MENGIKHLASKAN

1032 Kata
Siapa yang tidak kenal dengan Juarry Corp's? Di kalangan pengusaha sampai selebritis, nama Ranatha Candra Juarry akan selalu dikaitkan dengan kesuksesan dan wajah rupawan. Seorang pria, berumur 27 tahun, menjanjikan, tampan serta berkharisma. Itu adalah idola hampir setiap wanita. Tipe ideal bagi mereka. Tapi, hari yang membuat mereka terkejut tiba, yaitu berita pernikahan akbar Ranatha Candra Juarry dengan seorang model terkenal bernama Cecilia Mahendra. Model yang sudah berjalan di puluhan event, mendapatkan banyak penghargaan karena fisiknya yang sempurna dan paras ayu-nya. Berita pernikahan itu meledak, bahkan, untuk rakyat biasa-biasa saja yang jarang menonton berita, tau hal itu. Mereka tidak tau siapa itu, tapi, dari berbagai macam hal yang terus diungkit di tv, mereka tau itu bukanlah orang biasa. Lalu, bagi Jennie sekarang, apa yang paling menyakitkan? Tentu saja itu adalah ketika dia melihat pria yang masih berstatus sebagai suaminya mengucapkan ijab qobul di depan penghulu untuk wanita lain. Seorang pria tampan dan wanita cantik berdiri berdampingan dengan gaun pengantin modern, disaksikan jutaan ribu orang. Jennie merasakan sesak di dadanya. Hanya setelah satu bulan lalu sejak dia mengetahui semuanya–sekarang pernikahan sudah diadakan. "Kenapa?...kenapa? Apa yang salah..." Apa kurangnya dia sebagai seorang istri? Dia mungkin tidak secantik model itu dan tubuhnya tidak sesempurna itu. Tapi, bukankah dia sudah berusaha untuk menjadi istri yang baik? Menjadi istri yang penurut, diam di rumah mengurus suami dan anak mereka. Dia juga sudah menunggu, seperti yang Candra janjikan, dia menunggunya kembali. Tapi kenapa? "Ha–" Jennie tidak bisa mengendalikan air matanya, dia tergugu di depan tv yang tengah menayangkan secara live pernikahan itu. "Ngapain kamu nangis? Cowok kayak gitu gak pantes kamu tangisin!" Sebelum Jennie bereaksi, Laila, ibu dari Jennie–dengan cepat meraih remote tv di atas meja kaca, menekan tombol 'matikan' tv itu dengan kasar. Dia meraih Jennie, memeluk putrinya itu dengan erat. Ya, keluarga sudah tau dengan apa yang terjadi. Dan mereka kecewa. Kecewa pada pemuda baik yang bertahun-tahun lalu datang ke rumah, berkata bahwa dia berniat melamar putrinya. Laila memiliki kesan baik pada Candra kala itu, meskipun Candra bukan dari orang berada saat melamar Jennie, tapi dia terlihat sangat mencintai Jennie dan karena itulah dia dan bapak Jennie mengizinkan mereka menikah. "Sudah, sudah. Gak usah dipikirin. Sekarang, fokus aja sama Dika dan Tya, kalo kamu nangis terus kayak gini, gimana sama mereka? Siapa yang bisa jadi penguat mereka?" Laila mengusap punggung bergetar putrinya, mencoba menenangkan. "Masa lalu itu di belakang, sekarang, fokus sama apa yang ada di depan kamu. Yaitu anak-anak. Kalo dia memang sudah gak mau sama kalian, masih ada keluarga, masih ada mama sama bapak yang sanggup ngurus kalian. Mama sama bapak masih kuat, Jen." "Jennie ...jennie cuma sedih, Ma." Jennie keluar dari pelukan Laila, berkata dengan suara yang masih tersendat. "Mama tau, mama tau kamu pasti sedih. Siapa juga yang gak bakal sedih bila ditempatkan diposisi kamu? Orang normal juga pasti sedih." Laila tersenyum lembut, tiba-tiba, Jennie merasa malu karena di umurnya sekarang, yang sudah memiliki dua putra, dia masih bersikap kekanak-kanakan dan egois. Hanya memikirkan sakit hatinya sendiri. Laila menatap anaknya dan melanjutkan, "Tapi sedihnya jangan lama-lama, kasian Tya sama Dika kamu diemin, jangan terlalu sibuk berkutat dengan rasa sakit hati kamu, pikirin juga anak-anak." Jennie mengangguk, menghapus air matanya. "Yasudah, mama ke belakang dulu." Setelah itu, Laila pergi meninggalkan Jennie yang tengah termenung sendiri. Jennie menghela nafas, dia tau apa yang dikatakan ibunya benar. Dia sibuk berkutat dengan lukanya sehingga mengabaikan kedua putra yang jelas-jelas sangat membutuhkan dia. Dan juga, dia harus mengikhlaskan apa yang terjadi. Tuhan tau apa yang terbaik untuknya. Tidak ada yang tau bagaimana masa depan akan berjalan. Sama ketika dia menikah dengan Candra karena cinta, dia tidak tau jika suatu hari Candra akan sekejam ini padanya dan pada putra mereka. Setidaknya, tidak, kah Candra menganggap kedua putra mereka? bagaimanapun, Dika dan Tya juga benih dari laki-laki itu. Bahkan jika Candra ingin bersikap kejam padanya, dia seharusnya tidak sekejam itu pada Tya dan Dika. Jennie menggenggam kain di pakaian nya, dia pasti bisa. Bahkan selama 4 tahun ini, bukankah dia sudah terbiasa sendiri? *** Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, dan tahun-tahun berganti sangat cepat. Tidak terasa. Delapan tahun kemudian. Semuanya masih seperti mimpi untuk Jennie, bertahun-tahun berlalu, tahun penuh luka itu sudah terlewati, tertinggal jauh dibelakang bersama segala kenangan menyakitkan. Sekarang– "Kamu harusnya gak ikut kesini, Dika." Itu adalah suara seorang remaja berumur enam belas tahun. "Kenapa? Mama aja gak masalah, kok." Diikuti dengan suara yang masih kekanak-kanakan, remaja berusia 13 tahun. Dia, Dika, cemberut saat mendengar apa yang dikatakan kakaknya. Ini sudah kesekian kalinya Tya mengatakan bahwa dia harusnya tidak ikut pindah. "Kamu tau gak, biaya pindah sekolah itu mahal banget?" Tidak kuat lagi mendengar perdebatan kedua bersaudara itu, Jennie keluar dari kamar, dia baru saja membereskan pakaian mereka. "Abang, jangan gitu sama adeknya." Jennie mengingatkan, "Mama masih bisa kerja, kamu jangan khawatir." "Tuh!" Dika menjulurkan lidahnya pada sang Kakak. Tya hanya mendengus sebagai balasan, membawa koper kecilnya ke salah satu kamar, mengeluarkan semua barang didalamnya, dia tempatkan di sebuah lemari kecil. Itu adalah kamar berukuran sedang, ada tempat tidur yang cukup untuk dua remaja pria berbaring disana bersama. Ada meja kecil di sudut dinding dengan colokan listrik diatasnya. "Dika, ganti sprei nya," titah Tya sembari dia menepuk-nepuk bantal yang mereka bawa. Dika mengangguk, mengambil sprei yang diberikan ibunya, memakaikannya pada kasur. "Dika tidur di deket dinding, ya, bang," pinta Dika. "Terserah." Setelah selesai beres-beres, suara Jennie terdengar dari luar kamar. "Dika! Tya! Udah dulu, makan dulu, sayang." "Iya, mah!" Sseru mereka berdua secara bersamaan. Kedua remaja itu keluar dari kamar, melihat ibunya yang sedang membuka sebuah bungkusan. Keduanya menghampiri, ikut duduk dilantai. "Dapet dari mana, mah?" tanya Dika, menunjuk gado-gado di depannya. "Beli di warung depan. Ada yang jual," jawab Jennie. Selesai membuka bungkusan, dia memberi kedua putranya masing-masing. "Makan." Dika dan Tya mengangguk, memakan makanan mereka. "Besok Tya harus ke sekolah, mau mama antar?" tawar Jennie di antara suapannya. "Gak usah, mah. Tya aja sendiri. Tya tau kok jalannya," jawab Tya sembari menelan makanan yang masih ada di mulutnya. Jennie mengangguk menyetujui. Melihat kedua putranya yang makan dengan lahap, tidak pernah memprotes tentang apa yang mereka makan, Jennie tidak bisa menahan rasa bahagia dan pahit secara bersamaan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN