Kelopak mata Atha terpisah saat sayup-sayup dia mendengar Jingga sedang bertadarus. Ya, wanita yang baru beberapa jam lalu menjadi istrinya itu tengah duduk bersimpuh di atas sajadah dengan mushaf di di tangannya. Keheningan malam menuntun pandangan lelaki itu pada benda penunjuk waktu yang menggantung di dinding. Sebuah senyuman tercetak di wajahnya manakala melihat istrinya begitu khusuk dengan bacaannya. Lantunan ayat suci dibacakan dengan tartil, mengalun merdu membangkitkan kedamaian dalam diri Atha.
Tak lama setelahnya Jingga mengakhiri bacaannya, mencium mushaf itu dan kembali menaruhnya di tempat semula. Jingga melepas mukenanya, dan saat wanita itu mengganti hijabnya saat itulah untuk pertama kalinya Atha melihat rambut Jingga yang hitam legam dan tergerai panjang sepunggung.
'Demi Allah, cantiknya dia.' Atha membatin. Lelaki itu kembali menutup mata berpura-pura tidur ketika melihat Jingga membalikkan badan.
"Sepertinya masih terlalu pagi untuk membangunkan Mas Atha, sebaiknya aku ke dapur saja buat bikin sarapan," Gumam Jingga.
Atha hampir saja terbangun karena kaget saat Jingga membetulkan letak selimutnya sebelum perempuan itu meninggalkan kamar.
Jingga mengecek kamar Nania untuk melihat kondisi wanita tua itu, bersamaan dengan itu ternyata Nania baru saja bangun.
"Ibu sudah bangun?"
"Eh, Nak. Ibu baru saja bangun." Jingga mendekati ibu mertuanya.
"Aku bantu Ibu ke kamar mandi."
"Iya. Kebetulan masih ada waktu untuk shalat malam." Nania menyahut. "Atha sedang apa?"
"Masih tidur Bu." Mendorong kursi roda Nania ke kamar mandi, membantu wanita itu bersuci.
"Tumben, biasanya jam segini dia sudah bangun."
"Mungkin kecapekan. Aku tinggal ke dapur dulu Bu, mau dibuatkan minuman apa? Sekalian aku mau masak buat sarapan," Kata Jingga.
"Teh saja."
"Baik."
Jingga berlalu dari sana saat dilihatnya Nania memulai gerakan shalatnya. Langkah kakinya menapak di lantai marmer sembari menyapukan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan.
"Rasanya masih begitu aneh. Hampir setiap hari aku menghabiskan banyak waktu di rumah ini, tapi rasanya tetap aneh saat aku menjadi penghuni tetap di sini."
Jingga menuang air panas ke dalam cangkir yang telah ia isi dengan remahan daun teh, lalu memberinya sedikit madu dan membawanya ke kamar Nania. Ternyata Nania sedang bertadarus saat Jingga kembali ke kamar itu.
"Taruh saja di situ, Nak."
Jingga meletakkan cangkir itu di meja dekat Nania agar ibu mertuanya dapat dengan mudah menjangkaunya.
"Aku mau ke kamar dulu Bu, mau membangunkan Mas Atha. Ibu kalau ada perlu apa-apa langsung panggil saja."
"Ya Nak."
Jingga melangkah, tapi saat ia berada persis di ambang pintu, Nania memanggilnya. "Ya Bu? Ada apa?"
"Kalian sudah melakukannya?"
"Melakukan apa, Bu?" Dahi Jingga berkerut mendengar pertanyaan Nania yang ambigu.
"Ibadah suci pertama kalian?"
Jingga terpelongo, tak menyangka ibu mertuanya akan menanyakan hal pribadi seperti itu. Pasalnya Nania curiga tak melihat adanya tanda-tanda kebiasaan pengantin baru yang ada dalam diri Jingga.
"Memang benar harus diniatkan untuk ibadah, tapi Ibu juga berharap secepatnya kalian bisa memberikan cucu untuk Ibu."
Pipi Jingga bersemu merah. "Doakan saja, Bu."
Selalu begitu jawaban Jingga, padahal jangankan punya anak, dia dan suaminya bahkan masih jarang bicara. Jingga menutup pintu, menggeleng membayangkan Nania terus mendesaknya perihal cucu.
Jingga menghentikan langkahnya saat mendengar suara suaminya sedang melantunkan ayat suci. Perlahan ia memasuki kamar agar tak mengusik kegiatan pria itu. Atha mengakhiri bacaannya, lalu menoleh.
"Tehnya Mas." Jingga mengulurkan cangkir yang dibawanya saat pria itu mendekat.
"Terima kasih."
"Aku nggak tahu kebiasaan pagi kamu seperti apa Mas, lain kali mungkin kamu bisa kasih tahu aku biar aku bisa bantu siapkan. Atau mungkin kalau seumpama kamu nggak suka teh," Ujar Jingga.
"Suka kok. Kebetulan tiap pagi aku memang selalu bikin teh buat aku dan ibu, kadang ibu nggak mau dibuatkan s**u karena kamu juga sudah pasti akan membuatkan itu untuknya saat kamu datang."
"Syukurlah. Mas bisa kasih tahu aku apa-apa saja yang kamu sukai dan yang tidak kamu sukai."
Atha mengangguk. "Kita belajar sama-sama. Aku yakin kamu juga pasti merasa aneh dan perlu banyak penyesuaian, karena aku juga begitu. Sudah adzan, aku ke masjid dulu." Atha menaruh cangkirnya di meja.
Kumandang adzan terdengar bersahutan di pagi pertama mereka setelah resmi sebagai suami istri. Jingga tak melarang Atha meski sejujurnya dia juga ingin merasakan shalat berjamaah dengan pria itu, mungkin bisa lain waktu.
"Ya Mas. Mau dibuatkan apa untuk sarapan?"
"Terserah kamu saja, aku nggak pilih-pilih makanan kok." Atha menyahut.
"Baiklah." Jingga menyerahkan selembar sajadah pada suaminya dan kembali ke kamar Nania untuk menjalankan kewajibannya sebagai umat muslim.
Nania melakukan ibadah di ranjang dengan Jingga sebagai imamnya, lalu begitu selesai shalat subuh Jingga mengajak ibu mertuanya ke dapur. Dua wanita itu berbincang sangat akrab dan membicarakan banyak hal. Nania membantu mengupas bumbu, sedang Jingga sibuk di depan penggorengan membuat pisang goreng dan nasi goreng untuk sarapan.
Perempuan beda generasi itu menoleh saat mendengar salam, lalu menjawab dengan kompak.
Atha merasa damai melihat pemandangan pagi ini, setidaknya dia tak perlu mencemaskan ibunya karena sudah ada Jingga yang bisa merawatnya dengan baik.
"Duduk, Nak, kita sarapan bersama. Istrimu sudah masak buat kita."
"Iya Bu."
Aroma manis pisang goreng membuat Atha mencomot sepotong gorengan itu yang telah disiapkan Jingga di piring. Nasi goreng buatan Jingga pun sudah berhasil dipindahkan di wadah.
Lagi, Atha dibuat terpukau melihat Jingga yang dengan cekatan melakukan banyak hal sekaligus. Menuang nasi goreng dan membaginya dalam tiga piring, menyediakan air minum dan memastikan kebutuhannya juga kebutuhan Nania terpenuhi, barulah Jingga duduk. Perempuan itu bahkan tetap terlihat cantik sekalipun hijab yang dipakainya agak miring.
"Kamu masih pakai hijab di rumah? Padahal kita sudah menikah," Seloroh Atha.
"Hm, iya Mas maaf. Aku masih belum terbiasa. Nanti deh aku lepas."
Atha tersenyum, beruntungnya dia mendapatkan istri sebaik Jingga yang tak hanya pandai untuk urusan rumah tangga, tapi juga pandai menjaga diri.
"Masakan kamu memang nggak pernah mengecewakan, Ngga," Puji Nania.
"Nggak boleh bicara selagi kita makan, Bu." Atha menatap ibunya, padahal yang sebenarnya dia tak ingin ada yang mengganggu kegiatannya mengagumi Jingga.
Wanita tua itu tersenyum. Mereka melanjutkan acara sarapan bersama pagi itu itu dengan khidmat.
"Kalian ada rencana mau bulan madu ke mana gitu?" Tanya Nania. Saat ini mereka telah berpindah ke ruang tengah, berbincang dengan ditemani secangkir teh.
"Aku belum kepikiran Bu, soalnya minggu-minggu ini ada banyak kerjaan yang harus selesai. Maaf ya Ngga." Pria itu beralih menatap sang istri.
"Iya nggak apa-apa Mas. Lagi pula bulan madu juga bukan sesuatu yang wajib, Bu. Ada banyak sekali hal yang harus dipertimbangkan sebelum memutuskan untuk pergi. Jingga takut nggak ada yang urus Ibu kalau aku dan Mas Atha pergi bulan madu," Sahut Jingga.
"Kan ada Bi Surti. Sementara biar dia yang jagain Ibu selagi kalian nggak ada di rumah."
"Yang dibilang Jingga ada benarnya Bu. Kami bisa bulan madu lain waktu kok, sekalian aku cari waktu luang di sela-sela kesibukan kantor."
"Kamu kalau ngomongin pekerjaan nggak pernah ada liburnya, Tha. Kalau begini terus kan harapan Ibu buat punya cucu jadi lama."
Atha terkekeh. "Bu, Bu. Yang dipikir cucu terus, semuanya kan butuh proses."
"Justru itu, kapan prosesnya kalau kamu terus menerus sibuk kerja." Nania mendumel.
"Baiklah. Nanti aku cari waktu yang sekiranya aku sama Jingga bisa bulan madu. Dua minggu kira-kira biar pas pulang siapa tahu rejeki Jingga langsung dikasih hamil sama Allah."
Jingga menutupi wajahnya saat ucapan suaminya membuat tawanya meledak. Jingga memang masih belum bisa meraba hubungan mereka ke depannya akan seperti apa, tapi sejauh Jingga tahu. Jingga telah menikahi laki-laki yang baik. Atha sangat sayang, hormat dan juga mencintai Nania, itu adalah alasannya menerima perjodohan ini karena biasanya seorang pria akan sangat penyayang pada istrinya jika pria itu juga pandai memperlakukan ibunya dengan baik.
Bising suara yang bersumber dari benda yang teronggok di meja menghentikan perbincangan mereka. Atha melirik gawainya sambil mendengus sebal.
"Siapa Nak?" Nania menatap putranya yang terlihat jengkel.