Jingga mengunyah makanannya pelan dengan pikiran yang terus berkelana. Sekeras apa pun dia mencoba mencari jawaban atas pertanyaan dalam benaknya, yang terjadi justru ia semakin dibuat pusing. Wanita itu masih belum bisa menerka hal penting apa yang akan dibicarakan Atha.
"Minumnya, Bu."
Ucapan Atha mampu mengembalikan kesadaran Jingga dari lamunan panjangnya. Dilihatnya pria itu mengurus ibunya dengan baik. Jingga membereskan bekas makanan mereka dan membuangnya ke tempat sampah.
"Sudah malam, sekarang katakan apa yang mau kamu bicarakan!" Titah Nania pada sang putra.
Atha berdehem untuk menetralisir perasaan tak menentu di hatinya. "Atha setuju, Bu."
"Setuju untuk apa?" Nania menatap Atha menuntut jawaban.
"Setuju untuk menikahi Jingga."
Sontak Jingga menatap pria itu, tapi kemudian dengan cepat menurunkan pandangannya menyadari jika hal itu tak pantas dia lakukan. Menatap lelaki yang bukan mahramnya.
Namun, apa yang baru saja didengarnya cukup mengejutkan bagi perempuan berhijab itu.
"Alhamdulillah, akhirnya mata hati kamu terbuka juga, Nak. Sekarang Atha sudah setuju, bagaimana denganmu, Jingga?"
Jingga memberanikan diri menatap netra tua Nania. Melihat wanita itu mengingatkan Jingga pada ibu kandungnya yang telah berpulang. Ia menganggap Nania seperti ibunya sendiri, ketulusan Nania menggantikan posisi ibu kandungnya membuat Jingga tak tega sekedar menolak.
"Bagaimana, Nak?" Nania mengulangi pertanyaannya.
"Jingga ...,"
Nania meraih tangan Jingga, membuat ucapan wanita itu terhenti.
"Ibu sangat berharap memilikimu menjadi menantu Ibu. Tidak ada gadis lain yang mau menyayangi dan mengurus Ibu yang penyakitan ini dengan tulus selain dirimu, Nak. Ibu sudah memikirkan ini sebelumnya."
Jingga terdiam sesaat sebelum bibirnya berucap, "Insya Allah, Bu. Sesuatu yang dilakukan dengan dasar ibadah akan mendapatkan pahala."
"Jadi kamu setuju?"
Jingga mengangguk pelan, terus menunduk menyembunyikan wajahnya yang kini bersemu.
"Alhamdulillah." Nania berseru. Binar di wajah senjanya mewakili perasaannya saat ini.
Barisan gedung terlihat berkejaran dan mengecil seiring dengan laju kendaraan roda empat yang dikemudikan Atha. Malam mulai merambat naik, namun jalanan makin padat dan bingar bingar kehidupan malam Ibukota yang mulai menggeliat.
"Apa yang membuat Mas Atha mengambil keputusan ini? Mas bahkan tidak menanyakan pendapatku terlebih dulu?"
"Aku sudah memikirkannya matang-matang, Ngga. Ada banyak pertimbangan sebelum akhirnya aku memutuskan untuk menerima perjodohan ini." Pria yang sedang sibuk dengan kemudinya itu menjawab sambil sesekali menoleh ke arah Jingga yang masih setia menghadap jendela mobil.
"Pernikahan itu bukan sesuatu yang bisa dimainkan, Mas. Ini adalah janji yang dibuat langsung dengan Tuhan."
"Justru itu. Kita bisa belajar untuk mencintai satu sama lain, Ngga. Aku tahu ini pasti juga berat untukmu, tapi aku mohon ... Lakukan demi ibu."
Atha berpikir jika memang lebih baik bagi mereka untuk menikah. Setidaknya dengan begitu akan selalu ada yang mengurus dan menjaga Nania. Mereka juga bisa hidup seatap tanpa melanggar aturan.
Bukan karena lelaki itu tak mampu membayar jasa perawat atau pengasuh khusus jompo, hanya saja Nania berulang kali menolak dengan alasan hanya Jingga yang bisa merawatnya dengan baik. Selebihnya akan dia pikirkan nanti. Bagi Atha yang terpenting saat ini adalah kesehatan ibunya.
"Aku langsung kembali ke rumah sakit, kasihan ibu, takut kalau beliau butuh sesuatu nanti."
Jingga mengangguk. Ia lantas turun dari mobil Atha dan masuk ke dalam rumahnya usai mengucapkan salam pada Atha.
Mobil putih itu melaju dengan kecepatan sedang. Atha memijit pelipisnya sekedar mengurangi nyeri. Ia terus berusaha meyakinkan diri bahwa keputusan yang dia ambil sudah tepat. Biarlah dia mengorbankan perasaannya daripada harus kehilangan satu-satunya wanita yang berharga dalam hidupnya. Ia yakin cinta akan hadir dengan sendirinya nanti, seperti yang sering diucapkan Nania padanya.
Atha memutar gagang pintu pelan, takut membangunkan tidur ibunya, tapi dugaannya salah karena Nania sedang duduk sembari membaca kitab suci terjemahan. Wanita itu menutup dan menciuminya sebelum kembali meletakkan buku tebal itu di nakas.
"Ibu belum sembuh benar, harus banyak istirahat." Menarik kursi dan duduk di dekat bed Nania.
"Ibu senang akhirnya kamu mau menikah dengan Jingga."
"Semua aku lakukan demi Ibu," sahut Atha.
"Ibu tahu itu, tapi percayalah. Suatu saat nanti kau pasti akan tahu mengapa Ibu sangat menginginkan kalian untuk hidup bersama. Jika saatnya tiba, maka kamu akan tahu alasan Ibu memilih Jingga untuk menjadi pendamping hidupmu, Tha. Selain cantik, dia juga shalehah, Ibu yakin rasa cinta itu akan cepat hadir di hatimu untuknya."
"Aamiin, semoga saja, Bu. Sudah malam, sebaiknya sekarang Ibu tidur."
Lelaki itu terhenyak saat mendapati ibunya menitikkan air mata. "Kenapa malah menangis, Bu? Bukankah aku sudah menyetujui perjodohan ini, jadi Ibu tidak perlu khawatir."
"Selain melihatmu menikah, Ibu juga masih punya satu impian lagi, Tha. Ibu ingin semua impian Ibu terwujud sebelum ayahmu menjemput Ibu."
"Ibu tidak boleh berkata begitu, Ibu sendiri yang bilang kalau Jingga bisa mengurus Ibu dengan baik. Aku yakin, setelah kami menikah, kondisi Ibu akan pulih dengan cepat."
"Ibu harap juga seperti itu. Ibu masih ingin melihat anakmu lahir ke dunia, cucu Ibu."
"Insya Allah, Ibu akan mendapatkan cucu. Jangan berpikiran terlalu jauh, Bu."
"Ibu ini sudah tua, Tha. Penyakitan. Umur manusia siapa yang tahu."
"Justru itu, karena umur menjadi rahasia Tuhan. Sudah malam, jika dibiarkan maka Ibu akan bicara semakin ngawur."
Atha bangkit dan membantu ibunya berbaring. Setelah memastikan wanita yang telah melahirkan dan membesarkannya itu tertidur pulas, lalu setelahnya Atha memilih duduk di sofa sembari berpikir.
Terkadang hati kecil pria itu menolak, tapi logikanya selalu berhasil menahannya. Semua yang dia lakukan murni demi ibunya, pun dengan perasaan Jingga yang sama sekali tidak ia pikirkan.
Atha sama sekali belum terpikirkan untuk menikah. Jangankan menikah, ia bahkan masih ingin melakukan pencarian cinta sejatinya. Semenjak ayahnya dipanggil Sang Pencipta, ia sibuk menimba ilmu sambil terjun langsung mengurus perusahaan ayahnya.
Berkat kerja kerasnya, perusahaan yang semula sangat kecil itu menjadi berkembang dan mulai dikenal kalangan pebisnis.
***
Tepat pukul dua dini hari, Jingga terbangun dari tidurnya. Gadis itu menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu, lalu menggelar sajadah. Shalat malam yang biasa dia lakukan membuatnya terbiasa bangun di jam dua meski tanpa alarm. Baginya di saat itulah dia bisa sepuasnya mencurahkan isi hatinya pada Sang Khalik. Memasrahkan hidup dan segala yang dialaminya. Melantunkan ayat suci yang selalu mampu menjadi penawar segala keresahannya.
"Ya Allah, apa pun yang menjadi ketetapanMu maka akan hamba terima dengan ikhlas dan setulus hati. Sesungguhnya Engkau maha mengetahui apa-apa yang terbaik bagi hambamu." Jingga menutup mushaf-nya.
Tanpa melepas mukenanya, Jingga berjalan menuju dapur untuk membuat teh. Masih tersisa banyak waktu yang bisa dia gunakan untuk mengaji sebelum adzan subuh berkumandang.
Selepas shalat subuh, Jingga berkutat di dapur untuk membuatkan bubur untuk Nania. Gadis itu gegas menuju rumah sakit setelah memastikan semua pekerjaan rumah selesai.
Jingga membuka pintu saat bersamaan dengan munculnya sesosok pria yang sudah berdiri menjulang di depan pintu.
"Astaghfirullah, Mas Atha."
"Aku baru saja mau ketuk pintunya. Ibu nyuruh aku jemput kamu." Pria itu menyahut.
"Lalu siapa yang jaga ibu?"
"Suster yang semalam aku mintai tolong buat jaga ibu."
"Lagi pula seharusnya kamu menolaknya, Mas. Aku bisa ke rumah sakit naik taksi, kok."
"Kamu kayak nggak tahu sifat ibu aja."
Keduanya masuk ke dalam mobil. Jingga memangku rantang berisi bubur buatannya, dan seperti biasa mereka mengisi perjalanan dengan saling bungkam.
Atha memarkirkan mobilnya, mereka berjalan menuju bangsal rawat Nania dengan saling menjaga jarak.
Sesekali Atha melirik ke arah Jingga. Perempuan berkulit putih itu nampak anggun dalam balutan gamis warna ungu cerah. Hijab menjadi bagian yang tak pernah lepas dari kepala Jingga.
Tutur katanya, tindak tanduknya, caranya bersikap, semua yang ada dalam diri wanita itu sanggup memikat hati orang lain.
Namun, lagi-lagi Atha bertanya dalam hati. Mengapa tak pernah ia merasakan adanya perasaan cinta pada wanita itu?
"Assalamualaikum, Bu."
Atha mendorong daun pintu. Wajah Nania yang mulai berkerut tergerus usia nampak berbinar manakala netranya menangkap sosok yang sangat ingin ditemuinya.
"Jingga bawakan bubur buat Ibu. Ibu pasti menolak makanan rumah sakit dengan berbagai alasan," godanya. Ia duduk setelah menyalami Nania.
"Suhunya sudah aku sesuaikan, Ibu bisa langsung memakannya," lanjut Jingga membuka penutup rantang, lalu mulai menyuapi Nania.
Atha duduk di sofa dengan tatapan yang tak lepas dari dua sosok wanita itu. Kebetulan hari ini hari libur, dia menjadi leluasa menjaga ibunya.
"Kapan masakan kamu pernah nggak enak, Ngga," puji Nania.
"Alhamdulillah. Kalau begitu habiskan."
"Sudah cukup, Ibu sudah kenyang." Menolak sendok yang disodorkan Jingga.
"Tanggung Bu, tinggal dua suap. Mubazir," bujuk Jingga. Nania tak kuasa menolak hingga akhirnya tak ada lagi bubur yang tersisa dalam wadah makanan itu.
"Jam berapa biasanya dokter akan datang, Nak?"
"Sebentar lagi, Bu." Jingga menyahut.
"Ada apa memangnya, Bu? Apa ada yang Ibu keluhkan?" Atha ikut menimpali.
"Tidak ada. Ibu hanya ingin bertanya kapan Ibu diperbolehkan pulang."
"Ibu kan baru sehari di rumah sakit, tunggu sampai kondisi Ibu sudah benar-benar pulih, baru setelahnya Ibu boleh pulang." Atha terus mencoba memberi pengertian pada ibunya. Tak ingin sesuatu terjadi pada wanita itu jika Nania memaksa pulang.
"Ibu sudah sembuh, Tha. Ibu sudah dapat obatnya."
Baik Jingga maupun Atha sempat saling beradu pandang dan kembali menatap Nania.
"Ibu sudah sembuh karena sebentar lagi akan melihat kalian menikah. Itu adalah obat mujarab untuk sakit Ibu."
Deg.
Jingga membeku di tempatnya, pun dengan Atha. Mereka memang sepakat untuk menerima perjodohan ini, tapi bukan berarti mereka bisa menikah secepatnya.
Terlalu cepat dan ada banyak hal yang masih perlu dipersiapkan, tapi jauh lebih dari itu adalah kesiapan mental masing-masing.
Pernikahan adalah penyatuan dua insan yang berbeda dalam segala sisi, yang lazimnya dilakukan oleh sepasang anak manusia dengan berlandaskan cinta. Lalu kehidupan rumah tangga seperti apa yang akan mereka jalani ke depannya?