Bab. 6

1242 Kata
Jingga masih berdiri mematut penampilannya di depan cermin. Wajahnya terlihat begitu cantik dengan sapuan riasan khas pengantin. Bunga melati menjuntai dari balik hijab berwarna putih gading dengan hiasan di atasnya. Hena yang terukir di telapak tangannya terlihat kontras dengan kebaya yang membungkus tubuhnya. Setelah melewati hari demi hari, akhirnya tibalah hari yang paling dinantikan terlebih bagi Nania. Barisan kursi berpita tertata rapi, dekorasi pernikahan terlihat indah dengan padu padan nuansa putih dan gold. Tamu undangan memenuhi tempat yang telah disediakan. Aneka jamuan pun telah tersaji untuk menjamu para tamu. "Cantiknya Non Jingga, seperti bukan Non Jingga saja ya Bu?" "Calon menantuku memang dasarnya sudah cantik, Bi." Nania menyahuti ucapan asisten rumah tangganya. Calon pengantin itu menoleh ke belakang, tempat di mana dua wanita tua itu duduk dengan terus menatapnya. "Apa ini nggak berlebihan, Bu?" Tanya Jingga, lirih. "Berlebihan bagaimana, Nak? Itu sudah yang paling sederhana. Kamu minta semuanya serba sederhana, dan Ibu sudah turuti. Mulai dari kebaya pengantin, rias, semuanya sangat sederhana seperti keinginan kamu, Nak." Jingga tersenyum tak enak hati pada Nania. "Menikah adalah hari yang paling dinantikan dalam hidup seorang perempuan karena pada saat itu dia menapaki gerbang baru dalam kehidupannya. Gugur sudah tanggung jawab ayah dan saudara laki-lakinya terhadap si perempuan yang kemudian berpindah pada lelaki yang menjadi suaminya. Menikah juga merupakan ibadah terpanjang semasa kita hidup," Ucap wanita tua itu sembari mengusap jemari Jingga. Nania tahu kalau saat ini Jingga pasti sedang dilanda gugup, wajar karena dirinya pun merasakan hal yang sama seperti ketika dulu saat dia menikah dengan mendiang ayah Atha. "Doakan aku ya Bu, semoga aku bisa menjadi istri sekaligus menantu yang baik untuk keluarga ini. Bimbing aku, dan jangan segan untuk menegur jika aku ada salah atau kurang dalam berbakti pada Ibu dan Mas Atha." Jingga menunduk, menyapu setitik embun yang menetes di sudut matanya. Di hari yang kata orang menjadi hari yang paling membahagiakan ini, nyatanya tak ada satu pun pihak dari keluarganya yang ikut menyaksikan jalannya ijab kabul. Jingga menjadi yatim piatu sejak belia dan hanya Nania saja yang menjadi keluarganya saat ini. Sementara itu di luar kamar. Atha duduk berhadapan dengan penghulu. Beberapa kali ia mengusap kedua tangannya untuk sekedar mengusir rasa gugup yang melandanya. Setelah pria tua berpeci hitam itu menanyakan beberapa hal, Atha diminta menjabat tangannya. Para saksi dan pengunjung berteriak menggumamkan kata 'sah' begitu Atha selesai melafazkan barisan kalimat suci dengan satu tarikan napas, janji yang diucapkan pria itu kepada Tuhannya dengan disaksikan para hadirin yang ada di sana. Seperangkat alat shalat beserta uang dua juta rupiah sebagai maharnya. Meski pada awalnya Jingga menolak mahar uang tersebut dan hanya meminta seperangkat alat shalat saja sebagai maharnya, akan tetapi Nania terus membujuknya agar menerima mahar berupa uang juga. Begitu dinyatakan sah menjadi suami istri di mata agama dan negara, seusai penghulu membacakan doa Nania mengajak Jingga untuk menghampiri Atha di depan. 'Cantik sekali dia. Tidak berdandan pun dia sudah sangat cantik, apa lagi di dandani begitu.' Atha membatin. Hingga Jingga tiba di hadapannya, wanita itu terus saja menundukkan pandangannya. Acara dilanjutkan dengan pertukaran cincin. Jingga mencium punggung tangan Atha untuk yang pertama kalinya dan disambut dengan kecupan di kening oleh lelaki itu. "Sekarang kalian sudah resmi menjadi suami istri, kalian adalah pakaian yang saling menutupi dan melengkapi satu sama lain. Dengan menikah, kalian telah menyempurnakan separuh agama kalian," Kata Nania. "Alhamdulillah, Bu." "Kamu sebagai suami harus memahami dan menjalankan apa yang menjadi tugas dan kewajibanmu sebagai seorang kepala keluarga, tapi Ibu sangsi karena sepertinya nanti Jingga yang akan banyak membimbing kamu ketimbang kamu yang membimbingnya. Tidak apa-apa, nanti kalian sama-sama belajar." "Iya Bu. Atha akan berusaha menjadi suami yang bertanggung jawab untuk Jingga." Lelaki itu memeluk ibunya haru. Acara masih terus berlanjut, tak begitu banyak tamu yang datang dan kebanyakan hanya berasal dari teman juga anak buah Atha di kantor. Jingga menemani ibu mertuanya duduk meyambut beberapa tetangga yang masih bertahan dalam acara tersebut, sedang Atha sibuk dengan temannya di sudut berbeda. "Bu, itu teman kantornya Nak Atha?" Jamilah, perempuan seusia Nania, rumahnya hanya berjarak lima belas meter dari rumah Nania. Perempuan tua itu bertanya dengan tatapan terus tertuju pada Atha. "Iya, Bu. Sebagian teman dan rekan kerjanya di kantor memang berisik sekali, tiap datang untuk main juga begitu. Mohon maaf ya Bu?" Nania tersenyum tak enak hati. "Hati-hati Bu, bukannya saya mau ikut campur ya. Sayang rasanya kalau Nak Atha bergaul dalam lingkungan seperti itu karena sejauh ini yang kita tahu Nak Atha kan dibesarkan dari keluarga yang religi, anaknya juga sopan dan sering pergi ke masjid. Coba lihat itu, Bu. Teman perempuannya, hampir semuanya cara berpakaiannya sama, kurang sopan menurut saya. Belum lagi cara tertawanya, perempuan kok ketawa seperti kuda meringkik. Yang laki-laki juga pada merokok semua, padahal anak Ibu kan bukan perokok." Jamilah kembali menimpali. "Iya Bu. Sebagai seorang ibu jujur saya juga takut dia sampai terbawa arus pergaulannya, tapi Atha selalu berhasil meyakinkan saya dan saya bersyukur selama ini dia bisa memelihara imannya dengan baik. Insya Allah, anak saya selalu dalam lindunganNya." Nania menyahut. "Syukurlah, Bu. Jingga sama anak Ibu itu pasangan yang serasi lho,semoga cepat diberikan momongan ya Nak." Jamilah tersenyum mengusap kepala Jingga yang berbalut hijab. "Terima kasih doanya, Bu." Dari kejauhan dapat Jingga lihat pria yang kini menjadi suaminya itu sedang berbincang dengan perempuan yang tempo hari sempat ditemuinya di butik. Keduanya nampak akrab meski Atha tak hanya bicara berdua dengan wanita itu, tapi hanya dua orang itu yang mendominasi percakapan sementara teman lainnya hanya sesekali menimpali. "Kasihan Mayang, Pak. Sakit hati di tinggal nikah sama Bapak," Seloroh Radit, kepala divisi keuangan. Kebanyakan pegawai di kantor Atha memang masih berusia muda, beberapa karyawan yang dituakan telah berpamitan pulang sejak beberapa jam lalu. "Iya, untung nggak sampai pingsan pas Bapak ijab kabul tadi." Zidan ikut menimpali. "Iya, Bapak mah gitu. Tega sama saya. Bilangnya nggak pacaran tapi tahu-tahu saya ditinggal nikah." Mayang mengerucutkan bibirnya. "Makanya sudah aku bilang gercep, pepet terus Pak Athanya jangan sampai didapat sama perempuan lain. Kebukti kan, sakit hati giliran dapat undangan nikahnya," Kata Hana. "Kurang mepet gimana lagi aku, Han? Pak Atha saja yang kelewatan sama aku. Dikasih yang semok nggak mau, kurang cantik apa saya Pak dibandingkan istri Bapak yang dibungkus itu," Kelakar Mayang. "Sembarangan kamu, May. Istri saya itu, jangan kamu katai macam-macam." Atha menggeleng pelan. "Bapak kejam banget sama saya." Mayang memukuli d**a Atha dengan manjanya, mengundang tawa semua orang yang ada di sana. Sementara itu Jingga yang melihat dari kejauhan hanya menggeleng pelan sambil terus beristighfar dalam hati. Malam harinya. Dengan langkah kaku Jingga berjalan mendekati ranjang, acara yang berlangsung selama seharian ini membuatnya lelah dan ingin gegas beristirahat. Namun, gadis itu juga telah mempersiapkan diri jika Atha meminta haknya malam ini juga. Biar bagaimanapun mereka telah menikah dan Jingga tak punya alasan untuk menolak jika Atha mendekatinya selagi dengan itu dilakukan dengan cara yang baik. Jingga menghela napas, memberanikan diri untuk menaiki peraduan dan menutupi sebagian tubuhnya dengan selimut. Rasanya sungguh canggung saat untuk pertama kalinya gadis itu berada dalam satu ranjang bersama seorang pria. "Kamu pasti capek, aku juga. Aku mau istirahat duluan ya. Kamu juga langsung tidur saja." Atha berkata tanpa menatap Jingga sedikit pun, lelaki itu telah merebah dengan posisi membelakangi Jingga. Sebaris kalimat yang lolos dari bibir Atha pada Jingga setelah ijab kabul dilaksanakan. Tak ada ucapan manis sekedar terima kasih atau basa basi atau apa pun itu. Semuanya tak seperti yang Jingga bayangkan. Memang apa yang Jingga harapkan? Apa dia baru saja memimpikan sesuatu yang indah bisa dia dapatkan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN