Bab. 17

1411 Kata
Jingga kembali mengeja satu per satu kalimat yang tertulis dalam secarik kertas itu, dan tak peduli sebanyak apa pun dia membacanya, isinya tetaplah sama. Dalam nota pembayaran itu tertera sebuah cincin bertahtakan berlian seharga seratus tujuh puluh tujuh juta. 'Ya Allah, untuk siapa Mas Atha membeli cincin ini jika bukan untuk Ibu ataupun aku? Maafkan jika hambamu ini keliru, tapi mengapa perasaanku menjadi tidak enak begini? Astaghfirullah.' Jingga meremas kertas itu, dadanya bergemuruh hebat dan sekujur tubuhnya terasa lemah. Ia menumpahkan tangisnya menelungkupkan wajah di antara lipatan kedua tangannya di meja. Sekeras apa pun Jingga mencoba untuk bersabar, mencoba untuk selalu berpikir positif terhadap suaminya, tapi kelakuan Atha selalu bisa mematahkan kepercayaannya pada pria itu. Jingga tak bisa tinggal diam, dia harus mencari tahu apa yang sebenarnya suaminya lakukan di luaran sana. Jingga tak bisa lagi sepenuhnya percaya pada Atha setelah banyak keganjilan dia temukan. "Ya Allah, Non Jingga. Kenapa nang ...," Surti reflek membungkam mulutnya saat Jingga mengkode wanita itu untuk diam. Bukan tanpa alasan Jingga melakukan itu. Nania sedang berjemur di taman belakang, dan posisinya cukup dekat dengan ruangan khusus untuk mencuci itu. "Non Jingga kenapa nangis?" Surti berbisik begitu jaraknya dan Jingga telah sangat dekat. "Bi ...," Jingga tak kuasa melanjutkan ucapannya. Semuanya bersiap untuk dia utarakan akan tetapi tenggorokannya tercekat. Pada akhirnya Jingga menangis tak tertahankan di bahu Surti. Ia sampai tak tahu harus bagaimana menceritakannya karena hatinya sangat perih. Surti menepuk-nepuk pelan punggung Jingga, membiarkan gadis muda itu menuntaskan kesedihannya. Surti memang tak tahu apa yang membuat Jingga menangis terlihat begitu menyedihkan, tapi yang jelas dilihat dari cara menangisnya saja sudah cukup membuat Surti mengerti. Wajah yang biasanya terlihat teduh dan kuat di waktu bersamaan, kini terlihat mendung. Sosok yang biasanya ceria dan tegar, kini tampak amat rapuh. Jingga terus menangis tergugu hingga kerongkongannya terasa kering. "Minum dulu Non. Tarik napas panjang, istighfar." Begitu pelukannya terlepas, Surti mengambil segelas air dan memberikannya pada Jingga. "Terima kasih Bi." Meski masih tersengal tapi Jingga sudah lebih bisa menguasai dirinya. "Maaf ya Bi, Jingga nggak bisa cerita apa yang sudah bikin Jingga nangis." "Nggak apa-apa, Bibi sudah tahu. Bibi cuma mau pesan, apa pun yang terjadi Bibi akan selalu ada buat Non Jingga. Bibi tahu apa yang dialami Non Jingga pasti sangat berat dan Non Jingga nggak bisa cerita sama ibu karena nggak mau beliau kepikiran, bukan? Non Jingga bisa panggil Bibi kalau Non Jingga butuh bantuan, apa pun itu, Bibi siap membantu Insya Allah akan Bibi bantu sebisa mungkin." Jingga mengangguk haru, mereka kembali berpelukan sebentar. "Tolong jangan beritahu ini pada ibu ya Bi? Aku cuma nggak mau kesehatan ibu menjadi terganggu." "Non Jingga tenang saja. Insya Allah Bibi orangnya amanah." "Jingga." Jingga terhenyak mendengar Nania memanggilnya. "Bibi nggak akan bilang sama ibu. Sebaiknya sekarang Non Jingga cuci muka dulu biar Bibi yang temani ibu." Surti tersenyum pada Jingga. "Terima kasih Bi." "Sama-sama Non." Jingga berlari kecil ke kamar mandi dan membersihkan diri, berharap dengan membasuh wajahnya juga sanggup merontokkan semua keresahan dan rasa sakit hatinya, lenyap terbawa aliran air. *** Hana dan Zidan yang sedang menikmati sarapannya di meja kerja mereka terperangah saat melihat kedatangan Mayang. "Biasa saja kali lihatinnya, gitu amat. Kayak lihat hantu saja," Seloroh Mayang sambil mencomot sepotong roti lapis daging dari kotak makan Hana. "Bukannya kamu sudah mengundurkan diri? Kamu bilang mau ternak domba saja di kampung bantuin bibi kamu." Hana dan Zidan saling berpandangan. "Tadinya, tapi setelah aku pikir-pikir sayang juga kalau aku harus melepas semuanya. Pekerjaan enak, gajiku gede, apartemen bagus. Sayang kan kalau aku kabur ke kampung, jadi mending jalani saja." Mayang memgambil selembar tisu basah untuk menyeka bibirnya. "Terima kasih. Aku mau lanjut kerja dulu sebelum kena marah kayak Sofia." Wanita cantik itu melenggang menuju meja kerjanya. "Anak-anak pasti nyesel sudah kasih kamu kenang-kenangan May. Mana mahal lagi, malah nggak jadi resign," Cibir Hana. "Nggak masalah. Nanti aku traktir kalian semua di tempat biasa, hitung-hitung sebagai sambutan karena aku balik kerja lagi di kantor ini, juga karena aku baru saja pindahan." Terdengar Hana dan Zidan bersorak kegirangan. Mayang menggelengkan kepalanya, lalu memasuki ruangan kerja Atha. "Lho, kamu sudah datang Mas? Aku kira ...," "Ssstt!" Atha menempelkan jari telunjuknya di bibir merah merona wanita itu. "Ini di kantor, saya harap kamu bisa bersikap profesional. Mengerti? Dan jangan seperti ini." Mayang mencebikkan bibirnya, kesal karena Atha telah mendorong tubuhnya menjauh. "Bacakan jadwal saya hari ini!" Titah Atha. Mayang terlihat sangat marah. Ia mengambil macbook-nya dan mulai membacakan agenda Atha sepanjang hari ini. "Masih pagi, jangan marah-marah nanti sampai sore suasana hati kamu jadi nggak baik." "Kamu yang bikin aku marah." Mayang mengerucutkan bibirnya seraya melipat kedua tangannya di depan d**a. "Mayang," Desis Atha sebal. "Iya, iya." "Jangan campur adukkan urusan pribadi dengan pekerjaan, oke?" Mayang mengalah. Ia pun mulai bekerja dan berusaha menyelesaikan semuanya dengan sebaik mungkin. Sesekali dia melirik ke jendela kaca yang membuatnya bisa mengamati Atha dengan leluasa. Rasanya waktu begitu lambat bergulir, wanita itu tak bisa berkonsentrasi dan pikirannya terus tertuju pada Atha. Jam makan siang pun tiba. Mayang meninggalkan mejanya dengan girang dan memasuki ruangan Atha. Atha yang sedang fokus dengan komputer lipatnya itu dibuat terkejut saat tiba-tiba Mayang duduk di pangkuannya. "Kalau sekarang sudah boleh begini kan Mas? Kan sudah jam istirahat." Atha menghela napas panjang. "Kamu sudah pesan makanan?" "Sudah. Buat kita berdua." Mayang menyingkirkan laptop itu dari hadapan Atha, memeluk tubuh pria itu dengan erat. "Terima kasih banyak Mas atas semua yang sudah kamu lakukan buat aku." Mayang berbisik sebelum ia menangkup rahang Atha dan menempelkan bibirnya. Atha dengan cepat menepis tangan Mayang. "Jangan seperti ini." "Oh, ayolah Mas. Kamu kaku banget sih jadi orang. Kampungan tahu nggak sih." "Ini di kantor, Mayang." Atha menyahut. "Jadi kalau di rumah boleh?" Wanita itu mengerling menggoda. Atha menyuruh Mayang menyingkir dari pangkuannya, lalu berjalan ke arah sofa karena kebetulan seseorang datang mengantar makanan mereka. "Mas, kamu belum jawab pertanyaanku." Mayang merengek manja sambil bergelayut di bahu Atha. "Pertanyaan yang mana. Sudah waktunya makan." "Aku nggak suka kamu mengalihkan pembicaraan. Nanti malam pulang sama aku ya?" "Nggak bisa. Saya sudah lama nggak sempat makan malam dan ngobrol sama ibu," Tolak Atha. "Sama ibu apa sama Jingga?" Tanya Mayang, sinis. "May, jangan mulai ya! Jangan bikin saya marah." "Cuma ngomong begitu doang marah." Mayang menunduk terlihat sangat sedih, membuat Atha luluh. "Masih banyak waktu May, tolong ngertiin saya. Saya bisa pulang kapan pun saya mau, oke? Sekarang sudah waktunya makan, kamu juga harus makan biar nggak sakit lagi." "Suapin." Kembali merengek dengan manja, mengguncang lengan Atha. Atha menghela napas dan tak henti beristighfar dalam hati. *** Matahari mulai turun, udara jauh lebih sejuk dibandingkan beberapa jam yang lalu. Setelah memastikan Nania tertidur lelap sore itu, Jingga memutuskan untuk menyiram bunga di taman. Padahal Jingga merasa baru saja menanam bibit bunga-bunga cantik yang dia taruh dalam pot itu, tapi bunga-bunga itu sudah tumbuh besar dengan kuncup yang bersiap mekar. "Permisi." Jingga menoleh ke arah sumber suara, di depan pagar berdiri seorang pria bertopi dengan jaket khas. "Sebentar Pak." Jingga mematikan kran air dan meletakkan selang panjang itu di tanah. "Ya Pak? Cari siapa?" Jingga membuka kunci pintu gerbang. "Apa betul ini rumahnya Pak Athaya Rajendra Permana?" "Iya betul, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" "Oh, syukurlah kalau begitu. Hm, saya disuruh mengantar ini." Pria itu mengeluarkan sesuatu yang dia simpan di balik jaketnya. "Mohon maaf kalau boleh tahu, ibu ini siapanya ya?" "Saya istrinya, Pak." "Oh, baik. Kalau begitu tanda tangan di sini, Ibu." Jingga meraih pulpen yang diberikan dan membubuhkan tanda tangannya di secarik kertas. "Kalau begitu saya permisi dulu, Bu. Terima kasih." "Sama-sama Pak." Jingga kembali mengayunkan langkahnya masuk ke dalam rumah sambil memeriksa bungkusan paket itu dengan seksama. Terdorong rasa penasaran Jingga pun memutuskan untuk membukanya yang ternyata di dalamnya berisi sebuah ampol besar berwarna cokelat yang cukup tebal. Dengan tanpa menaruh curiga sedikit pun, Jingga membuka amplop tersebut. Jingga menarik napas dalam usai membaca lembar kertas dalam amplop tersebut. Sepertinya masih ada banyak kejutan yang akan Jingga dapatkan setelah ini. Selain nota pembelian cincin, lalu ini, dan setelahnya apa lagi? Jingga tak sanggup membayangkan kengerian di benaknya itu menjadi kenyataan. 'Astaghfirullah. Mohon ampuni segala dosa hamba baik yang sengaja maupun yang tidak disengaja yang pernah hamba lakukan selama ini ya Allah. Jangan menghukummu seperti ini, hamba mohon.' Jingga membiarkan air matanya mengalir begitu saja, mencoba kuat akan tetapi nyatanya dia kalah. Jingga juga hanya wanita biasa. Tak sanggup rasanya terus diam sementara hatinya digerogoti rasa perih yang kian menjalar, pelan tapi pasti, terasa begitu menyiksa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN