Bab. 18

2012 Kata
Langit telah menggelap sejak beberapa jam yang lalu, desau angin kencang menerbangkan dedaunan yang menguning. Bau tanah basah menghampiri indra penciuman saat rintik hujan terus mengguyur bumi dengan derasnya. Berulang kali Jingga menarik napas panjang, ia sedang menantikan suaminya selesai mandi sepulang pria itu dari kantor lima belas menit yang lalu. Jingga berdiri dengan gelisah mencoba meredam perang batin yang dirasakannya saat ini. Benaknya menuntut jawaban atas penemuan surat kepemilikan satu unit apartemen mewah yang tadi sore dia terima dari kurir pengantar paket, juga tentang pemilik cincin berlian seharga ratusan juta. Akan tetapi kata hatinya memintanya untuk bersabar dan mengumpulkan lebih banyak bukti lagi sebelum dia menangkap basah perbuatan suaminya di luaran sana. Bukan perkara nominalnya, tapi lebih kepada sikap kepada tidak terbuka Atha padanya. Daun pintu terbuka, Atha keluar dengan masih mengenakan jubah mandi, handuk kecil yang tersampir di lehernya ia gunakan untuk mengeringkan rambut. "Ada apa? Mukamu kelihatan serius banget?" Atha menghentikan langkahnya hingga ia dan Jingga saling berhadapan. "Ehm, ada yang ingin aku tanyakan." Jingga berdehem menetralkan gejolak dalam hatinya. Suaranya sedikit bergetar. Kedua alis tebal Atha saling bertautan melihat reaksi Jingga. Istrinya menjadi banyak bertanya akhi-akhir ini, padahal dia tahu betul Jingga bukan tipikal orang yang banyak bicara. "Soal apa? Setiap ada yang ingin kamu tahu, langsung tanyakan saja nggak perlu minta izin dulu." Atha berkata lembut pada istrinya, sayangnya Jingga sama sekali tak terpengaruh. "Enggak jadi. Aku mau turun buat cek ibu sudah minum obat atau belum." Jingga memilih mengikuti kata hatinya, akan ia kumpulkan bukti sebanyak mungkin sebelum dia menangkap basah suaminya. "Ada apa?" Langkah Jingga tertahan saat Atha berhasil menahan tangannya. "Enggak apa-apa, serius. Tadinya aku mau menanyakan sesuatu padamu tapi aku rasa itu hanya hal sepele," Dalih Jingga. Atha dibuat melongo saat Jingga menyingkirkan tangannya dari tubuh wanita itu. Meski tak mengatakan apa-apa tapi dari sorot matanya Atha tahu kalau istrinya menyimpan begitu banyak kekecewaan padanya. "Maaf Ngga. Aku tahu dosaku padamu begitu besar, tapi aku nggak punya pilihan. Aku nggak bisa berbuat apa-apa Jingga," Monolognya penuh penyesalan. Atha merebah di kasur, menatap langit-langit kamar. Angannya kembali melayang pada masa saat ia memutuskan untuk pergi ke luar kota beberapa hari lalu, kemudian hal itulah yang telah mengubah hidupnya. Ia bukan lagi Atha yang dulu. Atha menyesal. Bukan lantaran ia tak memikirkan dengan matang sebelum mengambil keputusan, Atha justru telah memikirkan semuanya termasuk resiko dan konsekuensi atas perbuatannya di kemudian hari. Lelaki itu seolah sedang menggali lubang kuburnya sendiri. Membuat masalah dan tinggal menanti waktu saja sampai bom waktu itu meledak dengan sendirinya. Bagaimana dia dengan bodohnya membuat perangkap yang menjebaknya dalam permainan yang telah dibuat sendiri olehnya. Usai memastikan ibu mertuanya meminum obat dan tertidur lelap, Jingga tak langsung melangkahkan kakinya menuju kamar. Wanita itu justru keluar menuju taman belakang di samping dapur. Jingga memilih menghabiskan waktunya dengan duduk di kursi taman. "Keputusan yang kuambil sudah tepat, aku nggak mau sampai salah langkah. Aku harus mendapatkan bukti-bukti yang kuat dulu untuk mengungkap kelakuan Mas Atha yang sebenarnya di luaran sana. Aku harus segera bertindak sebelum semuanya menjadi semakin rumit." Jingga membulatkan tekad dan menguatkan hati. Wanita itu bahkan telah mempersiapkan hati untuk kemungkinan terburuk jika apa yang selama ini ada di pikirannya tentang Atha terbukti benar adanya. "Bagaimana dengan ibu? Apa yang akan terjadi padanya kalau sampai ibu mengetahui anaknya nggak sebaik yang selama ini ibu bayangkan?" Jingga meremas gamisnya sebelum memutuskan untuk bangun dari sana dan kembali mengadu pada Sang Pencipta. Hidup di rumah itu, semakin hari bukan ketenangan yang Jingga dapatkan akan tetapi kejutan demi kejutan yang membuatnya syok. Jingga yang berniat tulus untuk beribadah dan mengumpulkan pahala sebanyak mungkin dari pernikahannya dengan Atha, tapi justru perasaan was-was dan kegetiran yang dia dapatkan. *** Surti membantu Jingga menyiapkan kotak bekal makan siang. Hari ini Jingga berencana untuk mengirimkan makan siang untuk suaminya di kantor. Sejak pagi dia sibuk menyiapkan menu masakan kesukaan Atha, dan wanita itu bersyukur karena kegiatannya selesai sebelum jam sebelas siang. "Ibu senang banget lihat kamu semangat begini, Ngga? Coba saja tiap hari begini, Ibu yakin lama-lama anak kepala batu itu akan tunduk padamu." Senyuman tak lepas dari wajah Nania saat wanita tua itu melihat menantunya sibuk menyiapkan makan siang untuk Atha. "Iya Bu, semoga saja." Jingga menarik resleting tas kotak makan. "Terima kasih ya Bi sudah bantu aku masak. Titip ibu," Ucapnya pada Surti. "Siap Non. Insya Allah bibi akan jaga ibu dengan sebaik mungkin." Jingga mencium punggung tangan Nania dan Surti, mengucap salam dan gegas masuk ke dalam taksi online yang sudah menanti di depan gerbang. Senyuman yang tadi terus terpatri di wajah Jingga perlahan memudar, raut wajahnya terlihat serius bercampur cemas. Sebenarnya bukan tanpa alasan ia memutuskan untuk mengunjungi suaminya, karena alasan mengantar makan siang untuk Atha hanyalah jalan untuk mencapai tujuannya saja. Taksi yang membawa Jingga berhenti tepat di lobi kantor Atha. Jingga turun usai membayar ongkos, kemudian melangkahkan kakinya mantap menapaki lantai bangunan tersebut. Dalam hatinya tak henti wanita itu memanjatkan doa. "Assalamu'alaikum Mbak." Jingga menyapa resepsionis yang sedang bertugas. Seorang perempuan muda dengan setelan rapi dan rambut disanggul menyambutnya dengan ramah. "Wa'alaikumussalam, selamat siang Ibu." "Siang. Pak Athanya ada? Boleh saya menemuinya? Saya mau antar makan siang buat beliau." Jingga mengangkat tas bekal makan yang dibawanya. "Ada Bu, kebetulan beliau baru saja selesai rapat. Ibu bisa langsung menemui beliau. Ibu naik lift lalu turun di lantai lima belas, lurus terus lalu belok kiri, ruangan bapak ada di sana." Perempuan bernama Melani itu memberikan arahan pada Jingga. "Baik Mbak." "Iya, Bu. Mohon maaf tidak bisa mengantar," Kata Melani tak enak hati pada Jingga. "Enggak apa-apa Mbak. Terima kasih." Melani menjawab salam Jingga dan menatap kepergian wanita itu dengan takjub. Ia yang sempat menghadiri resepsi pernikahan Atha waktu itu jelas sudah mengenal siapa Jingga. "Istrinya bos benar-benar mantap. Perempuan pilihan." Melani menggumam pelan. Jingga keluar begitu lonceng alat angkut itu berdenting, tepat di lantai lima belas. Wanita itu menyusuri lorong panjang sesuai dengan arahan Melani tadi. Jingga pun tiba di di sebuah ruangan luas dengan banyak kubikel di sisi kanan bangunan. Jingga tertegun sejenak melihat reaksi orang-orang yang terkejut melihat kedatangannya. Tak jarang dari mereka bahkan ada yang berbisik-bisik, tapi Jingga tak terlalu ambil pusing. Wanita itu dengan ramahnya membungkuk sopan dan tersenyum sebelum mengetuk pintu ruang kerja suaminya. "Assalamu'alaikum." Jingga tak menunggu suaminya menjawab salamnya dan langsung masuk begitu saja. "Wa ... Wa'alaikumussalam Ngga. Kamu datang? Kok nggak kasih kabar dulu?" Atha bangkit dari kursinya dan langsung menghampiri Jingga. Tatapan Jingga terus tertuju pada Mayang. Suaminya dan perempuan itu terlihat gugup dan ketakutan begitu Jingga memasuki ruangan tersebut. "Rencananya aku mau kasih kejutan buat kamu Mas." 'Tapi sepertinya aku yang diberi kejutan,' lanjut Jingga dalam hati. Jingga mengangkat tas bekal di tangannya. "Aku bawain kamu makan siang biar kita bisa makan siang sama-sama." "Ayo, duduk. Kebetulan aku baru saja mau makan." Atha mengapit bahu Jingga, membimbing istrinya duduk di sofa. "Selamat siang Bu." Mayang tampak canggung menyapa Jingga. "Siang. Saya baru tahu kalau sekretaris juga punya pekerjaan menemani atasannya makan siang," Sindir Jingga dengan tatapan yang terus tertuju pada Mayang. "Oh, ini. Kebetulan dia nggak punya teman buat makan bareng Ngga, jadinya aku ajak sekalian aku suruh makan di sini," Ujar Atha menjelaskan. "Hm, begitu ya?" Jingga duduk dengan anggun dan mulai membuka tas bekalnya. "Kalau begitu saya permisi Pak, Bu." "Lho kenapa pergi Mbak? Kan bisa dilanjutkan di sini makannya," Seloroh Jingga, membuat Mayang menghentikan langkahnya. "Maaf Bu, tapi bapak kan sudah ada yang menemani jadi sebaiknya saya makan di meja kerja saya saja." Mayang menjawab. "Jadi kalau nggak ada saya kamu bebas temani suami saya makan, begitu?" Hanya ditatap seperti itu oleh Jingga saja sudah membuat Mayang tak berkutik. "Enggak, Bu. Bukan begitu maksud saya," Tampik Mayang. "Sudah Ngga, aku sudah lapar," Dalih Atha, menyela. Tak ingin istrinya memperpanjang pembicaraannya dengan Mayang. "Padahal saya cuma bercanda lho, tapi wajah kamu sampai tegang begitu sudah seperti maling yang tertangkap basah." Jingga berseloroh sambil terkekeh. Mayang makin tak berkutik, titik peluh merembes di pelipisnya. "Mau sampai kapan kamu akan terus berdiri di situ?" Atha menaikan nada suaranya. "Cepat pergi." "Iya Pak, maaf. Permisi Bu." Mayang mengatur ritme napasnya yang memburu seolah dia baru saja berlari maraton dengan jarak tempuh yang jauh. 'Kenapa bisa dia tiba-tiba datang sih? Mengganggu saja,' batin perempuan itu kesal. Di dalam. "Sudah pergi orangnya Mas, atau mau aku panggil Mayang suruh masuk lagi?" Jingga mendapati suaminya terus melihat ke arah pintu. Atha yang mendengar perkataan istrinya pun terperanjat. "Aku nggak lihatin dia kok," Dustanya, tapi dari bahasa tubuhnya saja Jingga bahkan sudah tahu. Ucapannya barusan dapat menjawab pertanyaan dalam hati Jingga. "Iya, percaya." Atha dibuat serba salah selama berada di dekat Jingga. Entah apa yang membuat wanita itu tiba-tiba saja datang ke sana, dan yang jelas membuat suasana menjadi tidak nyaman. "Aku permisi ke kamar kecil sebentar Mas," Pamit Jingga. Kotak makan di meja telah bersih dan tempat itu juga sudah Jingga rapikan kembali. Jingga tahu suaminya tak menikmati makan siangnya sama sekali dan dia juga tahu apa yang sudah membuat perhatian suaminya itu teralihkan. "Di sini kan juga ada kamar mandi Ngga," Kata Atha, melihat istrinya meninggalkan ruangan hendak pergi ke toilet karyawan. "Nggak apa-apa, sudah kepalang tanggung keluar." Jingga melanjutkan langkahnya. Jingga memasuki satu bilik kosong dan mulai menuntaskan hajatnya. "Dengar-dengar katanya istrinya pak bos datang ya?" Tiba-tiba saja Jingga mendengar seseorang bicara di luar. "Iya. Gila, cantik banget. Aku saja sampai mau nabrak tembok saking senang pas lihat mukanya tadi. Adem gitu." Perempuan yang satunya menyahut. Terdengar derap langkah orang memasuki kamar kecil tersebut. Jingga urung keluar dari sana, dan memilih untuk menunggu dua orang yang sedang berbicara itu untuk pergi. Bukan Jingga ingin menguping, dia tak mau membuat kedua karyawan suaminya itu malu karena sudah tertangkap basah sedang membicarakannya jika ia keluar dari sana sekarang. "Eh, tapi Mayang juga nggak kalah cantik." Jingga memasang telinganya baik-baik saat perempuan itu kembali bersuara. "Tetap saja dia kalah, buktinya Pak Atha nikahnya sama Bu Jingga, bukan sama Mayang." "Iya juga sih, aku saja nggak nyangka Mayang bakalan nekat mengakhiri hidupnya karena frustasi ditinggal nikah sama laki-laki yang dia cintai. Mau gimana lagi, susah kalau sudah berurusan sama hati." Jingga membekap mulutnya begitu mendengar cerita itu, tak menyangka kalau dugaannya benar. Jingga menaruh curiga pada Mayang karena hanya perempuan itu satu-satunya wanita yang dekat dengan suaminya, tapi ia sama sekali tak menyangka kalau Mayang benar-benar mencintai suaminya sampai nekat melakukan tindakan tak terpuji. "Eh, tapi kamu ngerasa ada yang aneh nggak sih? Dua minggu lalu kan Mayang memutuskan untuk mengundurkan diri, dan dia berencana untuk pulang kampung dan hidup di sana sama bibinya, tapi tiba-tiba kemarin masuk kerja lagi dan ...," Jingga tak sabar mendengar kelanjutan cerita perempuan yang ia perkirakan sedang merapikan riasannya di depan cermin kamar mandi. "Dan apa?" Tanya teman perempuan itu tak sabar. "Ya kamu lihat sendiri lah seperti apa kelakuan Mayang sama bos kita. Mustahil mereka lengket gitu kalau nggak ada hubungan apa-apa di antara mereka." "Jadi maksud kamu mereka berdua selingkuh?" "Ssstt! Pelankan suara kamu. Mau dipecat? Kita bisa ditendang dari perusahaan ini kalau kedapatan sedang menggosipkan pemilik perusahaan ini sendiri. Kita memang nggak tahu kebenarannya seperti apa, tapi dari gelagat yang mereka tunjukkan memang mengindikasikan kalau mereka menjalin hubungan gelap. Tapi kita yang cuma karyawan bisa apa? Kalaupun begitu kenyataannya kan kita tetap nggak bisa ikut campur. Mereka punya kuasa, sedangkan kita cuma rakyat biasa." "Kamu benar." "Jangan sampai gosip ini menyebar, bisa gawat." "Nggak kita sebarin gosip ini juga semua orang kantor sudah tahu kali." Teman perempuan itu menyahut. Jingga menarik napas menahan laju butir di matanya agar tak berjatuhan. Ia mulai menemui titik terang sekarang, tapi Jingga tetap tak boleh gegabah atau rencana yang sudah dia susun dengan susah payah akan hancur berantakan. Pembicaraan kedua wanita tadi belum cukup menjadi bukti, Jingga harus terus menggali informasi dan mengorek bukti yang akurat agar kelak saat dia menangkap basah suaminya, Atha tak lagi bisa mengelak. Jingga meraih tisu, menyeka wajahnya dan keluar dari bilik itu setelah memastikan dua perempuan tadi pergi dari sana. "Berarti benar dugaanku. Naluri seorang istri memang nggak pernah salah. Semoga saja aku belum terlambat," Lirih Jingga berlalu dari sana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN