Bab. 9

1265 Kata
Atha langsung membuang muka dan tak henti beristighfar dalam hati, hampir saja hatinya disusupi dosa lebih banyak lagi. Jika Jingga sebagai istri saja selalu bisa menjaga diri, dia juga seharusnya bisa berlaku sama. Sebagai seorang pria Atha diharuskan menundukkan pandangannya pada wanita selain bukan mahramnya. "Tuh kan, saya sebenarnya curiga Pak, Jangan-jangan kita itu jodoh. Kemarin pas Bapak fitting baju pengantin, kita ketemu di butik, dan sekarang kita nggak sengaja ketemu lagi di sini." Mayang terus mengoceh. "Ngaco kamu. Saya sudah nikah, masa iya saya jodoh kamu." Atha menggeleng menatap sekretarisnya tak percaya. "Ya siapa tahu. Banyak kok pria di luaran sana yang beristri dua. Beneran Pak, ditinggal nikah sama Bapak bikin saya patah hati berat. Untung saya masih bisa tahan dan nggak nekat untuk mengakhiri hidup saya Pak," Celoteh Mayang. "Makanya cari calon suami yang benar. Kamu begini pasti karena frustasi sering diPHPin sama cowok, iya kan?" Tebak Atha. "Kok Bapak tahu sih? Iya emang benar, tapi aku juga memang sedang proses mencari calon imam yang baik. Salah satunya Bapak." Mengedipkan sebelah matanya menggoda. "Cari pria lain sana. Masih banyak kok stok laki-laki yang masih lajang di luaran sana, saya kan sudah menikah," Tukas Atha. "Tapi berat Pak soalnya ini masalah hati. Saya terlanjur cintanya sama Bapak. Saya rela kok Pak kalau seandainya dijadikan istri kedua." Atha mendelik dibuatnya. "Sudah, saya malas meladeni kamu." Atha berlalu dari sana. "Pak tunggu Pak! Saya kan belum selesai bicara," Teriak Mayang, berusaha menahan pria itu. "Banyak pria lajang yang bisa kamu dekati, Mayang dan itu bukan saya!" Tegas Atha. Mayang menghentakkan kakinya di lantai, rasanya kesal bukan main saat perasaan cintanya pada seseorang tak berbalas dan sering diabaikan. Atha menghela napas panjang beberapa kali sebelum melanjutkan langkahnya kembali ke meja di mana dia meninggalkan Jingga tadi. Entah mengapa Atha selalu merasakan getaran aneh saat berhadapan dengan Mayang, jiwanya serasa dibuat terhipnotis untuk selalu tertuju pada wanita itu. Lagi, Atha beristighfar memohon pengampunan Sang Pencipta karena telah lancang memikirkan wanita lain bahkan saat istrinya sendiri ada di hadapannya. "Ada apa Mas? Kamu sakit?" Jingga menatap suaminya dengan cemas. "Enggak kok," Sanggah lelaki itu. "Aku lihat muka kamu pucat, kamu juga agak lama tadi jadi aku pikir kamu kenapa-kenapa." "Aku nggak apa-apa kok, beneran. Makanannya sudah sampai kenapa kamu masih belum makan?" Atha mengalihkan pembicaraan. "Aku kan nungguin kamu." Jingga menyahut lirih. "Ya sudah. Sebaiknya kita makan sekarang, aku juga sudah lapar banget." Atha mengiris daging berbalut bumbu hitam itu menjadi potongan yang mudah dimakan. Ia lalu menukar piringnya dengan piring Jingga. "Kamu makan ini saja." "Terima kasih Mas." Jingga memberanikan diri menatap suaminya, memberikan senyum terbaiknya untuk pria itu. Bukankah sudah halal baginya dan justru merupakan amal ibadah yang dicatat sebagai pahala? Atha menyantap makanannya tanpa minat, angannya malah terus tertuju pada pertemuannya yang tak disengaja dengan Mayang tadi. 'Astaghfirullah, perasaan apa ini. Hilangkan perasaan ini dalam hatiku ya Allah karena hanya Jingga seorang yang seharusnya membuat jantungku berdebar seperti ini.' Atha menggeleng berusaha mengenyahkan ingatannya pada Mayang, sekretarisnya yang cantik dan selalu menggodanya. "Ada apa Mas?" Atha terkesiap. Ah, lagi-lagi dia melamun. "Enggak apa-apa Ngga," Dustanya. "Aku lihat kamu terus menggelengkan kepala, kamu pusing?" Jingga semakin penasaran karena Atha terlihat mencurigakan. "Enggak kok." Mereka tak lagi berbicara, sampai mereka masuk mobil dan memutuskan untuk pulang ke rumah. Jingga merasa ada yang aneh dengan suaminya. Awalnya Atha terlihat begitu bersemangat mengajaknya makan malam di luar, lalu setelahnya mereka bisa melanjutkan acara dengan jalan-jalan sekedar melepas penat, tapi kemudian pria itu berubah menjadi pendiam. Tanpa alasan yang jelas Atha membatalkan rencana jalan-jalan dan memutuskan untuk kembali ke rumah dengan cepat. Jingga turun dari mobil begitu suaminya memarkir kereta besi itu tepat di pelataran rumah. Nania tampak sumringah menyambut kepulangan anak dan menantunya. "Lho, Ibu belum tidur?" Tanya Jingga setelah mengucapkan salam dan duduk di sofa dekat ibu mertuanya. "Belum ngantuk, Nak. Kalian habis dari mana saja?" "Kebetulan kalau begitu, aku bawain martabak cokelat kacang favorit Ibu. Tolong minta dipindahkan ke piring ya, Bi," Pinta Jingga pada Surti yang memang sedang duduk menemani Nania di sana. "Baik, Non." Surti pergi ke dapur membawa bungkusan kotak pemberian Jingga. "Nanti habis makan martabak, ibu langsung istirahat ya? Aku nggak mau Ibu begadang." "Iya Nak. Tapi kamu belum jawab pertanyaan Ibu tadi?" "Pertanyaan yang mana, Bu?" Jingga ikut duduk di samping mertuanya. "Kalian habis dari mana saja tadi?" "Oh, itu. Hanya pergi ke restoran steak, Bu." Jingga menjawab. "Katanya mau jalan-jalan?" "Enggak jadi, mendadak Mas Atha minta pulang," Ungkap Jingga. "Hm. Ya sudah, pergi ke kamar saja dan cepat istirahat." Nania menggoda menantunya, menaikturunkan alisnya mengkode perempuan cantik itu. "Ah, Ibu. Aku malu." Jingga merengek layaknya bocah, paham akan maksud Nania. Tak lama berselang Atha masuk usai memarkirkan mobilnya di garasi. "Sudah sana, masuk kamar dan urus suamimu dengan baik." Nania berbisik pada menantunya. "Kok Ibu belum tidur? Mau Atha gendong ke kamar?" "Nggak usah, Ibu mau makan martabak dulu habis itu baru tidur. Sudah sana, kalian naik saja ke atas. Kamu nggak lihat itu Jingga kecapekan." "Aku bantu Ibu ke kamar dulu, lagian Ibu kan bisa sambil makan martabaknya di kamar. Suruh bibi bawa makanannya ke kamar ya Ngga," Pinta Atha pada istrinya, lalu menggendong ibunya ke kamar. "Tha, Ibu belum mau tidur jadi nggak usah diselimuti begini," Protes Nania saat Atha menaikan kain tebal berbulu itu sebatas dadanya. "Kan biar badan Ibu jadi hangat." "Tapi Ibu nggak kedinginan Atha. Hm, Tha?" "Iya Bu, apa lagi?" Suara lelaki itu terdengar begitu lembut saat berbicara dengan ibunya. "Ibu sudah ingin menimang cucu," Cetus Nania. Gerakan tangan Atha terhenti, reflek selimut yang digenggamnya itu terlepas. "Ibu ini sudah tua Tha, kamu juga tahu kalau Ibu penyakitan. Kondisi Ibu bisa dengan cepat berubah-ubah dan kadang mendadak drop. Ibu punya cita-cita untuk bisa melihat cucu Ibu lahir sebelum Ibu menyusul ayahmu, melihat anak kamu." Atha menghela napas, lalu mendaratkan bokongnya di bibir ranjang. "Atha ngerti seberapa besar impian Ibu untuk menimang cucu, tapi semuanya kan butuh proses Bu. Aku dan Jingga masih dalam tahap pendekatan dan semuanya nggak semudah yang Ibu bayangkan. Aku yakin Ibu jauh lebih tahu dari aku, tapi bukanlah untuk melakukan itu selain diniatkan untuk ibadah dan mengharap pahala juga butuh cinta, Bu. Rasanya akan sangat aneh jika tiba-tiba aku dan Jingga melakukannya tanpa ...," "Mau sampai kapan?" Nania memotong perkataan anaknya. "Setidaknya beri kami waktu Bu, kami juga baru menikah dan bahkan baru saja mulai melakukan proses pendekatan. Semuanya nggak bisa instan Bu, cukup do'akan agar cinta segera tumbuh di hati aku dan Jingga." Atha menciumi tangan ibunya. "Kalau itu sudah pasti, tapi kalau bisa jangan lama-lama ya?" Atha tersenyum simpul. "Bu, Bu. Kan tadi sudah aku bilang, aku masih belum mencintai Jingga, dan aku nggak mau melakukan itu sebelum adanya cinta di hatiku buat dia biarpun cuma sedikit," Tegasnya. "Tapi kalau terlalu lama juga kamu dzalim namanya." "Begitu?" Atha menatap ibunya dengan dahi berkerut. "Iya. Karena sebagai istri selain mendapatkan nafkah lahiriah, Jingga juga membutuhkan nafkah batin. Suami yang sengaja menunda atau menahan memberikan hak seorang istri bisa disebut sebagai suami dzalim," Tukas Nania. "Masalahnya benar-benar nggak semudah itu, Bu. Aku nggak mau melakukan itu tanpa adanya cinta karena aku tahu sesakral apa kegiatan itu. Hal itu akan menjadi ibadah pertama kami, dan aku takut Bu. Aku takut tidak bisa melakukan kewajibanku memberikan nafkah batin pada Jingga karena terus terganggu dengan masalah itu," Lirih Atha, tertunduk. Sementara itu di luar kamar. Jingga yang berniat masuk untuk membawakan Nania s**u dan juga martabak, urung melanjutkan langkahnya begitu mendengar percakapan antara ibu dan anak itu. Jingga semakin erat memegangi nampan seolah takut menjatuhkan benda itu. Ada sesuatu di dalam sana yang seperti tersengat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN