Jennie memandangi layar ponselnya untuk beberapa detik sebelum akhirnya meletakkannya di atas nakas dengan desahan kecewa. Jennie mengganti pakaiannya, keluar untuk melihat kedua putranya yang sedang duduk di atas karpet.
"Makannya udah?" tanya Jennie.
Tya mendongak, mengangguk pada sang ibu, "Tya juga udah cuci piringnya!"
"Pinter anak, mama." Lengan Jennie terulur, mengusap pucuk kepala Tya dengan lembut.
"Ma, kalo papa, pulang, Tya pengen mobil-mobilan yang pake remot. Kayak punya Farhan," ujar Tya.
Jennie terdiam. Farhan adalah salah satu anak tetangga disekitar rumah. Biasanya Tya mengandalkan Farhan untuk meminjam mainan temannya itu.
Dika, bocah laki-laki yang sedari tadi sibuk dengan mobil kecilnya juga mendongak, berseru dengan semangat, "Dika, juga! Dika, juga! Pengen pesawat terbang kayak iki."
Jennie tersenyum, mengiyakan. Kedua anak itu kembali sibuk bermain. Dalam hati, Jennie memandangi keduanya. Memutuskan beberapa tekad keberanian dalam hatinya. Akan lebih baik jika dia yang menemui Candra, kan?
***
Dua hari kemudian, Jennie memutuskan untuk pergi ke ibukota menemui Sang suami yang sudah empat tahun tidak kembali. Bermodalkan uang dalam celengan yang dia kumpulkan selama tiga tahun terakhir, dia pergi membawa kedua putranya dengan harapan.
Dengan setitik harapan yang tersisa, dia pergi.
Pertama, dia menaiki bus, lalu turun di terminal dan pergi ke stasiun kereta. Butuh waktu tiga jam sampai akhirnya Jennie benar-benar sampai di ibukota. Jennie melihat ke sekeliling yang ramai. Ini adalah pengalaman pertama dia pergi sejauh itu dari kampung kelahirannya. Masih dalam keadaan bingung, Jennie merasakan tarikan disudut pakaiannya.
"Kenapa?" tanya Jennie pada Tya.
"Aus, ma. Pen minum."
Jennie mengerti, dia juga haus. Apalagi cuaca disini panas. Tidak sejuk seperti di kampung mereka. Dia celingak-celinguk, melihat sebuah warung kecil tidak jauh dari tempatnya berdiri.
"Ayo ke sana." Dengan Dika yang tertidur di gendongannya, dia menarik Tya agar mengikuti.
Mereka sampai di depan warung, Jennie duduk di atas kursi panjang, diikuti Tya di sebelahnya.
"Buk, es tehnya, dua."
Seorang wanita setengah baya muncul dari dalam, melihat wanita muda dengan dua anak–dia bertanya dengan penasaran.
"Baru, ya, di kota?" tanya ibu itu. Tangannya dengan terampil membuat es pesanan Jennie.
"Iya."
"Cari kerja?" Dua es teh sudah jadi, si ibu penjual menyerahkan nya pada Jennie.
Jennie menggeleng. Mengambil es teh itu. Memberikan satunya pada Tya.
"Cari suami," jawab Jennie dengan jujur.
Si ibu mengangguk, "Suaminya kerja di kota? Itu anaknya tidurin dulu."
"Iya, anak-anak pengen ketemu papanya. Gak pa-pa, bu." Jennie menolak dengan sopan, membayar dua es teh, "Duluan, bu." pamitnya.
Si ibu penjual mengangguk, menatap punggung Jennie yang perlahan menjauh dari warungnya.
Tidak sulit untuk menemukan dimana Candra tinggal. Jennie melihat alamat sebuah perumahan elit di ponselnya. Membutuhkan sekitar 31 menit untuk sampai ke sana menggunakan angkutan umum. Sampai di perumahan itu, Jennie yang turun dari angkutan umum, hendak berjalan masuk, dihentikan oleh satpam penjaga. Dia ditanyai ingin bertemu siapa, dimana, apa hubungan mereka. Jennie berkata bahwa dia ingin bertemu Ranatha Candra Juarry, dia adalah istrinya.
Namun, pandangan satpam itu menatap seolah tidak percaya. Jennie mengeluarkan akta nikah yang dia bawa di tas kecil, menunjukannya pada satpam. Baru saat itulah dia di perbolehkan masuk.
Dika yang tadi tertidur juga sudah bangun, sehingga tidak perlu untuk Jennie menggendongnya terus menerus. Tubuh anak berusia lima tahun sudah sangat berat bagi Jennie. Dengan Tya di kirinya dan Dika di kanan, Jennie melanjutkan perjalanan mencari rumah yang ditinggali Candra.
Setiap rumah di perumahan ini berjarak cukup jauh. Sebagian besar rumah bergaya modern dengan tiga lantai. Ada juga rumah yang hanya memiliki dua lantai, tapi itu tidak kalah bagusnya.
Api harapan yang semula redup kini terang benderang di hati Jennie. Rumah-rumah disini sangat indah. Jennie berhenti di rumah ke delapan dari pintu masuk post satpam. Itu adalah rumah berlantai dua dengan gaya moderen. Pagar tinggi menghalangi Jennie dari pemandangan di dalamnya.
Jennie ragu, tapi di alamat yang ada di ponselnya, rumah Candra bernomor xxx dan ada kata 'Juarry' yang di ukir di tembok gerbangnya. Dan ini adalah rumah itu.
"Ini rumah, papa, ma?" Tya memandang ibunya yang ragu. Bertanya.
"Iya, ini, deh, kayaknya."
"Masuk, ma! Masuk." Dika berkata dengan semangat.
"Bentar sayang, gerbangnya ditutup. Kayaknya gak ada orang, deh."
Tidak jauh dari tempat Jennie dan kedua putranya berdiri, sang satpam rumah memperhatikan mereka dengan kening berkerut. Dia menghampiri dan bertanya dengan sopan.
"Permisi, bu. Ada yang bisa saya bantu?"
Jennie menoleh, melihat seorang pria setengah baya dalam balutan pakaian satpam.
"...oh, ini, rumahnya Ranatha Candra Juarry?" tanya Jennie memastikan.
Si satpam mengangguk.
"Saya, saya istrinya. Saya mau ketemu Mas Candra."
Mendengar apa yang dikatakan Jennie, satpam bernama Odi itu memandangnya dengan ragu, melihat bolak-balik antara rumah yang terhalang gerbang dan Jennie. Jennie tau jika pak Odi ini tidak percaya, dia akhirnya mengeluarkan akta nikah dan memperlihatkan nya pada Odi.
"Ini, akta nikah."
Odi meraih akta nikah ditangan Jennie, menatap dua foto yang ada disana. Memang, itu terlihat seperti bosnya, dan nama yang tertera di akta nikah juga nama bosnya. Odi mengembalikan akta nikah Jennie, menatap dua pria kecil yang sedari tadi hanya diam.
"Ini anak saya." Jennie jelas tau pandangan pak Odi pada anaknya, dia segera memberitahu.
Anak yang paling besar memang memiliki garis wajah yang sama dengan bosnya, hanya bedanya, wajah ini masih terlihat anak-anak. Odi menipiskan bibir, "Ayo, ke pos dulu, bu," ajak Odi.
Jennie mengangguk, menuntun kedua putranya untuk mengikuti Odi ke pot satpam tidak jauh di depan gerbang. Dia mendudukkan kedua putranya ke sofa kecil disana. Tau jika mungkin Tya dan Dika lelah mengikutinya sepanjang hari.
Setelah itu, dia pergi ke Odi, "Gimana, pak? Saya bisa ketemu suami, saya?"
Odi terlihat bimbang sampai akhirnya dia menjawab, "Aduh, gini, buk. Jaman sekarang akta nikah banyak yang palsu."
"Tapi punya saya gak palsu, pak!"
"Gimana, ya..."
"Bapak panggil Mas Candra nya, aja, kalo gitu. Bilang kalo saya ada disini."
"itu sih bisa-bisa kena geprek gua," batin pak Odi.
"Ayolah, pak, saya gak ketemu sama Mas Candra udah lima tahun. Dia juga pasti kangen sama anak-anaknya."
Di bawah desakan Jennie yang terus menerus, pak Odi akhirnya mengalah.
"Yaudah, yaudah. Tapi kali ibu liat pak Candra nya sedang 'sibuk', ibu pulang, ya. Jangan ganggu. Anak-anaknya di sini aja, bu. Jangan dulu ikut."
Jennie mengangguk, jelas senang, setelah sekian lama akhirnya dia punya kesempatan untuk bertemu kembali dengan Candra.
Di setiap langkahnya menuju rumah, dia menatap hamparan rumput tersebar sebegitu luasnya. Beberapa lampu taman juga menghiasi halaman rumah.
Dia membayangkan Jika dirinya akan tinggal disini dengan kedua anaknya, membayangkan kedua putranya bermain dihalaman luas, dia duduk mengawasi sembari menunggu suaminya pulang kerja.
Dadanya berdebar dengan kencang, membawa ke-antusiasan dan ketidaksabaran yang membuncah. Di setiap semilir angin yang menerpa, membuat Jennie kembali terbayang masa lalu.
"Kalo aku berhasil nanti, aku bakal jemput kamu dari sini. Kita bakal tinggal dirumah yang kamu mau. Ada kamar buat anak-anak, dapur bagus, lemari es, oven dan halaman yang luas buat main anak-anak nanti."
"Janji, mas?"
"Iya, aku janji."