“Aku ingin bercerai.” Alexandra berkata serius di seberang telepon.
“Apa kau serius?” Suara Joshua terdengar dingin dan tajam.
“Ya. Aku ingin bercerai dan aku tidak butuh satu sen pun darimu,” balas Alexandra tanpa ragu.
Joshua mendengus penuh penghinaan. “Apakah ini trik barumu lagi untuk menarik perhatianku?”
“Aku tidak peduli apa yang kau pikirkan. Datanglah ke pengadilan besok pagi. Aku akan me-”
Tidak memberi kesempatan Alexandra untuk menyelesaikan kata-katanya, Joshua langsung memutuskan sambungan telepon secara sepihak.
Melihat wajah Joshua yang tampak muram, Candise mengelus rahang pria itu dengan lembut dan bertanya dengan suara merdu, “Apa yang terjadi? Kenapa kau terlihat marah?”
Joshua hanya menggelengkan kepala seraya mengambil gelas wine miliknya. Kepalanya dipenuhi dengan ucapan Alexandra barusan. Ia tidak percaya wanita itu benar-benar akan menceraikannya.
Alexandra tidak memiliki latar belakang yang baik dan tidak memiliki kemampuan apa pun yang bisa digunakan untuk mencari nafkah. Jadi, kenapa wanita yang tidak bisa hidup tanpa dirinya itu ingin bercerai darinya? Sangat konyol.
Joshua yakin bahwa ini pasti adalah trik baru Alexandra untuk menarik perhatiannya dan cepat atau lambat wanita itu akan kembali untuk memohon padanya. Namun, sepertinya ia sedikit keliru dengan keyakinannya itu.
Karena keesokan harinya, Alexandra telah menunggu Joshua di depan gerbang pengadilan sipil. Pria itu keluar dari mobil SUV hitamnya dengan wajah tampan dan pesona yang tak tertandingi hingga menarik perhatian orang-orang.
Joshua berdiri tepat di hadapan Alexandra, menatapnya dengan tatapan tajam dan dingin. “Apa yang kau inginkan dengan datang ke sini?”
“Perceraian,” ucap Alexandra mantap. Tak ingin menjelaskan lebih banyak, ia langsung beranjak masuk ke dalam gedung pengadilan dengan Joshua mengikut di belakangnya.
Di dalam ruangan, hakim dan staf telah menunggu. Mereka menyelesaikan prosedur perceraian dengan cepat hingga mencapai tahap terakhir, yaitu penandatanganan surat cerai. Alexandra hanya melihat sekilas isi surat tersebut sebelum membubuhkan tanda tangannya tanpa ragu kemudian memberikan kertas tersebut pada Joshua.
Tindakan tegas dan tanpa keraguan itu menimbulkan perasaan tidak nyaman pada Joshua. Pria itu merasa sedang melihat orang asing dalam diri Alexandra. Wanita yang dulu selalu bergantung dan menempel padanya kini dengan berani meminta perceraian padanya.
Melihat Joshua yang hanya terdiam, Alexandra kembali mendorong kertas tersebut sedikit lebih dekat pada pria itu. “Silakan tanda tangan, Tuan Carter.”
Joshua mencibir meremehkan kemudian memperingatkan Alexandra. “Kau tidak akan mendapatkan apa pun dari perceraian ini. Apakah kau yakin tidak akan menyesal telah melakukan ini, Nyonya Carter?”
Alexandra menatap tepat di mata Joshua dan dengan mantap menjawab, “Ya. Aku yakin seratus persen tidak menyesalinya, Tuan Carter.”
Joshua diam sejenak sebelum akhirnya menandatangani surat cerai itu. Permohonan cerai pun diajukan.
“Permohonan cerai kalian akan segera diproses dan putusan pengadilan akan dikeluarkan tiga bulan lagi. Selama waktu jeda tersebut, kalian bisa memikirkannya kembali dan dapat menariknya kapan saja jika kalian berubah pikiran atau menyesalinya,” ucap sang hakim memperingatkan.
Mendengar itu, Alexandra berkata tegas, “Saya tidak akan berubah pikiran atau pun menyesalinya.”
Seketika wajah Joshua menjadi gelap mendengar ucapan wanita itu. Ia mengamati wajah Alexandra dan menemukan tidak ada penyesalan di sana. Apa yang wanita itu lakukan hari ini memang sangat mengejutkannya dan itu membuat perasaan Joshua jadi campur aduk.
“Walau dia menyesal pun, aku tidak akan memberinya kesempatan untuk kembali.” Setelah mengatakan itu, Joshua langsung keluar dari ruangan.
Alexandra tersenyum, mengangguk pada hakim dan staf kemudian menyusul pria itu keluar ruangan. “Sampai jumpa tiga bulan lagi, Tuan Carter. Aku harap ki-” Belum sempat ia menyelesaikan kata terakhirnya, Joshua sudah beranjak masuk ke dalam mobilnya dan melaju dengan cepat, meninggalkannya.
Alexandra menggelengkan kepala. Pria itu masih memperlakukannya dengan kasar bahkan setelah mereka bercerai. Yah. Ia memang tidak mengharapkan apa pun lagi dari pria itu.
Setelah termenung beberapa saat, Alexandra meraih ponsel dari dalam tasnya kemudian menghubungi seseorang. “Aku sudah bercerai. Bisakah kau menjemputku di depan pengadilan sekarang?”
Ia kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas seusai mendengar jawaban orang di seberang telepon. Selama menunggu, Alexandra mengenang kembali empat tahun masa pernikahannya bersama Joshua. Itu adalah masa-masa penuh luka, tapi juga bahagia dalam hidupnya.
Walau harus merendahkan diri dan menerima penghinaan setiap saat, tapi Alexandra bahagia bisa berada di sisi pria yang ia cintai. Meski pada akhirnya, cinta itu menjadi kekalahan baginya.
Tak lama, sebuah mobil sport convertible yang atapnya dibiarkan terbuka berhenti di depan Alexandra dan dua wanita langsung melompat keluar tanpa membuka pintu.
“Apa yang terjadi? Kau benar-benar bercerai?” Gwen Lira Forest, sahabatnya, langsung bertanya.
Alexandra mengangguk. “Ya.”
“Brilian!” Gwen berseru lega.
“Sungguh? Kau tidak sedang berbohong, ‘kan? Kau benar-benar telah bercerai dari si brengsekk itu?” Kali ini Valery Alison Scott, adiknya, bertanya memastikan.
Mengabaikan pertanyaan Valery, Alexandra menatap Gwen dan berkata, “Aku hanya menghubungimu. Tapi, kenapa dia juga ada di sini?”
“Kebetulan kami sedang bersama saat kau menelepon, jadi aku sekalian membawanya,” ucap Gwen.
Alexandra menggelengkan kepala kemudian beranjak masuk ke dalam mobil, duduk di samping kursi pengemudi. Gwen dan Valery pun segera menyusul, langsung melompat masuk seperti saat mereka keluar tadi.
“Dulu kau adalah gadis yang sangat keren dan bersinar ke mana pun kau melangkah. Tapi lihatlah sekarang, kau kehilangan cahayamu dan menjadikan dirimu sendiri pelayan pria itu. Syukurlah, akhirnya kau sudah bebas. Selamat untukmu.” Gwen menepuk pundak Alexandra sedikit prihatin sekaligus senang atas kebebasan sahabatnya.
Valery yang duduk di belakang mengangguk setuju. “Aku juga ikut bahagia untukmu, Lexy. Sekarang saatnya pulang ke rumah dan mengambil alih perusahaan. Kami semua merindukanmu. Terlebih Ayah sudah tidak sabar ingin memberikan kursinya padamu.”
Alexandra menggigit bibirnya tanpa mengatakan apa pun. Ia jelas sedang berada dalam suasana hati yang buruk sekarang.
Gwen yang menyadari suasana hatinya lantas menaikkan atap mobil. “Tidak perlu menahannya, Lexy. Kami akan selalu berada di sampingmu.”
Melihat Alexandra mulai meneteskan air mata, ia segera memeluk sahabatnya itu dengan erat. Valery yang tak ingin ketinggalan ikut memeluk dari belakang. Mencoba memberikan semangat untuk kakaknya.
Setelah cukup lama, Alexandra menyeka air matanya dan tersenyum canggung. “Aku belum siap untuk pulang ke rumah, Lery. Apalagi aku sudah lama meninggalkan perusahaan. Aku khawatir tidak bisa mengelolanya dengan baik.”
Valery yang kesal dengan sikap pengecut Alexandra lantas menarik pelan rambut kakaknya hingga membuatnya mengaduh sakit. “Kau terlalu lama merendahkan diri di keluarga itu sehingga kehilangan jati dirimu, Lexy. Kau adalah si jenius yang tidak pernah kalah dalam persaingan apa pun dan selalu mengambil keputusan yang tepat. Ayah tidak ragu memberikan kursinya padamu karena dia percaya padamu.”
“Benar. Pria itu telah membutakanmu dan membuatmu lupa betapa brilian dan bersinarnya dirimu dulu. Tidak sulit untuk mengembalikan dirimu sendiri. Jangan pernah meragukannya dan percaya dirilah.” Gwen ikut menyemangatinya.
Alexandra termenung. Mengenang masa lalu ketika dirinya yang bahkan masih berusia belasan tahun telah turun tangan untuk membantu perusahaan dan memberikan banyak keuntungan. Itu melelahkan, tapi ia bahagia disetiap keputusan yang diambilnya.
Namun, kegagalan pernikahannya merupakan pukulan telak baginya untuk bisa mengembalikan dirinya yang dulu. Seolah semua keputusan yang dulu ia ambil adalah sampah. Alexandra membutuhkan lebih banyak waktu untuk menyesuaikan kondisinya.
“Aku akan memikirkannya nanti. Sekarang aku lelah dan ingin istirahat,” ucap Alexandra seraya memejamkan mata. “Dan Lery, jangan beritahu Ayah dan Ibu tentang ini. Aku sendiri yang akan memberitahu mereka nanti.”
“Baiklah.”
***
Setelah menghabiskan waktu satu malam di rumah Gwen, keesokan harinya Alexandra pergi ke rumah Joshua untuk mengambil barang-barangnya dan Nora. Ia tidak masuk dan hanya memanggil pelayan untuk mengambilkan barangnya.
Tak lama, mobil SUV hitam berhenti di sampingnya dan Joshua keluar dengan wajah dingin tapi penuh cibiran. Alexandra menghabiskan waktu satu malam di luar, tapi ia bahkan tidak peduli. Dan sesuai dugaannya, sekarang wanita itu kembali setelah mengetahui bahwa trik barunya telah gagal.
“Masuk. Ini saatnya mengakhiri lelucon busukmu.” Joshua dengan arogan memberi perintah.
Alexandra sempat tertegun sebentar sebelum menyadari maksud pria itu. Joshua berpikir bahwa dirinya masih tidak bisa melepaskannya dan menyesal telah meminta perceraian. Dengan geli, ia mengingatkan pria itu, “Tuan Carter, sepertinya ingatanmu memburuk. Kita baru saja bercerai kemarin.”
Seketika wajah Joshua menjadi gelap. Dengan nada dingin ia berkata, “Alexandra Letizia Carter! Apakah kau sungguh ingin melewati batas dan menguji kesabaranku?!”
Bertepatan dengan itu, sebuah mobil sport berhenti tak jauh dari mereka. Sontak Alexandra menoleh dan melihat seorang pria tampan dengan perawakan memukau keluar dari mobil bersama seikat bunga mawar di tangannya.
Mengabaikan keterkejutan Alexandra, pria itu berjalan menghampiri lalu memberikan bunga mawar tersebut padanya. Begitu Alexandra menerimanya, pria itu segera meraih pinggangnya dengan mesra.
“Selamat atas perceraianmu, Alexandra.” Pria itu berkata lembut disertai senyum hangat. “Apakah aku sudah punya kesempatan untuk berdiri di sampingmu sekarang?”
***
To be continued.