Bagi sebagian besar orang, menunggu itu sangat sulit. Hampir tidak bisa mereka tahan. Menunggu seseorang yang berharga untuk pulang, menunggu senyumnya saat yang ditunggu kembali. Tapi bagi seorang wanita seperti Jennie yang telah menunggu selama hampir satu tahun, menurutnya, menunggu adalah hal yang paling menyenangkan.
Ya, setidaknya, dia tahu bahwa suaminya akan pulang. Tidak peduli seberapa lama dia menunggu.
Jennie berdiri di depan meja, memandangi sebuah potret dirinya dan sang suami lima tahun lalu. Sepasang pria dan wanita muda, berdiri menghadap lensa kamera, tersenyum lebar sambil memamerkan akta nikah mereka.
Ah, betapa bahagianya senyuman kala itu.
"Mama, Dika nangis terus nih."
Jennie terlalu fokus bernostalgia memandangi potret hingga tidak sadar bahwa putra sulungnya memanggilnya sedari tadi.
Dia menunduk, melihat wajah Rhaditya, putra pertamanya yang begitu mirip dengan sang suami. Seketika, rasa rindu dan khawatir di dalam hatinya hilang tak berbekas.
"Kok dibiarin nangis, sih, Kak, dedeknya." Dia berjalan menuju kamar di ikuti bocah berumur empat tahun yang sering dipanggil Tya itu.
"Gatau, bangun tidur terus nangis," jawab Tya dengan suara kekanak-kanakan.
"Wooo … uuu."
"Uhh … cup, cup, cup. Jangan nangis dong, Sayang." Jennie meraih tubuh bayi berumur kurang dari satu tahun yang terbaring di atas tempat tidur, mencoba menenangkan suara tangisannya.
"Iya nih, Dika, masa kamu nangis terus. Nanti pas papa pulang nggak di beliin robot-robotan lho."
"Tuh, tuh, katanya kalau Dika nangis nanti nggak dikasih robot-robotan sama papa. Jadi, kamu jangan nangis lagi ya!"
Dibujuk berkali-kali pun percuma, bayi bernama Radhika itu tidak kunjung berhenti. Jennie sampai sakit kepala di buatnya. Kadang, di saat-saat seperti ini, Jennie berharap ada suami yang menemani. Ikut menenangkan putra bungsu mereka, seperti yang sering dia lakukan saat bulan-bulan pertama kelahiran Tya.
Tahun itu, suaminya masih di rumah. Bekerja serabutan untuk menghidupi keluarga kecil mereka. Saat itu, Tya yang masih berumur lima bulan menangis dengan keras. Tidak peduli seberapa keras Jennie membujuk, tangisannya tidak kunjung berhenti. Namun, ketika suaminya baru saja keluar dari kamar mandi, pria itu langsung mengambil alihnya.
"Sini, aku yang gendong. Kamu pergi mandi aja!" kata suaminya waktu itu.
Jennie menyerahkan Tya kecil padanya. "Mas yakin bisa gendong Tya?"
"Ya, bisalah. Tya, kan, anakku. Masa gini doang enggak bisa sih." Pria itu mulai menimang sang anak dengan penuh kasih sayang.
"Ya sudah aku mandi dulu kalau gitu."
"Anak Papa kok nangis terus sih? Kenapa, hm?" Suara pria itu melembut, mencolek hidung kecil bayi lucu itu.
"Uu …." Tangisan Tya kecil berubah menjadi rengekan, memandangi sang ayah dengan mata bulatnya. Lidah merah muda bayi itu menjulur, mencoba mencapai pangkal hidung yang gatal karena tangan sang ayah. Namun, usaha bayi itu gagal karena lidahnya terlalu pendek.
"Hm? Shh ... tidur-tidur. Kasian mama kalau Tya nakal."
Ingatan Jennie berhenti sampai di sana ketika sang anak yang ada dalam pelukannya tiba-tiba berhenti menangis. Merasakan bahwa nafas Dika semakin teratur, dia tahu jika Dika sudah tertidur. Mungkin karena lelah menangis.
***
Tahun-tahun pertama menunggu suaminya baik-baik saja, dia tidak merasa ada yang salah karena mereka masih berkomunikasi. Saling menghubungi lewat telepon, mengirim pesan. Sampai di tahun kedua, Jennie merasa sang suami semakin sulit untuk dihubungi. Beberapa kali Jennie coba menghubungi. Namun, pihak lain berkata jika dia sibuk. Tidak ada waktu.
Tahun ketiga, Tya semakin besar, sering bertanya kapan ayahnya akan pulang. Dia tidak sabar ingin membeli banyak mainan. Jika Tya sudah bertanya, Jennie hanya bisa memberi jawaban, "Papanya, kan, lagi kerja. Cari uang buat Tya sama Dika makan. Nanti kalau papa pulang, Mama pasti kasih tahu Tya." Padahal setelah tahun ketiga ini, tidak ada sepeser pun uang yang dikirim suaminya hingga membuat Jennie harus bekerja sebagai buruh cuci di kampung.
Di tahun keempat, sudah tidak ada lagi jejak. Seolah semua masa indah yang dia alami bersama sang suami selama bertahun-tahun hanyalah ilusinya.
Hari itu, Jennie pergi ke pasar untuk membeli beberapa lauk untuk dia dan dua putranya makan. Dijalan, dia melihat seorang kakek tua penjual koran yang belum terjual satu pun, Jennie berniat membeli satu sebagai penglaris. Tapi Jennie tidak berniat untuk segera membukanya, dia membeli setengah kilo ikan, pulang ke rumah dan memasak makanan untuk Tya dan Dika. Setelah selesai, dia pergi ke kamar dengan koran di tangannya, siapa yang tahu bahwa koran yang dia beli adalah koran bisnis.
Dia tidak mengerti apa yang dibahas di sana. Tapi, satu hal yang dia tahu. Potret suaminya ada di koran. Di foto setengah badan dengan balutan jas mahal, menatap lensa kamera dengan raut wajah tanpa ekspresi.
RANATHA CANDRA JUARRY
Pebisnis muda yang sudah memulai karir di dunia bisnis sejak umur 23 tahun. Kini, di umurnya yang baru berusia 27 tahun, perusahaannya sudah tercatat di pasar internasional.
Ya, begitulah artikel di surat kabar itu. Pada dasarnya, semua berbicara tentang pencapaian dari suaminya dalam dunia bisnis.
Jennie pun kaget, dia bahkan hampir merobek kertas koran di tangannya. Ada debaran beberapa tahun lalu yang telah lama hilang. Ada harapan, rasa bahagia, dan ketidaksabaran. Kebahagiaannya membuncah sehingga Jennie tidak sabar untuk mengambil ponselnya, menghubungi nomor telepon perusahaan yang tertera di koran itu.
"Mas Candra udah sukses sekarang. Berarti dia pasti akan segera datang menjemput aku dan anak-anak, kan?" Jennie menarik nafas panjang sambil terus menunggu seseorang di seberang sana menjawab teleponnya.
Rasanya setiap nada tersambung dari panggilan telepon membuat harapan Jennie semakin besar.
"Halo."
"Halo, ada yang bisa saya bantu?"
"Mbaknya siapa ya?" Jennie bertanya. Berharap jika suaminya yang menjawab panggilan telepon itu. Namun sayangnya, malah seorang wanita yang menjawab teleponnya.
"Saya sekretarisnya bapak Candra, ada yang bisa saya bantu?"
Meskipun Jennie tidak terlalu tahu apa itu sekertaris, tapi di saat-saat dia punya kesempatan untuk menghubungi Candra, dia tidak terlalu khawatir.
"Saya mau bicara dengan Candra."
"Maaf, boleh saya tahu anda siapanya Pak Candra?"
Jennie secara spontan menjawab, "Saya istrinya."
Ada jeda yang cukup panjang di sana. Sekertaris itu tampaknya terdiam, entah karena apa.
"Pak Candra sedang ada meeting sekarang. Bisa Ibu menghubungi lain waktu?"
Suara wanita disana setenang air, bahkan saat Jennie memberitahukan bahwa dia adalah istri dari Candra, dia hanya terdiam untuk beberapa saat.
"Meeting?"
"Ya, maksudnya pak Candra sedang sibuk, Bu."
Jennie terdiam, dia juga tidak berani mengganggu Candra. Dengan suara rendah, Jennie membalas, "Baiklah, kalau begitu nanti saya telepon lagi ya, Mbak."
"Ya sudah, saya tutup teleponnya ya, Bu." Tanpa menunggu apa pun lagi, wanita di seberang sana segera menutup telepon.
Sekertaris Candra yang bernama Mega pun tampak mulai menatap pintu ruangan kaca yang tertutup. Wanita itu menghela napas dengan kasar. Raut wajahnya terlihat bingung. "Istri apa? Orang pacarnya pak Candra ada di dalam."