“Tidak diangkat teleponnya, Ka?” tanya salah satu pria kemayu, MUA terkenal di kalangan atas. Hansika yang memilih, sudah mengatur agendanya dari tiga bulan lalu sejak pertunangannya ditetapkan. Ya segalanya dia siapkan dengan mendekati sempurna.
Hansika tersentak, terpaksa menjawab walau rasanya lebih ingin mengabaikan. Tidak ada rasa antusias seperti sebelumnya tiap kali Nando menelepon.
“Hallo Babe, sudah bersiap?”
“Lagi,” jawabnya singkat. Lalu hatinya kembali berbisik...
Nando minta video call.
“Aku alihkan ke panggilan video, ya?”
Hansika kembali terdiam, semua pertanda itu sama persis. Jika ini baru terjadi, mengapa ia bisa menebak seolah pernah melaluinya?
“Babe, kok diam? Aku alihkan ya, mau lihat kamu" suara Nando kembali menarik atensinya dari ketegangan yang hanya bisa ia rasakan. “Aku alihkan sekarang—“
“Enggak usahlah,” tiba-tiba Hansika tidak bisa menahan diri hingga menolak dengan suara dingin.
“Maksudnya, enggak mau? Ya sudah, aku paham. Biar nanti kejutan untukku, pas kita bertemu?”
Hansika tidak tersenyum mendengar nada lembut, dan menggoda yang biasanya sudah membuat ia berdebar dan pipi merona.
“Iya,” iyakan biar segera berakhir pembicaraan mereka. Rasanya bicara dengan Nando seperti terkuras energinya, dadanya juga dipenuhi rasa sakit dan sesak bersamaan bayangan menjijikkan yang terasa nyata dimatanya teringat jelas. Nando bersama perempuan itu, bercinta di kamar yang ada di rumah mereka.
Hansika menghela napas dalam, “suara kamu rasanya ada yang beda, kamu sakit?”
“Aku baik, enggak sakit.”
“Aku ganggu ya?”
“Iya,” jawabnya begitu saja.
“Iya? Aku ganggu?” Ada nada terkejut dari Nando. Hansika pasti terdengar aneh untuk pria itu.
Hansika menggigit bibir bawahnya, matanya melirik pada MUA dan penata rambut yang terlihat biasa saja.
"Bukan, maksudnya aku kan lagi make up." Akhirnya Hansika meminta akhiri teleponnya dengan alasan persiapannya biar tidak terganggu dan cepat selesai. Nando bagusnya mengerti. Mereka tidak berlama-lama bicaranya.
Hampir dua jam Hansika duduk, setelah make up dan rambut panjang sepinggulnya di tata menyesuaikan pakaiannya. Hansika segera berpakaian, dibantu juga. Baru selesai sekali, saat kembarannya tiba-tiba muncul.
Issam Rajata Lais, biasa dipanggil Izz dalam keluarganya. Ya, Hansika terlahir kembar dengan saudara laki-laki. Keduanya juga sama-sama dokter, hanya beda minat spesialisnya dan Izz sejak beberapa tahun lalu memutuskan pindah, tinggal di Semarang bersama Eyang yang sudah makin tua. Berbeda dengan Hansika yang langsung ambil tempat di rumah sakit keluarga, Izz ini pilih rumah sakit di Semarang.
Saat wajah itu tersenyum, lebih terlihat senyum jahil khas Papi. Benar-benar mirip mereka, Hansika tahu setiap membandingkan foto muda Papi dan Izz.
Hansika berbalik, Izz memakai batik dan celana kain yang akan seragam dengan inti mereka. Beda lagi jika keluarga besar mereka. Semua itu Hansika sendiri yang tentukan, sebagai perempuan yang terkenal perfeksionis, ia menyiapkan hari ini sebaik mungkin. Rumah ini dipilih sebagai tempat pertunangan, dekorasinya juga ia yang tentukan.
“Cantik amat kembaran!” celetuknya.
Sejak tadi Hansika belum tersenyum, rasanya ia sendiri seperti masih berjalan tanpa menginjak bumi. Masih antara mimpi atau bukan, tetapi ia sulit menjelaskan yang terjadi.
Izz mendekat, lalu mengambil ponselnya “sini foto berdua, mau pamer benihnya Papi Hamish super-super...”
“Izz!” Decak Hansika, kembarannya tertawa.
“Saluna bilang kamu seperti enggak semangat dari pagi, dibangunkan juga susah. Bisa-bisa kesiangan. Kenapa?” tanyanya setelah sungguh mengambil potret bersama dengan kamera depannya.
Kepala Hansika menggeleng pelan, meski biasa berbagi cerita. Mereka dekat sebagai kembar, kali ini Hansika menahannya sebab ia pun belum bisa mencerna segalanya.
“Bahagiakan? Kamu sendiri yang meyakini aku, Papi dan seluruh keluarga... dari semua banyak pria yang coba mendapatkan hati kamu, Nando yang terbaik. Bahkan kamu menolak lamaran dari anak menteri.”
Izz mengingatkannya. Ya, semua itu benar. Dari beberapa pria yang mendekatinya langsung, atau mendekati keluarga, Hansika pada akhirnya jatuh hati pada Nando Ruhaan. Dan meyakini pilihannya juga melewati banyak proses, setelah meyakini Izz dan keluarga, Papi adalah hal terberat.
“Bahkan sampai hari ini Papi masih seperti enggak percaya kalau aku jalan berdua sama Nando.” Gumamnya. Ia menatap Izz lekat, “enggak ada apa pun, cuman semalam sulit tidur jadi kesiangan.”
Izz mengangguk saja, “ini sudah selesai? Papi minta aku panggil kamu... Sesi foto keluarga dulu katanya.”
“Selain wajah, ini juga kesamaan kamu dan Papi. Suka banget foto buat pamer!”
"Ya gimana ya, keturunan Lais-Rajata! Wajahnya aja, sikap lebay Papi jelas hal yang bagusnya tidak diturunkan padaku." Cengirnya.
"Aku aduin ke Papi, baru tahu rasa kamu, Izz!" Ancamnya hanya balik jahil saja, Hansika tidak serius.
Tawa Izz benar-benar renyah. Matanya bahkan ikut menyipit. Sebenarnya, yang dia bicarakan benar. Hansika juga bersyukur atas gen yang diturunkan dari Papi mau pun kecerdasan Mami.
Lalu Izz memegangi tangannya sepanjang jalan menuju ruang yang digunakan untuk foto, lalu saat seluruh keluarga inti mereka menatap ke arah Hansika datang... Izz berbisik begitu melihat Mami menyerahkan tisu ke Papi.
“Papi makin tua, makin lebay. Mami saja enggak nangis, dia sudah nangis.”
“Bunny-nya Papi cantik sekali!” Kata Papi yang mendekat.
Izz langsung menyingkir, “minggir dulu deh aku, mulai mual.”
“Izz! Papi dengar ya kamu ngomong apa?!" Tegur Papi melotot pada putra satu-satunya, tapi kemudian menatap sang putri, lekat. “Kamu cantik, berdandan begini mengingatkan Papi sama seseorang di masa lalu...”
“Wah Mami, lihat ini... Papi ingat mantannya!” Ledek Izz pada papinya.
Hamish menggelengkan kepala cepat, “jangan provokasi ya Izz, Papi belum selesai bicara! Yang Papi maksud tentu saja, Mami Bunyy sayangnya Papi, dunia-akhirat satu-satunya....”
“Kasihan Mami, sudah gelar akademisnya panjang, dibebani lagi sama gelar kebucinan Papi.” Sahut Saluna. Izz tertawa, kemudian duduk santai merangkul Saluna yang duduk dengan Eyang Amira dan Kaflin. Mereka sudah berusia, jadi lebih banyak duduk. Adik-adiknya itu seperti menontoni Papi yang mulai berdrama.
Hansika hanya pasrah, lalu Mami menyelamatkannya dengan instruksi “nanti tamunya keburu datang kalau kamu terus bicara, sayang... Jadi enggak fotonya?”
Papi menghela napas dalam-dalam, kemudian mulai mengatur posisi. Fotografer profesional mengarahkan kamera, serta gaya.
Hansika terdiam, sempat mengabsen satu persatu keluarganya. Mulai dari pasangan Eyang Kaflin dan Amira yang jadi panutan seluruh keluarga akan kesetiaan mereka hingga sekarang, lalu Papi-Mami dan kembarannya, serta si bungsu Megumi Saluna Lais. Ini hanya keluarga inti, sebentar lagi keluarga besar mulai berdatangan.
Dan di antara semua orang, mata Hansika tertuju pada seseorang yang melangkah memakai baju batik khusus yang berbeda dengan batik keluarga. Beberapa pengawal dan pekerja rumah juga dapat seragamnya.
Hansika harus kembali ke kamar, menunggu Nando dan keluarganya datang tapi saat itu ia pilih mencari keberadaan pria tadi. Jika yang terjadi bukan hal nyata, mengapa Satya menjadi satu-satunya yang ada antara ia dan Nando.
“Satya!” Panggil Hansika pada pria yang berdiri tegap sedang bicara dengan beberapa keamanan rumah.
Ia berbalik, tatapan mata mereka bertemu dan Hansika mengepalkan tangannya saat Satya melangkah ke arahnya. Lalu berhenti, “Ya, Nona? Kamu butuh sesuatu?”
Hansika terdiam, menatap Satya Fayez, pengawal setianya sejak dua tahun belakangan ini. Rasa muaknya karena Satya yang terlalu setia pada Papi, hingga mengawasi gerak-geriknya, menjaganya setiap waktu tanpa celah. Kini, jika ada kejadian mengerikan seperti yang rasanya nyata... Rasanya tepat Satya terus menjaganya.
“Nona...” panggil Satya lagi sambil mengernyitkan keningnya, menemukan ekspresi bingung sang Nona.
Hansika menggeleng pelan, “saya enggak butuh sesuatu, saya hanya terkejut dapati kamu datang. Saya pikir kamu ambil cuti hari ini.”
“Saya harus memastikan keamanan selama acara pertunangan Nona Hansika dan Pak Nando berlangsung.” Ucapnya.
Melihat reaksi Satya, seolah menegaskan tragedi itu tidak pernah terjadi. Hanya Hansika yang tahu.
Satya makin heran saat Hansika begitu saja berbalik, namun langkah kakinya sedikit limbung dan Satya seperti biasa sigap mendekat memegangi lengannya, “Nona baik-baik saja?”
Hansika memegangi lengan Satya, “enggak tahu, tiba-tiba pusing, Sat.”
“Saya antar kembali ke kamar.”
Hansika mengangguk, terus memegangi tangan Satya selama berjalan ditemani kembali ke kamar. Dia sempat menoleh dan menatap sisi wajah Satya, saat menarik napas dalam... wangi tubuhnya terasa persis seperti...
“Apa saya perlu memberitahu Papi?”
“Enggak usah, Sat. Saya hanya ingat, belum sarapan. Tadi langsung bersiap. Jadi kemungkinan karena ini, agak lemasnya.”
Satya menjauh saat sudah memastikan Hansika duduk, lalu matanya mencari dan menemukan nampan berisi menu sarapan Hansika yang belum di sentuh. Meski Hansika tidak memerintah, pria tinggi berbadan atletis itu mengambilkannya lalu membawa pada Hansika.
“Thank, Satya.” Ucapnya sambil mempertemukan tatapan mata mereka.
Satya mengangguk, "saya akan kembali ke bawah."
Ketika Satya akan berbalik, Hansika kuat berkeinginan menahannya, "tunggu Satya,"
"Nona butuh hal lainnya? Biar saya ambilkan."
Hansika memberi anggukan, rasanya ia jadi lebih waspada karena itu menyampaikan, "bisakah kamu tetap di sini? Temani saya dulu, sampai salah satu keluarga saya bisa menemani bergantian."