Sebelum Selamanya [2]

1371 Kata
“Hansika!” Ia terus berlari, bahkan di tangga pun hampir jatuh dan menahan sakit. Dia kembali menerobos hujan dan masuk ke mobilnya. Ia sempat melihat Nando panik, diikuti perempuan itu. Mengejarnya hingga sebelum sampai ke pintu mobil, segera Hansika menguncinya. Hansika memundurkan mobil, meski Nando menghalangi dan menggedor-gedor kaca sambil terus berteriak menghentikannya. Ia tetap melajukan mobil sambil menangis dan menahan sakit. Bukan hanya perselingkuhan, tapi Nando berani menyiksanya. Hansika dengan tangan gemetar coba mengambil ponsel, dan asal memilih hingga tersambung pada seseorang dengan suara berat namun syarat akan kecemasan terdengar. “Nona di mana?!” Tanyanya pasti kebingungan karena Hansika pergi mengelabuinya. Hansika melirik kaca spion saat sebuah mobil berusaha mengejarnya, Nando tidak menyerah. “A-aku...” dia tidak pernah setakut ini. Suaranya gemetar. Terus terisak membuat pengawalnya makin tahu kondisi Hansika. “Rumah—“ “Saya tahu, Nona pergi ke rumah yang akan ditempati nanti bersama Pak Nando?” “Ya...” lirihnya, tapi nanti itu tidak akan pernah terjadi. Hansika hanya punya tujuan membatalkan pernikahannya segera, dan membuat Nando membayar perbuatannya. “Saya sudah dekat,” katanya. Pengawalnya satu ini benar saja mencarinya sejak tadi. “Cepat, Satya. Di-dia gila... Nando menyakitiku, dia ingin membunuhku...” Bisiknya. “Nona, jangan putuskan sambungan telepon kita sampai saya tiba menemukanmu!” ucapnya. “Y—ya. Dia mengikutiku!” lalu ia menghela napas berat, tangan lain menyentuh kepalanya yang semakin banyak mengeluarkan darah. Semakin menimbulkan sakit. “Satya, maafkan saya... seharusnya saya mendengarkan kamu.” Tidak ada respons, pengawalnya terdiam. “Saya sudah melihat mobil Nona, saya akan putar balik! Nona bisa turunkan kecepatannya? Jalanan licin, ini terlalu berbahaya untukmu!” Katanya yang memang menemukan mobil perempuan yang dijaganya. Mobil itu melesat cepat, mendahului mobil lain sana-sini. Hansika harusnya lega, tapi saat melirik ke kaca spion dan Nando terus menyamai posisi hingga berhasil menempatkan mobil sejajar, jadi kejar-kejaran lalu Nando membuka kaca mobilnya dan berteriak, "Hansika, berhenti!" Hansika turut menurunkan kaca mobilnya, lalu menoleh dan memberi tatapan benci. “Kamu akan tamat, Nando... Bodyguardku ada di sini. Kamu dan jalangmu itu akan membayar sangat mahal dari perbuatan kalian! Akan kupastikan—“ Nando memelankan mobilnya, dan ketika kejanggalan tersebut menarik pandangan Hansika ke depan. Matanya melebar karena lampu merah yang ia terobos—kebetulan jalanan itu lenggang. Sebuah peringatan dari mobilnya terdengar. Namun tabrakannya dari arah kiri mobil truk melaju cepat dan tabrakan tak ter-hindari. Kaca mobil yang pecah dan tubuhnya yang terhantam menimbulkan suara tragis, lalu Hansika memejamkan mata ketika tubuhnya ikut terpental karena tak sempat memakai sabuk pengaman saking terburu-buru menghindari pria b******n yang baru saja menyiksanya dan bahkan terlihat siap menghabisinya. Mobilnya berhenti terlempar dengan posisi terbalik, ringsek sangat parah, tubuh Hansika rasanya patah di mana-mana dan darah bukan hanya berasal dari kepala lagi, tapi kening, hidung dan mulutnya. Matanya masih terbuka dengan air mata yang mengalir, saat setengah tubuhnya yang melewati jendela mobil itu, tubuhnya tergeletak di atas aspal yang basah karena hujan terus mengguyur. Lalu sebelum kegelapan, matanya menatap sosok Nando dalam mobil yang berhenti tetapi memilih tidak keluar. Napasnya mulai tercekat, saat itu juga ia melihat langkah seseorang berlari ke arahnya. Dia berupaya menarik sisa tubuh Hansika keluar bahkan memeluknya. Hansika samar sempat melihat wajahnya, pastinya bukan Nando. Hansika merasa jika takdirnya sudah tiba diujung perjanjian hidup dengan Tuhan, napasnya makin menipis. Saat itu air matanya jatuh. Tuhan, beri aku satu keajaiban. Biar aku hidup... dan membalaskan semua ini. Ya, Hansika berharap Sang Pencipta memberinya satu keajaiban untuk hidup dan membalas rasa sakitnya, menuliskan kembali kehidupan bukan dengan pria yang telah menyakitinya. Samar-samar ia mendengar suara, dering alarm sehari-hari yang terus menyahuti... “Ka Hansika!” Seruan itu cukup kencang ditelinganya. Suara gadis bungsu di rumahnya. Disusul tangan yang menggoyangkannya, “bangun! Pangeranmu sudah bersiap, kamu masih tidur! Ampun susah banget sih dibanguninya!" "Ka Hansika Kamaniya Lais! Duh!" Keluh datang bertubi-tubi. Disusul tepukan dipipinya juga. Kelopak matanya berbulu lentik dan panjang itu terbuka, menemukan wajah cantik adiknya yang sedang menatapnya. Lalu Hansika mengerjap pelan... “Sa-luna?” ia memastikannya. Adiknya mengangguk polos, kemudian mengernyit bingung saat kakaknya bergerak bangun dan seperti syok menatap sekitar seolah memastikan keberadaannya. “Di kamarku?” “Iya, di kamarmu. Kenapa deh aneh? Ka Hansika pikir di mana?” Ia tertegun berpikir, lama hanya terdiam berpikir. Sampai Saluna mendekat dan mencubit pipinya. “Aduh, dek!” Omelnya hanya sesaat, kemudian kembali mengingat yang semua terasa nyata. Dia harusnya di rumah sakit, berada di atas ranjang rawat inap jika memang selamat dari kecelakaan itu, barulah masuk akal. Tapi, ini di rumahnya? Apa semua itu mimpi? “Aku pikir di rumah sakit...” “Hari ini kamu enggak ada jadwal praktik ya! Pikirannya rumah sakit terus.” Ledek adiknya. Lalu Saluna menyengir, “sudah bangun, itu Papi sudah ngomel bikin serumah pusing.” “Kenapa?” “Kenapa?” ulang Saluna, kakaknya semakin aneh. “Nyawa kamu belum kumpul atau amnesia sih? Hellow, hari ini tuh pertunanganmu dengan Ka Nando. Papi kayaknya masih setengah—enggak ah, bahkan enggak ada seperempat hatinya memberimu izin menikah deh. Papi lebih senang kalau kita jadi perawan tua!” Hansika biasanya tertawa dengan ucapan adiknya dalam membicarakan Papi yang makin tua, makin posesifnya menjadi. Namun, ia hanya menatap datar dengan kebingungan yang buatnya pusing. Saluna menghela napas dalam lagi, kemudian bangun. “Harusnya antusiaskan, setelah berusaha yakini Papi susah payah akhirnya direstui? Ini kamu kok kayak kesambet, bingung?” Gerutu Saluna, kemudian ia berbalik meninggalkan kakaknya dalam keheningan walau suaranya masih terdengar mengatakan Hansika bersikap berbeda. Hansika masih duduk untuk beberapa waktu, memikirkan semua yang terasa lebih nyata dari yang bahkan terjadi sekarang. “Pertunangan?” bisiknya dan kemudian ia meraih ponsel, benar saja ada pengingat kalender yang sudah ia atur. Sebelas November—My engagement day! Hansika menemukan ponselnya juga bukan series terbaru berwarna biru seperti dalam ingatannya. Lalu ia bergerak bangun dari tempat tidurnya, mengabaikan notifikasi dari Nando Ruhaan, calon tunangannya bukan calon suami yang dia ingat. Hansika sampai mondar-mandir, gelisah dengan perasaan anehnya. “Waktu terasa mundur, kembali ke setahun yang lalu? Aku dan Nando baru akan tunangan? Harusnya kami sudah akan menikah, lalu perselingkuhan, dia menyakitiku dan kecelakaan itu... semua hanya mimpi?” gumamnya yang merasa bukan hanya sekedar mimpi. Lalu Hansika merasakan seperti rasa sakit dari belakang kepalanya, tangannya terulur dan saat menyentuh, jantungnya berdebar dan ia sedikit mengaduh merasakan sakit di sana persis seperti luka dikepalanya yang ia terima karena pukulan keras dari seseorang. *** Bagian belakang kepalanya terasa sakit, sakit yang masih bisa ia tanggung. Ia mengingat, mengapa posisi sakitnya sama persis seperti yang terjadi dalam ingatannya—karena pukulan perempuan penghianat itu. Tapi, jika semua mimpi? Hansika bertanya-tanya, kenapa bisa sakit? Dia tidak merasa pernah terbentur atau jatuh. Terus memikirkan sambil berendam, hingga air yang semula hangat jadi dingin. Hansika bergegas bangun, membilas tubuhnya dan menyelesaikannya. Dia mengikat bathrobe, saat langkah memasuki walk in closet, menemukan kebaya kutu baru modern dengan potongan membentuk tubuh ideal Hansika, kerah shanghai yang memberi kesan tegas namun feminim. Bagian depan memiliki potongan asimetris pada ujung bawah. Brokat halus motif bunga dengan detail sulaman dan payet keemasan memberi kesan mewah nan berkilau lembut. Berwarna d******i nude pink. Di bagian d**a terdapat ornamen bordir berbentuk pita yang mempermanis. Ada batik tulis klasik pola tradisional Jawa, unsur floral dan fauna berwarna cokelat tua yang saat dikenakan modelnya lilit, menjuntai rapi tanpa lipatan berlebihan. Selendang dengan motif batik dan warna senada juga disiapkan. Semua ini Hansika yang pilih. Hansika masih memandangi kebayanya saat suara langkah di kamarnya terdengar, ia keluar dan menemukan tempat tidur yang sudah rapi, lalu pekerja yang mengantarkan dua orang. Make up artist dan penata rambutnya sudah datang. “Mami dan Saluna juga sedang bersiap, Non...” beritahu Mia, salah satu pengurus rumah. Hansika hanya mengangguk kecil, kemudian dia duduk depan meja riasnya, mulai membiarkan tangan-tangan ahli itu bekerja untuk membantunya tampil cantik di hari pertunangan. Saat ia duduk, sepanjang dirias wajahnya, Hansika menatap cermin. Rasanya seperti sudah melalui hari ini, dengan orang-orang yang sama. Lalu ia melirik ponselnya sambil membatin... Saat aku sedang bersiap... Nando menelepon. Lalu tubuhnya menegang saat yang ia batinkan terbukti, ponselnya berdering dan nama kontak. Nando Ruhaan dengan tanda hati. Ia menghela napas dalam, mengapa bisa tepat? Atau lebih tepatnya Hansika seperti sudah pernah mengalaminya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN