Pertemuan Pertama
Music dari seorang DJ yang berdentum keras di villa milik Sean memeriahkan suasana pesta bujangnya malam itu. Sean Mahardika—seorang CEO Luxury Brand berusia 27 tahun yang memimpin brand perhiasan dan fashion mewah di Asia Tenggara ini akan menikah tiga hari lagi dan keempat sahabatnya mengadakan pesta bujang di villa miliknya sebagai pelepasan masa lajangnya.
Vino, Xavier, dan Shandy merupakan sahabatnya dari kecil. Jelas mereka juga bersahabat karena sama-sama dari lingkungan keluarga yang berada dan bertemu di taman kanak-kanak yang sama. Ajaibnya, persahabatan mereka bisa langgeng hingga sekarang.
Sean yang dingin dan lebih banyak diam tentu saja sebetulnya tidak nyaman dengan pesta seperti ini—hanya mereka berempat yang laki-laki dan ada sepuluh wanita bertubuh seksi dengan pakaian terbuka menari-nari dan memuaskan mereka dalam berpesta. Bahkan Vino kini sedang memangku seorang wanita Rusia yang hanya memakai bikini dan Shandy sedang b******u dengan seorang wanita dengan mata sipit dan kulit putih dipinggir kolam renang.
Suara dentuman Electronic Dance Music ini benar-benar kurang cocok untuk Sean dan wanita-wanita yang diundang oleh teman-temannya ini bukan selera Sean. Kalau bisa memilih, Sean lebih suka duduk di pinggir pantai sendirian dan memikirkan bagaimana caranya ia bisa membatalkan pernikahannya besok.
Iya, membatalkan pernikahan karena perjodohan orangtuanya. Jelas Sean tidak menyukai hal itu. Tapi ini semua demi bisnis. “Wanna drink?” Xavier menghampiri Sean yang sedang berada di balkon kaca villa-nya, menatap air laut yang menghantam tebing karang dibawah villa milknya.
Sean menatap sahabatnya itu sejenak, lalu mengambil minuman beralkhol yang dibawakan oleh Xavier. Tapi ia tidak mengucapkan terima kasih dan tidak mengucapkan apapun, mereka berdua hanya diam menatap deburan ombak yang kurang dapat dilihat malam ini. Sebetulnya sifat Sean dan Xavier hampir mirip, sama-sama menyukai ketenangan dan tidak gila wanita seperti Vino dan Shandy.
“Bunuh diri tiga hari sebelum pernikahanmu bukanlah hal yang baik, man.” Celetuk Xavier, seolah tahu apa yang ada dipikiran Sean.
Sean berdecak sambil meliriknya kesal. “Setidak-sukanya gue sama Nadine, gue tetap nggak akan sebodoh itu untuk bunuh diri.”
Xavier terbahak, “Sean, diantara kita bertiga, kayaknya cuma lo yang nggak tertarik sama Nadine Park.”
“Ya kenapa bukan salah satu dari kalian aja yang nikah sama dia? Kenapa mesti gue?”
Xavier mengedikkan bahunya, “lucky you, orangtua kalian sepakat untuk menjadi besan dan mengadakan perjodohan ini. Harusnya lo seneng, man.”
“Gue lebih seneng sendiri daripada harus nikah sama Nadine.” Jawab Sean. “Background Nadine terlalu sama kaya gue. Sama-sama CEO Luxury Brand, kita sama-sama sibuk. Menikahi orang yang terlalu mirip denganmu itu… membosankan.”
Xavier terdiam sejenak, “ya maka dari itu orangtua kalian menikahkan kalian. Agar bisa bekerja bersama dan membangun kerajaan bisnis luxury brand internasional.”
“Yap, pernikahan bisnis.” Jawab Sean. “Orangtua gue nggak memikirkan kebahagiaan anaknya. Dari dulu.”
“God Speed,” Xavier merangkul Sean dan menepuk pundaknya. “Gue tetap ada dibelakang lo apapun yang terjadi.”
Sebelum Sean menjawab ucapan Xavier, tiba-tiba saja Vino memanggilnya dengan microphone. “Yow!!! Sean my best friend will be a groom, bro! congratulation, Sean! Ayo kita puas-puasin malam ini dan mabuk sampai puas! Bahkan lo bisa pilih cewe manapun to spend your hottest night before the wedding bro!”
“Oh, God.” Sean menghela napas dan mengusap wajahnya, lalu melirik Xavier. “Sebaiknya gue pergi dari sini.”
Xavier hanya tersenyum geli sambil membuka tangannya, mengarahkan ke pintu keluar, mempersilahkan Xavier untuk keluar dari balkon dan area kolam renang untuk party ini. Xavier tahu, Sean butuh ketenangan.
***
Sean menuruni jalan setapak villa yang langsung terhubung ke private beach miliknya. Sepi. Hanya suara ombak yang menggulung dan bulan purnama yang menggantung terang di langit. Angin laut menerpa wajahnya, membuat pikirannya sedikit lebih ringan daripada dentuman musik pesta yang ia tinggalkan.
Di sini jauh lebih tenang, jauh dari dentuman musik dan teriakan mabuk teman-temannya. Ia berjalan tanpa alas kaki, membiarkan pasir dingin menyentuh kulitnya. Ia berjalan tanpa tujuan, sekadar untuk menenangkan diri. Sean barusaja menghirup dalam-dalam aroma laut dan pasir pantai yang menyatu dan baru hendak duduk diatas pasir pantai, hingga matanya samar-samar mengangkap sosok perempuan berdiri sendirian di bibir ombak. Rambutnya panjang, tergerai acak karena angin, dari belakang terlihat bentuk tubuh ramping bak gitar spanyol dari wanita itu.
Gaun tipis yang dipakai wanita itu berkibar diterpa angin, dan tangannya menggenggam sesuatu yang berkilai diterpa cahaya bulan. Wanita itu seperti menggenggam sebuah liontin, menatapinya lama seakan menyimpan seribu cerita. Awalnya Sean sedikit takut jikalau wanita itu adalah hantu—karena ini adalah private beach miliknya.
Namun Sean ingat kalau beberapa kilometer ke kanan adalah sebuah pantai umum yang bisa diakses warga. Mungkin saja wanita ini tidak tahu jika tempat yang dipijakinya ini adalah private beach Sean. Sean tentu saat ini tidak memusingkan hal tersebut karena dirinya juga sedang lelah dan tidak mood untuk mengobrol dengan orang lain.
Sean memutuskan untuk duduk dipasir pantai sambil menatap wanita itu dari belakang, “apa coba yang dia lakukan malam-malam begini di bibir pantai, depresi, kah?”
Dan tak lama kemudian, tepat didepan matanya, wanita itu melemparkan liontinnya jauh ke laut. Sean berkerut kening. Apa yang dia lakukan?
Namun beberapa detik kemudian, wanita itu justru berlari ke dalam ombak yang sedang tinggi, seperti panik, dan berusaha meraih liontinnya kembali.
“Dia benar-benar gila.” Sean langsung berdiri dari duduknya.
Perempuan itu semakin masuk ke dalam air, melawan ombak yang tinggi. Dari kejauhan Sean akhirnya berteriak, “Hey! Berhenti! jangan semakin masuk ke—”
Belum sempat Sean menyelesaikan kalimatnya, ombak datang lebih tinggi menggelung tubuhnya. Wanita itu menjerit singkat, tubuhnya terseret deras, dan dalam sekejap hilang ke dalam air yang gelap. Sean tidak berpikir dua kali, pada akhirnya ia berlari, melepas kemeja putihnya, lalu menceburkan diri mencari wanita itu.
Air asin menusuk matanya, dinginnya air laut pada malam itu merambat ke kulit. Sean berusaha berenang secepat mungkin, berusaha menemukan sosok yang tadi ia lihat. Diantara gulungan ombakk, Sean melihat tangan yang menggapai-gapai, Sean menyelam, meraih pergelangan tangan wanita tu, lalu memeluk tubuhnya, menariknya kuat-kuat ke permukaan.
“Tenang! Aku pegang kamu!” Serunya, meski suaranya hampir tenggelam oleh ombak.
Dengan sekuat tenaga, ia berenang menuju tepi. Mereka pada akhirnya terhempas ke pasir yang basah, Sean langsung melepaskan tubuh wanita itu dan tubuh mereka berdua sama-sama terkapar di pasir pantai. Perempuan itu terbatuk keras, tubuhnya menggigil, rambutnya menempel di wajahnya yang pucat.
Sean ikut terengah, paru-parunya serasa terbakar oleh sisa air laut. Malam yang Sean kira akan tenang di private beach miliknya malah hampir merenggut nyawanya karena menyelamatkan wanita gila yang kini masih terbatuk-batuk dan sesak napas disampingnya.
“Gila kamu! Mau mati bunuh diri, hah?!” Sean berseru dengan nada marah—tapi matanya memantau khawatir.
Wanita itu menggeleng lemah, suaranya serak. “Bukan… aku hanya… aku membuang liontin itu… satu-satunya peninggalan dari orang yang pernah aku cinta. Aku bodoh… aku buang, dan sekarang aku menyesal…” air matanya mulai menetes, menyatu dengan sisa air laut yang menetes dari rambutnya membasahi wajah cantiknya.
Iya, cantik. Bahkan dengan tampilan berantakan begini, Sean bisa menganggap wanita bodoh disampingnya ini cantik. Mereka bahkan hampir mati bersama bak Romeo dan Juliet.
Sean terdiam, napasnya masih memburu. Bulan purnama menyinari wajah wanita itu, membuatnya tampak rapuh, seperti ada luka dalam di sana, luka yang tidak bisa disembunyikan oleh siapapun.
“Kalau sesuatu sudah kamu buang ke laut, biarkan saja tenggelam. Jangan kamu kejar lagi. Tidak sebanding dengan nyawamu.”
Perempuan itu terisak kecil, menunduk. Ada jeda panjang, hanya suara ombak yang menemani. Lalu akhirnya ia berbisik, “maafkan aku.”
Sean perlahan menghela napas, mulai duduk tegap, ia lalu meraih wanita itu agar kembali duduk dan perlahan mereka saling bersitatap. Sean memandanganya lama, lalu mengulurkan tangannya, dan merendahkan suara.
“Sean.”
Wanita itu menoleh, menatap Sean lama. Ada hening singkat yang seolah membuat suara deburan ombak pun lenyap.
“…Gwen,” katanya lirih. “Namaku Gwen.”
Nama itu terucap di udara malam, tapi di antara debur ombak dan sinar bulan purnama, ada sesuatu yang bergetar di d**a mereka, seakan mengikat mereka dalam rahasia kecil yang tak akan seorang pun tahu nantinya.
~Love, My Mistress~
---
Follow me on IG: segalakenangann