Sepanjang perjalanan Nania tak henti bercerita. Pendar kebahagiaan di wajah tuanya terlihat jelas, sesekali tawanya berderai memecah kecanggungan antara Jingga dan Atha.
Dengan terus merajuk, Nania akhirnya bisa meyakinkan dokter bahwa kondisi kesehatannya sudah membaik. Ia pun diizinkan pulang dengan syarat masih harus melakukan rawat jalan.
"Nanti setelah menikah, langsung program hamil saja, Nak."
Belum juga apa-apa, Jingga sudah ditodong cucu oleh Nania.
Jingga hanya diam, bingung harus menanggapi apa. Jingga merasa tak nyaman dengan situasi seperti ini, tapi juga gak tega jika harus membuat wanita itu bersedih.
"Jangan bikin Jingga kepikiran, Bu. Ibu nggak kasihan apa wajahnya sampai tegang begitu." Atha menyahut dari balik kemudi.
Lelaki itu sempat menikmati semburat merah di wajah Jingga tadi. Sudah pasti gadis itu malu, juga tak nyaman tapi tak berani menyela Nania karena takut merusak kebahagiaan yang tengah dirasakan wanita paruh baya itu.
"Biarkan saja, Ibu sedang bahagia." Menggenggam erat tangan Jingga.
Atha mematikan mesin mobilnya begitu kendaraan roda empat itu sampai di pelataran rumahnya. Ia menggendong Nania masuk ke dalam, sementara Jingga sibuk membawa tas dan beberapa barang lain.
"Ibu, Ibu sudah pulang?" Surti yang waktu itu sedang membersihkan ruang tamu, terkejut melihat kepulangan majikannya. "Memangnya Ibu sudah sembuh?"
"Sudah jauh lebih baik, Bi." Jingga yang menyahut. "Minta tolong ambilkan air minum buat ibu ya, Bi?"
"Baik, Non."
Jingga menata bantal agar Nania bisa tidur dengan nyaman.
"Sekarang Ibu minum dulu, habis itu Ibu istirahat lagi." Jingga menaikkan selimut hingga menutupi sebagian tubuh Nania.
"Terima kasih, Ngga. Kamu sudah begitu sabar mengurus Ibu."
"Ibu ini bicara apa, istirahat biar Ibu lekas sembuh. Jingga izin pulang dulu," pamitnya.
"Kenapa terburu-buru? Kalau mau sekedar berisitirahat kamu juga bisa istirahat di sini. Ada banyak kamar kosong di rumah ini."
"Bukan begitu, Bu. Jingga meninggalkan jemuran pakaian di rumah, takutnya nanti basah lagi. Sepertinya mau hujan," dalih Jingga, padahal yang sebenarnya adalah karena dia tak ingin berlama-lama di sana karena ada Atha.
"Ya sudah kalau begitu. Biar Atha yang ...,"
"Nggak usah, Bu. Jingga bisa pulang sendiri, Mas Atha biar di rumah saja jagain Ibu."
Jingga meraih tangan Nania dan menciumnya takzim, lalu mengambil tas dan mengucap salam sebelum meninggalkan rumah itu.
"Bu, kami berdua setuju dengan perjodohan ini, tapi bukan berarti secepat itu Ibu meminta kami menikah," ucap Atha sepeninggal Jingga dari kamar ibunya.
"Apa salahnya, Tha? Lagi pula tidak baik menunda perbuatan baik. Semakin cepat kalian menikah maka akan semakin baik. Ibu nggak tahu sampai kapan Tuhan memberikan kesempatan bagi Ibu untuk hidup."
"Ya, baiklah. Terserah Ibu saja."
Atha pasrah jika Nania membahas soal umur. Hanya Nania satu-satunya keluarga yang ia miliki saat ini. Semua yang dilakukannya adalah demi kebahagiaan ibunya.
***
Seminggu berlalu dengan cepat. Kondisi kesehatan Nania membaik lebih cepat dari yang diperkirakan oleh dokter. Meski seperti biasa, selalu bergantung pada kursi roda namun Atha bisa melihat ibunya jauh lebih bugar sekarang.
"Ibu mau ikut?" Tanya Atha pada ibunya yang tengah menonton acara televisi di ruang tengah.
Rencananya hari ini Atha akan mengajak Jingga ke butik untuk menyiapkan gaun pernikahan.
"Ibu di rumah saja."
"Barangkali Ibu bosan di rumah dan ingin jalan-jalan."
"Tidak, lebih baik Ibu di rumah. Nanti Ibu minta dikirim foto saja pas kalian lagi coba baju pengantinnya."
"Ibu beneran nggak mau ikut?" Jingga seolah berat meninggalkan wanita itu.
"Nggak, Nak. Ibu di rumah saja sama Bi Surti. Kalian hati-hati ya."
"Ya sudah kalau begitu. Kami berangkat Bu."
Atha dan Jingga menyalami Nania bergantian. Senyum terus terkembang di bibir Nania saat melihat keduanya pergi.
"Bibi ikut senang, Bu. Akhirnya Non Jingga akan menjadi menantu di rumah ini. Dia gadis yang baik." Surti datang menaruh cangkir di meja.
"Akhlak dan kecantikan hatinya yang paling aku sukai dari gadis ibu, Bi."
"Ya. Bibi jadi nggak sabar ingin lihat kalau nanti mereka punya anak."
"Bantu doa ya Bi?"
"Tentu, Bu. Saya sudah pasti akan mendoakan semoga pernikahan mereka berdua langgeng sampai di surga."
Nania mengaminkan doa Surti. Keduanya melanjutkan obrolan lagi. Nania meminta Surti duduk di sana menemaninya sembari menyetrika pakaian.
Setelah sempat terjebak macet di beberapa titik jalan, akhirnya mobil putih yang dikendarai Atha sampai juga di salah satu butik yang cukup terkenal di kota itu.
Keduanya disambut ramah dua orang pelayan toko begitu mereka memasuki bangunan berlantai dua itu. Jingga duduk canggung bersebelahan dengan Atha meski ada ruang kosong di antara mereka.
Salah satu pegawai toko memberikan buku katalog besar berisi berbagai macam kebaya pengantin pada Jingga.
"Pilih yang kamu suka, jangan sungkan," ujar Atha.
"Iya, Mas."
Dengan perasaan ragu bercampur tak percaya, Jingga mulai membuka lembar demi lembar yang menampilkan kebaya dengan berbagai macam jenis.
"Yang ini bagus." Reflek Atha menunjuk model kebaya yang hampir luput dari penglihatan Jingga.
Wanita itu menoleh sekilas lalu dengan cepat memutus pandangannya.
"Kenapa?"
"Apa nggak terlalu berlebihan, Mas? Sepertinya ini terlalu mewah buat aku."
Model kebaya yang baru saja ditunjuk Atha berwarna putih gading dengan taburan payet dan batu permata. Bagian belakangnya menjuntai dengan ekor memanjang.
"Apa salahnya? Setiap wanita pasti menginginkan yang terbaik untuk pernikahannya, sampai barang terkecil sekali pun."
"Yang terpenting dalam sebuah pernikahan adalah bukan seberapa mewah acara itu, tapi seberapa khidmat kita memaknai arti ijab kabul itu sendiri."
Atha diam serasa tertampar dengan jawaban yang dilontarkan Jingga. Untuk kesekian kalinya ia dibuat terperangah akan kepribadian wanita itu. Pantas saja ibunya bersikeras untuk menjodohkan mereka.
"Bukan itu maksudku. Aku hanya ingin memberikan terbaik yang bisa aku lakukan untukmu."
Jingga kembali membuka lembaran buku di tangannya hingga dering yang berasal dari saku celana Atha menginterupsi kegiatannya.
"Kamu pilih yang menurutmu bagus, aku ikut kamu saja. Aku angkat telepon dulu."
Atha bangkit usai melihat Jingga mengangguk. Lelaki itu berjalan agak menjauh, tak ingin Jingga terganggu dengan obrolannya nanti.
Jingga terus sibuk melihat gaun pengantin yang sekiranya cocok untuknya. Bukan masalah harga atau selera berpakaiannya yang rendah, Jingga hanya tak suka berlebih-lebihan. Wanita itu melirik pria yang tak kunjung kembali, Atha terlihat asyik berbincang di telepon dengan satu tangan yang dimasukkan dalam saku celana. Sudut bibir Jingga membentuk lengkungan indah.
"Astaghfirullah." Gadis itu menggeleng cepat. Baru saja dia mengagumi pria yang belum halal baginya.
Jingga berusaha menyibukkan diri dan mengenyahkan Atha dari pikirannya. Ia tersenyum puas manakala melihat rancangan kebaya pengantin yang sesuai dengan seleranya. Modelnya sederhana, tapi terlihat anggun. Ia akan meminta pendapat Atha dulu nanti, karena biar bagaimanapun mereka akan menikah. Kedepannya pasti akan ada banyak hal yang perlu dibicarakan berdua.
Atha menekan simbol gagang telepon berwarna merah pada layar ponselnya. Ia kembali memasukkan benda itu ke dalam saku celananya dan berniat kembali menghampiri Jingga.
"Pak?"
Atha menghentikan langkahnya. Pria itu menoleh. "Lho, kamu ada di sini?"
"Iya, nemenin kakak saya fitting kebaya pengantin. Bapak sendiri?" Wanita bertubuh indah itu tiba-tiba sudah ada di depan Atha.
"Kebetulan saya ada perlu di sini."
Jingga memicingkan matanya melihat Atha tengah mengobrol dengan perempuan berpakaian terbuka. Ia mulai bertanya-tanya dalam hati, tapi tak berani menyimpulkan karena sejauh yang dia tahu, Atha tak pernah memiliki teman dekat wanita.
"Saya duluan ya."
"Oh, iya Pak. Silakan."
Mayang tersenyum penuh arti menatap punggung Atha yang semakin menjauh darinya.
"Sudah nemu, Ngga?" Atha kembali duduk dengan masih memasang jarak.
"Sudah, Mas. Coba Mas lihat yang ini, kira-kira kamu suka nggak?" Jingga menunjukkan rancangan yang dia pilih. "Nanti baju pengantin prianya seperti ini." Menunjuk kertas di baliknya.
"Yakin kamu cocok sama yang ini?"
"Kenapa, Mas nggak suka? Ya sudah aku coba cari yang lain lagi."
"Suka, Ngga. Cuma mau memastikan saja."
Harga sepasang baju pengantin yang dipilih Jingga tidaklah murah, tapi juga tidak mahal karena Jingga bermaksud menghormati Atha. Apa yang akan pria itu pikirkan jika dia memilih gaun pengantin dengan harga murah? Jingga takut Atha merasa terhina.
Namun, harga gaun itu juga jauh dibawah perkiraan Atha.
"Beneran, Mas suka?"
"Iya. Ya sudah ambil yang itu saja."
Pegawai butik pun mulai mengambil ukuran pakaian mereka. Atha meminta gaun dikerjakan dengan cepat karena pernikahan memang akan digelar dalam waktu dekat. Nania yang meminta agar mereka mempercepat pernikahan ini.
"Habis ini kita cari perhiasan sekalian, jadi nanti kita nggak bolak balik pergi. Takutnya kamu jadi sering ninggalin ibu," kata lelaki itu.
"Iya, Mas."
Mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju toko perhiasan. Lagi-lagi Atha membebaskan Jingga untuk memilih karena tahu apa yang akan dia pilihkan nanti jelas tak sesuai dengan selera wanita itu.
Pun Jingga yang terbiasa dengan kesederhanaannya. Ia bukan wanita pemilih yang gila akan hal mewah seperti kebanyakan wanita. Tak butuh waktu lama untuknya mendapatkan satu set perhiasan.
Jingga menoleh, Atha terlihat asyik menatap gawai dengan senyum merekah, membuatnya yakin kalau lelaki itu sedang berbalas pesan dengan seseorang yang tak ia ketahui.
'Sepertinya mas Atha terlihat gembira sekali, sedang berbalas pesan dengan siapa dia?'
Jingga menggeleng mencoba mengenyahkan pikiran buruk di benaknya.