Bertemu Kamu Lagi

965 Kata
“Oh, kamu wanita yang waktu itu? Kita bertemu lagi!” Jantung Gwen serasa berhenti berdetak untuk sepersekian detik, kepalanya pening, ia kembali bertemu dengan pria yang diciumnya kemarin! Gwen langsung menegakkan tubuhnya, melepaskan diri dari pria itu, dan berdeham untuk menghalau rasa paniknya karena mereka bertemu kembali. “Gausah sok kenal, aku nggak kenal sama kamu.” Ucap Gwen dengan ketus, namun sambil menatap kearah lain—tidak menatap kearah Xavier. Ya, pria yang diciumnya kemarin adalah Xavier. Di malam hari Gwen bercinta dengan Sean, sedangkan di pagi harinya ia mencium Xavier karena ulah berengsek pria itu yang tidak mau memberitahu jalan keluar dari vila Sean jika Gwen tidak menciumnya. Lagipula Xavier minta dicium bukan tanpa alasan—selain karena Gwen sangat cantik dan memukau, Xavier menganggap Gwen adalah salah satu wanita yang dibawa oleh Vino dan Shandy untuk pesta bujang Sean malam itu. “Permisi,” Gwen hendak langsung melangkah pergi, namun dengan lancang Xavier menahan kedua bahu Gwen dan menunduk menatapnya. Gwen langsung memundurkan kepalanya, menatap Xavier dengan sangsi. “A-apa yang mau kamu lakukan?!” “Menciummu lagi, mungkin?” goda Xavier dengan senyum miringnya yang membuatnya semakin tampan. Gwen langsung mendorong Xavier kuat-kuat. “Pergilah, kamu hanya menganggu pekerjaanku saja!” “Bagaimana aku mau pergi kalau aku adalah groomsmen sahabatku.” Jawab Xavier yang membuat Gwen terkejut dan menatapnya kembali. Gwen menatap Xavier dari ujung kepala hingga ujung kaki. Pria dihadapannya ini bukan lagi pria yang tidak memakai baju dan menampilkan tubuh sixpack-nya seperti di vila kemarin. Tapi pria dihadapannya ini tampil begitu tampan dan menawan dengan tuxedo yang rapi berwarna hitam. “Penampilanmu beda dengan yang kemarin,” celetuk Xavier ketika memperhatikan Gwen yang memakai setelan celana bahan berwarna hitam, kemeja putih dan jas berwarna hitam serta nametag bertuliskan Gwen-crew.“Kamu bekerja di wedding organizer ini, Gwen?” Gwen mengangguk kikuk, ia tahu pria dihadapannya ini barusaja membaca nametag-nya. “Aku sebagai event coordinator di wedding organizer ini dan sekarang aku harus bekerja, memberitahu calon pengantin pria jika ia harus ke altar tiga puluh menit lagi.” Ketika Gwen hendak kembali melangkah, Xavier kembali menghentikan langkahnya. Membuat Gwen murka. “Apalagi sekarang?!” “Kamu sudah tahu siapa mempelai prianya?” tanya Xavier. Karena Xavier merasa aneh dan memikirkan bagaimana perasaan Gwen semisal belum tahu jika pria yang tidur dengannya kemarin malam akan menikah pagi ini. Xavier tahu bahwa Gwen adalah wanita yang ditiduri oleh Sean karena kemarin Gwen langsung turun dari lift yang hanya memiliki akses ke kamar Sean. “Aku sudah tahu.” Jawab Gwen tidak lengkap. Karena Gwen hanya tahu namanya, dia belum tahu fotonya karena pernikahan ini diatur sangat private oleh keluarga Sean Mahardika. “Baiklah kalau begitu, silahkan ke kamarnya. Kamu tidak akan terkejut kalau melihat dia.” Ucap Xavier. Dasar aneh. Batin Gwen sambil meninggalkan Xavier begitu saja. Gwen berhenti di depan sebuah pintu suite megah, menarik napas dalam, lalu menekan bel. Pintu terbuka, memperlihatkan salah satu staff pribadi Sean. Begitu melihat Gwen dengan setelan kerja rapi dan name tag event coordinator di dadanya, staff itu langsung mempersilakan masuk tanpa ragu. “Silakan, Kak Gwen. Fotografer masih bekerja di dalam.” Gwen melangkah masuk. Kamar itu luas dengan dinding kaca penuh yang terbuka menghadap ke hamparan hutan tropis Bali. Pepohonan menjulang, dedaunan berlapis-lapis menciptakan nuansa hijau pekat yang menenangkan. Cahaya matahari pagi menembus sela dedaunan, jatuh ke lantai kayu dan karpet krem, memantulkan suasana alami nan mewah. Seolah kamar ini benar-benar terapung di atas rimba, persis seperti konsep rimba yang menjadi ikon hotel ini. Beberapa fotografer sibuk mengatur angle, kilatan kamera sesekali menyala. Di tengah ruangan, seorang pria berdiri tegap, mengenakan tuxedo hitam yang membalut tubuh atletisnya dengan sempurna. Rambutnya disisir rapi, siluetnya dipertegas oleh cahaya pagi yang jatuh dari jendela besar di hadapannya. Ia berpose dengan tenang, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku, wajahnya menghadap ke luar jendela, seolah sedang merenungi lautan hijau tak berujung di luar sana. Gwen berhenti di dekat pintu, diam. Ia menunduk sebentar pada fotografer yang sibuk, lalu memilih menunggu. Matanya—mau tidak mau—tertarik ke sosok pria itu. Ada sesuatu tentang punggung bidangnya, tentang cara berdirinya yang dingin namun berwibawa. Entah kenapa, hatinya bergetar aneh. Kenapa aku merasa… seperti pernah melihat siluet itu? Ia menahan napas, lalu buru-buru menunduk pada clipboard di tangannya, berusaha fokus. “Okay, Sean, good. Hold that pose. Perfect lighting,” suara fotografer memecah sunyi, memberi arahan. Gwen sempat terpaku. Sean? Nama itu menyeruak dalam pikirannya, tapi ia menepis. Terlalu banyak pria bernama Sean di dunia ini. Sesi foto berlanjut. Beberapa menit terasa panjang, Gwen menunggu dengan sabar di sudut ruangan, meski dadanya berdetak lebih cepat tanpa alasan jelas. Hingga akhirnya fotografer berkata, “Alright, now turn around, look at us. Give me a smile.” Pria itu berbalik perlahan. Dan dunia Gwen runtuh seketika. Matanya membesar, clipboard di tangannya hampir terlepas. Itu bukan sekadar pria asing. Itu—Sean. Pria yang tiga malam lalu menyelamatkannya dari ombak, pria yang memeluknya di bawah ledakan kembang api, pria yang… ia izinkan masuk ke dalam hidupnya untuk satu malam penuh hasrat. Sean tersenyum ke arah kamera, sebuah senyum dingin yang dipoles untuk foto. Tapi saat matanya beralih dan menangkap sosok Gwen berdiri di sudut ruangan—senyum itu pudar. Wajahnya menegang, matanya melebar, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Gwen terpaku. Jantungnya menghantam d**a. Nafasnya tercekat. Semua suara—klik kamera, instruksi fotografer, bahkan suara alam di luar jendela—lenyap. Hanya ada tatapan Sean yang kini menancap padanya, tatapan yang penuh keterkejutan, kebingungan, dan sesuatu yang tak bisa mereka sebutkan. Senyum di wajah Gwen hilang seketika. Senyum di wajah Sean pun hilang bersamaan. Dan dalam sekejap, ruangan itu berubah hening. Mereka berdua tahu—takdir telah mempermainkan mereka dengan cara paling kejam. --- Follow me on IG: segalakenangann
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN