POV Zalina
Malam itu Vittore menunggu ku di halaman parkiran tempat ku bekerja, mobil mewah di sana hanya satu-satunya milik Vittore, walaupun semua orang yang menjadi tamu di Te-monela adalah kalangan orang-orang kaya.
Ia menyandarkan tubuhnya di samping mobil sembari kedua tangan nya bertumpu di hadapan d**a nya, aku berjalan menghampirinya. Jelas sekali beberapa tamu yang masih berada disana menatap kami dengan tatapan yang sangat penasaran, aku pun tersenyum dan Vittore segera membukakan pintu mobilnya agar aku secepatnya masuk.
“Kamu pasti lelah, langsung pulang aja ya.” ucap Vittore.
“Lah emang nya mau kemana? Selesai aku bekerja, aku memang selalu pulang ke rumah. Karena itu prioritas utama ku.” jawab ku kala itu.
Sembari menatap nya, “Aaah aku lupa,” teriak kecil ku membuatnya sedikit terkejut.
“Kenapa Zalina?” tanya Vittore, “Apa ada barang mu yang tertinggal?” tanya Vittore kembali.
“Aku lupa ingin bertanya,” seru ku.
“Bertanya? Aku kira apa,” pekik Vittore kala itu, ia menutup pintu samping tempat duduk ku. Lalu berjalan ke hadapan mobil dan masuk dari pintu samping kemudi, ia duduk sembari mengalungkan seatbelt miliknya.
Setelah itu ia menatap ku kilas, “Mau bertanya apa?” tanya Vittore.
“Aline? Mengapa kau secepat itu meninggalkan Aline?” tanya ku dengan tatapan yang sangat lekat padanya, “Kau sudah berjanji kan untuk ku, kau berjanji akan menjaga nya di rumah.” susul ku kembali, aku mencerca Vittore dengan segudang pertanyaan dan aku tahu itu bukanlah hal yang baik.
“Aku menyewa teman ku untuk menemani nya,” sahut Vittore sembari menyipitkan matanya.
“Teman mu?” tanya ku padanya, “kau memberikan orang asing untuk Aline, bagaimana jika orang itu bukan orang yang baik Vittore?” tanya ku kembali padanya, jujur aku sedikit berteriak padanya. Entahlah aku begitu sangat terkejut dengan jawaban Vittore, aku takut jika orang itu adalah orang jahat.
“Dia sama seperti mu, malah lebih parah. Dia gadis sebatang kara, ia hanya hidup sendiri dan aku yakin dia tidak memiliki otak jahat seperti yang kau kira.” jawab Vittore, “Zalina, aku juga tak mungkin memberikan adik ku kepada orang asing yang sama sekali akan membahayakan dirinya. Kau tak perlu khawatir Zalina,” terang Vittore kembali.
Sembari menatap ku, ia pun menarik tangan ku lalu menggenggam nya. Ia juga mengusap pipi ku dengan usapan yang sangat lembut, “Tenangkan dirimu, aku akan menjaga mu begitupun mereka. Kau dan mereka sama-sama akan aku lindungi,” ungkapnya kembali.
“Ma-maaf Vittore, maaf jika aku berteriak padamu.” ucap ku padanya kembali.
“A-a-aku hanya..”
Vittore menggelengkan kepalanya, “Aku mengerti Zalina, tenanglah. Kau pantas berpikir seperti itu, kau pantas mengkhawatirkan Aline. Kau pantas untuk itu Zalina,” tutur kata Vittore selalu membuatku tenang, aku merasa nyaman ketika berada di dekatnya. Aku memberanikan diriku untuk bersandar di bahu kanan nya, ia mengemudikan mobil tersebut dengan sangat amat pelan.
“Kenapa jalannya pelan sekali?” tanya ku pada nya.
“Supaya lebih lama di jalan,” jawab nya singkat, aku melepaskan sandaran kepala ku. Lalu mengerutkan dahiku sembari menatap wajahnya, Vittore tersenyum tipis saat ini.
“Kenapa tersenyum seperti itu?” tanya ku kembali.
“Gak kenapa-kenapa, seneng aja liat wajah kamu yang setiap kalinya mendapat jawaban dariku seperti itu.” jawab nya kembali.
“Seperti itu apa?” tanya ku padanya kembali.
“Seperti wajah orang-orang yang sedang mendapat kejutan, waw seperti itu.” sahutan nya membuat tarikan senyuman di pipiku terlihat, aku tidak bisa menutupi senyuman ku. Entah mengapa seperti ini, aku pun hanya mampu mengalihkan pandanganku.
“Zalina, apa kau lapar?” tanya nya kembali.
“Tidak,” jawab ku singkat.
Perut Vittore terdengar berbunyi sangat nyaring, aku pun menatap wajahnya dengan tatapan yang sangat aneh. Ia tersenyum malu saat suara perutnya terdengar oleh ku, “Maaf aku lapar,” keluh nya padaku.
“Sepertinya di rumah ada makanan yang dapat aku masak Vittore,” ucap ku padanya, “apa kamu mau makan di luar?” tanya ku kembali.
Vittore menatap ku, lalu meluruskan pandangan nya kembali. Ia seakan menatap sekeliling jalanan yang sedang kami lewati, dan hanya ada satu buah warung yang masih terlihat terbuka di jam pagi seperti ini.
Vittore pun menatap jam yang melingkari tangannya, “Jam 3 pagi, makanan apa ya itu?” tanya Vittore.
“Dia memang selalu berjualan hingga pukul 4 pagi,” jawab ku pada nya, “Mau makan dulu di sana?” tunjuk ku pada salah satu warung makan di samping ku.
“Tidak, aku ingin masakan mu saja.” ucap Vittore.
“Ya sudah kendarai mobil mu dengan benar supaya cepat sampai,” aku memberikan perintah kepadanya, karena sedari tadi dia mengendarai mobil seakan mengendarai kumbang. Dia mengangguk pelan, lalu mempercepat laju kendaraan yang sedang kami tumpangi.
Beberapa menit pun berlalu, kami sudah sampai tepat di halaman rumah kami. Aku memperhatikan mobil miliknya itu, mobil yang berbeda dari biasanya ia pakai saat ini. Aku pun kembali bertanya padanya, “Vittore mobil siapa ini?” tanya ku padanya.
“Mobil ku,”
“Tapi saat tadi kamu mengantarku bukan mobil ini yang kau pakai?” ucapku, “Jenis nya sama, warna nya pun sama tapi ada yang berbeda.” ucap ku kembali.
“Kalau kau tahu ada yang berbeda, coba katakan apa perbedaan nya?” tanya nya padaku.
“Flat pada nomor ini berbeda Vittore dan aku tahu itu,”
“Matamu memang jeli Zalina,” ujar Vittore kembali.
“Benarkan?” tanya ku kembali pada Vittore.
Vittore tersenyum, “Ya memang benar, aku menukarnya tadi, agar Daddy tak mengenali mobil ku.” jawab Viitore, “Ini mobil pribadi ku, Daddy tak mengetahui kepemilikan ini Zalina. Diam-diam aku membelinya sendiri,” jelas Vittore.
“Lalu kau menyimpan nya dimana?” tanya ku pada nya kembali, aku benar-benar merasa penasaran dengan kehidupan Vittore, bagiku kehidupannya sangat unik dan terkesan apa adanya.
“Begini Zalina, nanti ada saat nya aku menceritakan semua kehidupan ku padanya.” Aku terkejut mendengar kalimat itu, kalimat nya memekik diriku. Aku pun merasa malu dengan apa yang di ucapkan oleh dirinya, aku melanjutkan langkah ku untuk masuk kedalam rumah.
“Zalina,” panggilnya dari arah belakang, aku menoleh dan menatap wajahnya.
“Kenapa?” tanya ku padanya.
Ia tersenyum, “aku akan membuat mu penasaran dengan ku,” ucap nya sembari tersenyum, aku mengalihkan pandangan ku. Jujur saja aku malu saat menatap matanya, ia berjalan di belakangku, wanginya terhirup olehku.
*
Di tempat lain, Morin sedang mendapatkan sebuah introgasi dari Assisten Xavier. Ia di cerca dengan berbagai pertanyaan, Morin pun terlihat menutupi siapa lelaki yang mengalungi ku uang.
“Dia pendatang yang baru saja melihat performance Zalina, kebetulan saat dia datang, Zalina lah yang menjadi pengisi di panggung itu.” terang Morin.
“Apa dia lelaki seusia Tuan Xavier?” tanya Assisten tersebut, tatapan nya sangat tajam.
“Ti-tidak Tuan,” Jawab Morin kembali.
“Lalu seusia apa lelaki itu?” tanya nya kembali.
“Seusia dirimu,” jawab Morin singkat.
Tatapannya semakin tajam, ia juga menggebrak meja di hadapannya sehingga membuat Morin merasa takut. Lalu setelah itu, ia pun mendekatkan wajahnya tepat di hadapan wajah Morin.
“Jika Tuan Xavier bertanya, jawab saja jika lelaki itu seusianya. Dan jika Tuan Xavier bertanya siapa orangnya, bilang saja jika orang itu pertama dan terakhir kalinya memberikan saweran untuk Zalina.” Jelas Assisten tersebut, sepertinya ia sudah tahu jika lelaki yang di maksud Morin adalah Vittore. Anak dari majikan nya sendiri, dan ia mencoba menyembunyikan identitas Vittore dari ayahnya sendiri.
Assisten tersebut menjauhkan wajahnya kembali, lalu berucap, “Apa kau paham maksud ku?” tanya nya pada Morin.
“Pa-paham Tuhan,” jawab nya kembali.
Ia membetulkan dasi nya, lalu berjalan meninggalkan Morin. Morin sedikit tidak mengerti dengan maksud yang di berikan oleh Assisten dari Xavier tersebut, ia pun mencoba menghubungi ku saat itu dan menceritakan semuanya pada ku. Aku hanya terdiam dan mendengarkan apa yang di ceritakan oleh Morin, aku pun merasa bingung saat mendengar semua cerita mengenai Assisten Xavier itu.