tangannya. Lalu ia memberikan satu cup tersebut kepadaku dan kembali masuk ke dalam mobil, ia duduk di atas kursi kemudi dengan mengangkat sebelah kakinya. Sungguh, ia tak seperti Xavier yang memiliki gengsi yang sangat tinggi. “Aku memilih mie instan berair, airnya hangat. Sedikitnya bisa membantu mu menghangatkan tubuhmu,” ucap Vittore. “Terimakasih,” “Sama-sama Zalina,” Jawabnya singkat, ia menyeruput mie beserta air di dalam nya dengan begitu terlihat sangat nikmat. “Zalina,” panggilnya. Aku menyahutinya dengan tatapan kilas, “Maafkan Daddy ku, tolong jangan kau memiliki dendam padanya.” ujar nya kepada ku. “Tidak, aku tidak pernah memiliki dendam kepada siapapun.” jawabku. “Gadis manis,” pujian nya itu membuatku semakin gugup, entah mengapa tatapan nya bagaikan tatapan maut untuk ku. “Ayah ku pernah berucap, dendam tidak akan berakhir bahagia. Memiliki dendam hanya akan menderita, ayah juga bilang, aku tidak boleh memiliki prasangka buruk kepada siapapun. Walaupun orang yang aku anggap buruk memang berbuat buruk kepadaku,” jelasku padanya, Vittore menggelengkan kepalanya. Matanya berkilat, ia seakan takjub dengan apa yang aku ucapkan. “Sepertinya ayah mu orang yang hebat,” “Lebih tepatnya sangat hebat,” tuturku sembari tersenyum, “aku sangat bangga memilikinya,” “Bolehkah aku bertemu dengan nya?” Tanya Vittore. “Boleh, nanti aku ajak kau bertemu dengan nya.” sahut ku kembali, air mata ku menetes dan aku segera mengusapnya. Vittore kembali mengunyah makanan yang masih ada dalam genggaman nya, “ada beberapa makanan instan dan beberapa bungkus snack untuk kau dan adik mu dirumah,” ucapnya. “Kau membelinya untuk kami?” tanya ku. “Tidak, tetangga mu yang membelinya.” jawab Vittore dengan kedipan dimatanya, “Zalina mengapa kau polos sekali,” “Ah iya, Terimakasih lagi Vittore.” ucapku, “Terkadang aku selalu gugup jika bercengkrama dengan orang.” sahutku kembali. “Tidak apa-apa, aku mengerti Zalina.” ucap Vittore, Vittore sudah selesai memakan satu buah Cup mie itu. Lalu ia memilih untuk kembali mengantarkan ku pulang, di dalam perjalanan, Vittore kembali bercerita mengenai kehidupan ayahnya. Aku cukup mengerti mengapa Xavier selalu berambisi denganku, Xavier dan ayah ku memiliki nasib yang sama. Dan aku tahu Xavier memanglah merasa frustasi karena ditinggalkan oleh orang yang sangat ia cintai, Xavier hanyalah merasa menjadi korban nya sama seperti ayah ku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN