Sesampainya di depan rumah, rumah ku terlihat gelap. Petir pun terlihat menyambar beberapa ranting yang rapuh pada pepohonan sekitar rumah ku, tanpa berpikir panjang, aku pun segera pergi menuju rumahku. Aku mengetuk keras pintu rumahku, aku merasa khawatir dengan keadaan Aline.
Vittore juga mengikuti langkahku, ia membantu ku untuk mengetuk pintu rumah. terdengar jelas suara tangisan Aline dari dalam rumah, “Vittore bisakah mendobrak pintu rumah ku?” tanya ku padanya.
“Baiklah, esok akan aku perbaiki kembali.” jawab Vittore sembari berusaha mendobrak pintu utama pada rumah ku.
Keadaan nya cukup sulit, mungkin karena pintu rumahku terbuat dari kayu jati yang di ukir oleh ayah sendiri. Aku membantunya dan aku tak mampu memberikan tenaga sekuat Vittore, Vittore pun mencoba mencari cara lain untuk ku. Ia mengambil langkah dari jauh lalu berlari dan menabrakan tubuh kekar nya pada pintu itu, pintu itu pun terbuka dengan cepat kilat, Bahkan kaca di sampingnya ikut pecah saat pintu itu di buka paksa oleh Vittore.
“Dimana adik mu?” tanya Vittore.
Aku segera berlari menuju kamar Aline, tanpa mendengar jawaban ku, Vittore pun mengikuti langkah kaki ku.
“Aline,”
“Kakak,”
“Kau tidak apa-apa kan?”
“Tidak kak, hanya saja aku takut.” ucap Aline.
“Takut? Takut kenapa?” tanya Vittore.
“Siapa kamu?” tanya Aline ketus pada Vittore, Vittore pun tersenyum.
“Aku Vittore, teman kakak mu.” Sembari mengajaknya bersalaman, ia pun terlihat menatap Aline dengan penuh kelembutan. Aline pun membalas uluran tangan yang di berikan oleh Vittore, lalu membalas senyumannya.
“Apa yang kau takutkan Aline?” tanya Vittore.
“Xavier memaksa ku ikut bersamanya, lalu aku tak ingin ikut. Ia juga mensabotase listrik untuk mati, mungkin dengan tujuan membuatku takut dan mau ikut dengan nya.” jelas Aline.
Vittore pun terdiam, Vittore menatapku dan memintaku mengajak Aline untuk duduk di ruang tamu. Aku pun merangkul Aline dan sedikit membuatnya merasa tenang, aku duduk di sampingnya. Vittore kembali datang ke dalam rumahku dengan tentengan belanjaan yang sempat ia beli saat tadi, Vittore duduk di samping kiri Aline dengan wajah yang terpancar senyuman yang indah.
“Kau pasti lapar, makanlah.” ucap Vittore, “Setelah kau makan, kau akan memiliki tenaga. Setelah itu, kau boleh menceritakan semuanya.” ucap Vittore kembali.
Aline menganggukkan kepalanya, Vittore pun menatap wajah ku dan mengedipkan sebelah matanya ke arahku. Aku tersenyum saat melihat kedipan itu, sungguh aku merasa bahwa Vittore adalah sosok lelaki yang sangat baik. Entah mengapa hatiku sangat yakin jika Vittore adalah lelaki yang sangat baik, dan sangat berbeda dengan ayah kandungnya itu.
Sembari menunggu Aline memakan snack serta mie instan itu, Vittore mencoba memperbaiki listrik yang sengaja di padamkan oleh Xavier. Namun ada hal lain yang membuat aku tidak mengerti, aku melihat Aline menatap Vittore dengan tatapan yang sangat lekat.
“Aline,” Panggil ku.
Aline beralih menatapku, “Kau tidak boleh menatapnya seperti itu,” pinta ku pada Aline.
“Kenapa? Dia ganteng dan sangat baik.” ujar Aline, “Kau mendapatkan nya dimana?” tanya Aline kembali.
“Sssssh,” aku mencubit salah satu lengan atas nya, Aline pun berteriak dan meringis kesakitan.
“Kau kenapa mencubit ku?” tanya nya kembali.
“Karena kau nakal.” jawab ku sembari menajamkan kedua bola mataku, aku mendelik kesal saat menatapnya. Wajahnya benar-benar terlihat menyebalkan saat menatap ku, “Mengapa kau menatapku seperti itu?” tanya ku kembali.
“Karena kau aneh,”
“Kau yang aneh Aline,”
“Mengapa aku aneh?” tanya Aline seraya mengernyitkan dahi miliknya.
“Karena kau bersikap genit dan aku tidak menyukai hal itu,”
“Maaf aku hanya mengagumi sosok lelaki itu, masih ada kah sosok lelaki tampan berbadan atletis yang memiliki hati yang baik.” ujar Aline.
“Tapi kau tak perlu menatap nya seperti itu,” Bisik ku, aku sengaja berbisik di telinganya. Aku tak ingin Vittore mendengarkan pertengkaran diantara kita, apalagi kita memperdebatkan sosok nya di hadapan dirinya sendiri.
“Kau sudah berapa lama mengenalnya?” tanya Aline kembali, ia terlihat penasaran dengan apa yang sedang aku rasakan saat ini.
“Baru saja malam ini,” jawab ku singkat sembari tetap berbisik di telinganya.
“Zalina,” Panggil nya untuk ku.
“Iya,” aku segera beranjak lalu pergi menghampiri, “Kenapa Vittore? Apa ada yang harus aku bantu?” tanya ku kembali.
“Bisakah kau memegang senter pada ponselku?” tanya nya padaku, “Sebab aku tidak mempu memegangnya terlalu lama, listrik ini benar-benar di putuskan Oleh Daddy.” ucap Vittore, aku pun segera menolongnya.
“Baik lah,” jawabku, aku pun segera memegang ponsel miliknya. Lalu aku melihat kesigapannya dalam memperbaiki listrik di rumah ku ini, keringatnya mengucur deras, pakaian yang sedari tadi basah pun kini sudah mengering dengan sempurna.
“Apa semua akan baik-baik saja?” tanya ku padanya.
“Semua akan baik-baik saja Zalina, ini adalah ulah ayah ku dan kewajibanku saat ini adalah mencoba memperbaiki semuanya.” jawab Vittore.
“Terimakasih Vittore, maaf karena aku sudah merepotkan mu.” ucapku.
“Tidak mengapa Zalina,” jawab nya sembari tersenyum, Vittore memang sangatlah berbeda dengan apa yang di lakukan Xavier. Ia terlihat lebih dewasa dan mengerti perasaan yang di miliki wanita, Vittore pun terlihat bersusah payah saat memperbaiki kabel-kabel berukuran kecil tersebut.
Aku pun berinisiatif meminta Aline untuk membawakan dua lembar tisu wajah yang ada di hadapannya, Aline segera memberikan tisu tersebut dan aku segera mengusap keringat yang bercucuran di dahi Vittore tersebut.
“Maaf ya, maaf jika aku tidak sopan Vittore.”
“Tidak apa Zalina, justru aku tadi mau meminta mu melakukan hal itu dan kamu terlebih dulu mengerti dengan apa yang harus kamu lakukan.” ujar nya sembari tersenyum, aku begitu malu saat menatap nya. Senyumannya membuat ku terpana, aku pun segera menundukkan kepala mu.
Tak lama kemudian, listrik pun mulai menyala. Aku mendengar desahan dari rasa senangnya itu, “Ahh, Oke Zalina. Kita berhasil,” ucapnya sembari tersenyum kembali.
“Kita?”
“Ya kita,”
“Kau yang melakukannya, mengapa kau berpikir kita yang melakukannya?” protes ku padanya, ia mencibit hidung ku.
“Karena kau membantu ku memberi cahaya, lalu kau pun membantu ku mengusap keringat ku.”
“Ya mungkin,” Jawab ku kebingungan.
“Zalina,” Panggilnya kembali, aku menoleh kearah nya.
“Tidak usah kebingungan seperti itu, ini perkara yang sangat mudah. Kau tinggal mengiyakan saja apa yang aku katakan,” ujar nya, “mudahkan?” tanya nya padaku.
Aku menganggukkan kepalaku seraya mengiyakan apa yang ia katakan, “ya sudah, aku harus pulang. Kunci saja pintunya agar Daddy tak bisa masuk membawamu.” ujar Vittore.
“Kunci?”
“Rumah kita pintunya rusak kak,” sahut Aline menimpali pertanyaan ku.
“Oh iya aku lupa,” ucapnya, “atau begini saja, kau bisa sementara menginap di hotel bersama adik mu.” Titah Vittore.
“Aku tidak memiliki uang Vittore,”
“Tidak masalah,” tepisnya, “kau hanya harus bersiap saja, ayo aku antarkan.” tambahnya.
“Sebentar,” tangan Aline seakan menghentikan langkah ku, aku menatap Aline saat itu juga.
“Kenapa Aline?” tanya ku pada Aline.
“Kak Vittore mengatakan Daddy?” tanya Aline kembali, “Daddy siapa?” Aline terlihat merasa kebingungan.
“Jangan-jangan kau anak Xavier si Om-om tak tahu diri itu,”
“Aline jaga perkataan mu,” aku sedikit berteriak terhadap Aline, bagiku Aline sangatlah tidak sopan.
Vittore pun mencoba menenangkan ku, “Tidak apa-apa Zalina,” ucap Vittore sembari tersenyum.
Vittore mengalihkan pandangannya kepada Aline, ia tetap memberikan senyuman terhadap Aline.
“Aku memang anaknya, tapi aku sangat tidak menyukai apa yang di lakukan olehnya. Kau tak perlu khawatir, aku akan menjaga mu juga kakak mu dengan baik.” tutur Vittore, “Dan aku akan menjadi orang pertama yang menggagalkan niat buruk ayah ku,” tutur Vittore kembali.
“Terimakasih kalau memang seperti itu, maaf jika aku membuat mu tidak nyaman kak Vittore.
“Tidak apa-apa Aline, aku sangat mengerti dengan keadaan mu saat ini.” jelas Vittore kembali, Aku dan Aline pun menerima tawaran yang di berikan olehnya dan ‘ beberapa hari kedepan nanti kami menginap sementara di dalam hotel yang di bayar oleh Vittore.
Satu jam pun berlalu, kami sudah berada di dalam sebuah kamar hotel yang sangat membuat kami nyaman. Vittore pun ikut duduk di dalam kamar hotel tersebut, “Zalina, aku harus pulang.” ucapnya seraya berpamitan kepada ku.
“Baiklah Vittore, terimakasih.” ucapku kembali.
“Bisakah aku meminta nomor ponsel mu?” tanya Vittore kembali.
“Maaf Vittore, sepertinya ponsel ku tertinggal saat Daddy mu mencoba menculik ku.” ucapku.
Vittore terdiam lalu menganggukkan kepalanya, “Baiklah, besok aku akan datang dan memberikan mu sebuah ponsel.” ujar Vittore.
“Tidak usah Vittore, aku tidak mau lagi menerima bantuan darimu. Karena menurut ku Sudah terlalu banyak bagiku bantuan darimu,” tolak ku padanya, Vittore pun tersenyum menanggapi perkataanku. Sungguh senyumannya membuat detak jantungku tak henti berdegup kencang, Vittore pun berpamitan kepadaku, aku dan Aline mengucapkan rasa terimakasih ku yang sangat amat dalam dan kami pun mengantarnya segera.
Semenjak itu Vittore memang selalu membantu kami, ia membuat kami sangat merasa aman. Namun sayang, Xavier masih saja gigih dengan niat yang sama yaitu menikahi ku.