“Sayang, maaf aku terlambat.” Abraham Xander berbicara sambil berjalan memasuki ruang kerja dengan ponsel di saku piyama, secangkir teh di satu tangan dan tangan lainnya memegang ipad. Aku hanya mengangguk menanggapi ucapannya, berpura-pura sibuk dengan pekerjaan yang sedang aku kerjakan. Setelah masuk ruang kerja ia meletakan cangkir teh di atas meja kopi dan kemudian duduk di sofa santai dengan kaki memanjang di kursi ottoman di hadapannya. Ia tidak lagi menggodaku dan terlihat sibuk dengan ipad yang sedang ia pegang. Aku yang duduk di meja kerja berusaha keras memfokuskan pikiranku pada dokumen yang sedang aku kerjakan. Tapi hal itu sangat sulit bagiku. Map dan tanda tangan Abraham Xander yang ada pada dokumen yang baru saja aku temukan tadi selalu terlintas di benak