Karena tak tahan benda itu terus berbunyi, Atha pun menekan simbol gagang telepon berwarna merah.
"Mengganggu saja."
"Memang siapa yang telepon?" Nania mengulangi pertanyaannya.
"I ...," Belum sempat lelaki itu menjawab pertanyaan ibunya, gawainya kembali menjerit. "Ish."
"Diangkat saja barangkali penting," Kata Nania.
"Harusnya mereka tahu kalau aku masih cuti, yang benar saja."
Meski mendumel, Atha tetap mengangkat panggilan masuk tersebut. Pria itu menempelkan ponsel di telinganya sedikit menjauh dari sana.
"Ada hal apa sampai kamu berani nelepon saya, kan kamu tahu saya masih cuti. Urusan kantor sudah saya serahkan sama Pak Wisnu, jadi kalau ada apa-apa sebaiknya kamu tanya langsung sama beliau." Atha menjawab, wajahnya terlihat sangat jengkel.
"Bukan soal pekerjaan Pak, maaf. Tapi ...," Suara seorang wanita terdengar menggantung di ujung telepon.
"Ada apa?" Bertanya dengan nada ketus.
"Saya kangen sama Bapak."
Atha membeku untuk beberapa detik, suara Mayang terdengar manja di indra rungunya. "Lalu apa hubungannya dengan saya? Gila kamu! Sudah dulu, saya nggak punya waktu buat meladeni kamu." Atha memutus panggilan itu sepihak, lalu menonaktifkan ponselnya.
"Siapa yang telepon? Kelihatannya kamu sampai kesal begitu?" Nania kembali bertanya saat melihat putranya duduk di sofa.
"Teman, Bu. Biasa. Kurang kerjaan mereka. Nggak tahu orang masih cuti masih saja diganggu. Heran." Atha terus bersungut.
"Aku ke kamar dulu, ternyata jadi pengangguran bingung juga mau apa." Atha bangkit dari duduknya.
"Kalian kan pengantin baru, ya lakukan kegiatan berdua biar makin akrab. Biar bisa saling mengenal lebih mendalam lagi antara satu sama lain," Tukas wanita tua itu.
"Ya, masalahnya bingung mau apa, Bu. Sebaiknya aku ke ruang kerja saja," Putus Atha.
Nania menggeleng pelan melihat tingkah putra semata wayangnya.
"Jingga juga mau beberes Bu, aku antar Ibu ke kamar ya?" Perempuan cantik bergamis ungu muda itu bersiap mendorong kursi roda mertuanya.
"Kalian ini bagaimana, pengantin baru kok ya begini. Kaku."
"Belum terbiasa Bu. Kami butuh waktu untuk penyesuaian." Jingga menjawab pelan agar tak ingin menyinggung perasaan Nania.
Sore harinya.
Jingga terperanjat saat daun pintu dengan cepat membuka dan Atha masuk tak lama setelahnya. Tangannya hendak menggapai hijab yang ia taruh di atas kasur, tapi kemudian gerakannya terhenti.
"Kenapa? Masih belum menyangka kalau aku sudah menjadi suamimu, dan berhak untuk melihat semua yang ada dalam dirimu?" Atha tahu betul apa yang sedang dirasakan Jingga saat ini.
"Masih sering lupa kalau aku sudah menikah sekarang. Maaf." Jingga menjawab tanpa berani menatap suaminya.
"Nggak apa-apa. Pelan-pelan saja nanti juga terbiasa."
Atha melangkah seraya melucuti kancing pakaiannya. Degup jantung Jingga berkejaran dengan napasnya yang memburu, terlebih saat pria itu terus memangkas jarak dengannya.
'Nggak mungkin Mas Atha akan meminta haknya di sore hari begini, bukan? Lagipula sebentar lagi adzan ashar.'
Jingga memejamkan mata saat tak ada lagi jarak di antara keduanya. Cukup lama perempuan itu membeku, menunggu apa yang akan Atha lakukan padanya hingga kemudian perkataan Atha membuatnya terkejut bukan main.
"Tolong ambilin handuk."
Wangi mint menyeruak saat hangat napas pria itu menerpa wajah Jingga, sontak wanita itu membuka matanya dan kembali dikejutkan begitu menyadari jarak antara wajahnya dengan wajah Atha sangat dekat. Hidung keduanya hampir menempel.
Atha terkekeh geli. "Aku mau mandi, tolong ambilin handuk." Memundurkan wajahnya.
"Eh, iy ... Iya Mas."
Jingga membuang muka saat tak sengaja melihat suaminya bertelanjang d**a, kemeja pria itu disampirkan di bahu. Tubuh Jingga sedikit bergetar melihat penampakan pria dewasa nan maskulin untuk pertama kalinya.
"Ini." Bahkan tangannya juga bergetar saat memberikan selembar handuk pada Atha.
Atha menerimanya, lalu berjalan memasuki kamar mandi dengan senyum yang tak kunjung pudar. Membayangkan reaksi Jingga yang malu-malu membuat Atha gemas.
Darah Atha berdesir begitu melihat istrinya keluar dari kamar mandi dengan wajah yang masih meneteskan air sehabis perempuan itu bersuci. Setelah menunggu giliran Jingga mandi, Atha memutuskan untuk shalat berjamaah dan sekarang keduanya pun saling menggelar sajadah untuk menunaikan kewajibannya.
Sepasang suami istri itu begitu khusuk. Atha membalikkan badan lalu menyodorkan tangannya untuk Jingga cium.
"Lebih dekat lagi, aku belum membacakan doa untukmu."
Jingga menurut, ia mengangsurkan tubuhnya lebih dekat. Perlahan matanya terpejam saat telapak tangan Atha menyentuh ubun-ubunnya. Sekujur tubuhnya meremang saat dengan lirih tapi penuh ketegasan, Atha melafalkan doa dan meniup puncak kepalanya. Setitik kristal bening luruh dari sudut mata Jingga dan dengan cepat wanita itu menyekanya.
"Semoga Allah lekas menumbuhkan cinta di hati kita. Semoga rumah tangga kita diberkahi dan diberikan keturunan yang shalih dan shalihah."
Jingga mengaminkan doa suaminya. Sepasang insan itu saling bertatapan sampai akhirnya Jingga memutus pandangannya.
"Mas Atha mau dimasakin apa buat makan malam? Biar aku sama bibi siapin." Jingga melepas mukenanya, dan kembali memakai hijab bergonya.
"Enggak usah. Kita makan malam di luar saja biar sekalian jalan-jalan."
"Terus ibu gimana?"
"Sama bibi lah." Atha menjawab.
"Kan sebentar lagi juga bibi pulang Mas?"
"Kamu lupa ya? Menantunya Bi Surti kan sudah pulang jadi bibi nggak perlu tinggal di rumah anaknya buat ikut jagain cucunya lagi."
"Maksudnya?" Jingga masih belum mengerti.
"Maksudnya mulai hari ini bibi akan menginap di sini, jadi bibi nggak akan pulang pergi lagi. Masih belum paham?" Atha tertawa kecil melihat ekspresi wajah Jingga yang tampak lucu.
"Oh. Alhamdulillah kalau begitu."
"Ya. Ibu nggak mau aku menyengsarakan menantu kesayangannya, nggak mau kamu kecapekan padahal kamu sendiri yang ngotot melakukan pekerjaan rumah sendiri biarpun sudah jelas itu sudah menjadi tugas Bi Surti." Atha mengoceh panjang lebar.
"Daripada nggak ada kegiatan selagi ibu istirahat. Lagi pula aku cuma bantu meringankan pekerjaan bibi saja."
"Ya sudah. Ayo, mumpung masih sore. Takutnya nanti maghrib kita masih di jalan," Kata Atha.
"Aku ganti baju dulu boleh?"
"Ya boleh lah, masa mau ganti baju pun pamit." Lelaki itu tertawa renyah.
"Takutnya kan kamu nggak mau nunggu." Jingga bangkit, mengganti pakaian dan juga kerudungnya.
Atha menunggu sambil berselancar di dunia maya. Sesekali tatapannya tertuju pada Jingga yang sedang mengoles tipis perona bibir.
Tak butuh waktu lama karena Jingga hanya menyapukan sedikit pewarna di bibirnya, lalu wanita itu mengambil tas selempangnya.
Mobil terus melaju membelah jalanan yang dipadati pengendara. Jingga menggigiti bibirnya salah tingkah saat memergoki suaminya tengah menatapnya dengan senyum yang tak bisa diartikan.
"Kamu mau makan di mana?" Atha bertanya sekedar mengusir rasa canggung.
"Terserah Mas saja."
"Ya sudah kalau begitu, gimana kalau kita makan steak, mau?" Jingga mengangguk.
Kebisuan kembali melanda menemani sisa perjalanan mereka menuju sebuah restoran. Atha memilih meja yang ada di sudut ruangan itu. Suasana ruangan dengan tata cahaya redup dan lilin yang dinyalakan menambah kesan romantis. Jingga tahu betul untuk makan di sana perlu merogoh kocek dalam, terbukti dari segi pelayanan dan semua aspek yang serba mewah.
"Aku ke toilet sebentar ya," Pamit Atha, sesaat setelah dia memesan makanan pada pelayan.
"Iya Mas."
Atha menyusuri lorong menuju kamar kecil sambil berbalas pesan dengan orang kepercayaannya di kantor yang membahas mengenai pekerjaan. Karena fokusnya terus tertuju pada layar benda tipis itu, Atha tak sengaja menabrak seseorang.
"Aduh."
Atha reflek menangkap tubuh ramping itu. "Maaf Mbak, maaf. Saya yang salah karena saya jalan nggak lihat-lihat."
Atha membantu perempuan itu bangun dan melepaskan tangannya dari tubuh perempuan itu. Saat tatapan mereka beradu, saat itulah Atha merasakan jantungnya menghentak kuat.