RHADITYA TAHTA

1009 Kata
Rumah yang ditempati Jennie dan kedua putranya adalah sebuah kontrakan kecil dengan dua kamar tidur, ruang tengah, dapur dan satu kamar mandi. Bukan tanpa alasan untuk Jennie yang telah mengalami rasa pahit saat pertama kali ke ibukota, kini, memutuskan untuk kembali menetap disini. Itu karena Tya yang mendapatkan beasiswa penuh dari sekolah negeri nomor satu di ibukota. Tadinya, Tya ingin pergi dan menetap sendiri disana. Tapi, bagaimana bisa Jennie membiarkan putranya yang baru berumur 16 tahun tinggal di kota besar sendirian? Setelah Jennie memutuskan bahwa dia juga akan pergi, Dika merengek bahwa dirinya juga ingin ikut. Jennie hanya bisa menghela nafas saat itu, memakai semua uang tabungannya untuk memindahkan sekolah Dika ke sekolah baru di ibukota. Tentu saja sekolah yang berbeda dengan yang dimasuki Tya. Karena Dika masih SMP dan Tya yang sudah masuk SMA. "Berangkat dulu, ma," pamit Tya, salim pada Jennie. "Hati-hati di jalan, ya, nak,"Seru Jennie saat Tya sudah berjalan agak jauh. "Hm!" *** Sementara itu, seorang pria berjas lengkap berdiri di depan dinding kaca lantai 65. Dari sini, dia bisa melihat semuanya. Bahkan, orang-orang yang berlalu-lalang di trotoar terlihat sekecil semut dimata pria itu. Tiba-tiba, pintunya diketuk. Tok tok tok. "Masuk." Mendapat jawaban dari orang didalam, seorang wanita cantik dengan sepatu hak 3 cm meter masuk kedalam, menunjukan sikap hormat pada pria itu. "Pak, lima menit lagi acara akan dimulai, apa bapak ingin berangkat sekarang?" tanya Wanita yang bernama Paramita Sintya itu. Meskipun Mita sudah menebak bahwa bosnya akan berkata 'batalkan', tapi dia masih bertanya. Siapa tau, bahwa jawaban bosnya bertentangan dengan tebakannya. "Berangkat sekarang," Candra berpikir untuk membatalkan, tapi dia dengan cepat mengubah kata-katanya tanpa mengubah wajah. "Saya akan meminta sopir untuk menyiapkan mobil untuk anda." Setelah itu, Mita dengan sopan undur diri, pergi ke lantai bawah menemui sopir pribadi Candra yang sedang berada di kantin lantai bawah. "Bu Mita," sapa sopir itu ketika melihat Mita berjalan mendekat. Dia buru-buru berdiri dari kursi yang dia duduki. Para karyawan yang kebetulan sedang berada di kantin juga memberikan sikap hormat mereka pada mita, yang hanya wanita itu balas dengan senyuman dan anggukan. "Pak Candra mau berangkat sekarang, kamu siapin mobil," titah Mita. "Baik, bu." Menyeruput kopi terakhirnya, Si sopir dengan segera melakukan apa yang diperintahkan si sekertaris bos itu. Tak sampai dua menit kemudian, Mobil sudah siap dan Candra turun menuju tempat mobil terparkir di ikuti Mita dibelakangnya. Saat Candra mendekat, Sopir yang sering dipanggil Pak Wawan itu segera membukakan pintu, mempersilahkan Candra untuk masuk. Canda masuk tanpa basa-basi dan Mita juga mengikuti. Dia duduk di sebelah pak Wawan sedangkan Candra duduk di kursi penumpang. Mobil itu melaju membelah jalanan ibukota yang ramai. Karena hari ini adalah hari dimana perkenalan masa sekolah dimulai. Mobil berhenti di sebuah SMA terbaik di ibukota, SMA yang menjadi favorit dan tujuan bagi siswa-siswi pintar dan kaya. Saat Candra keluar dari mobil, berjalan menuju tempat dimana acara dimulai, pihak sekolah yang melihat bahwa salah satu donatur terbesar mereka datang, segera menghampiri dan menuntun dengan sopan. Mereka mengucapkan beberapa kata sanjungan. Candra dibawa ke aula, menempati salah satu sofa depan bersama para tamu terhormat lainnya. Guru-guru wanita menyapa dengan senyum semanis mungkin, melihat pria berumur 35 tahun yang bahkan tidak berubah secara signifikan dalam fisik selama bertahun-tahun itu menakjubkan. Benar-benar tampan! "Itu Ranatha Candra Juarry, kan?" "Astaga ganteng!" "Hot daddy banget!" "Ah...ah... Aah! Ganteng!" Tidak hanya guru, bahkan, para siswi kelas satu , dua dan tiga, terpana karena paras pria tampan ini. Beberapa remaja wanita bahkan menahan nafas kala Candra melewati mereka. Saat acara dimulai, Candra diminta berbicara satu-dua patah kata sebagai kata sambutan dari donatus terbesar dari sekolah. Juga, saat pengumuman siswa dengan nilai masuk paling tinggi, Candra diminta untuk menyerahkan piagam penghargaan. Di atas podium sana, Si pembawa acara mengumumkan, "Untuk Siswa dengan nilai masuk terbesar dan bahkan mendapatkan beasiswa penuh dari sekolah, Untuk Ananda Rhaditya Tahta dipersilahkan menaiki podium." Candra, yang berdiri di samping pembawa acara itu menegang sejenak saat mendengar nama yang familiar dalam ingatannya. Tapi, reaksi itu hanya sesaat dan orang-orang juga tidak memperhatikan. Rhaditya Tahta... Dia ingat nama itu, seseorang dalam ingatannya juga memiliki nama yang sama. Walau nama itu familiar, Candra tidak berani langsung menyimpulkan. Lagi, bisa saja itu hanya orang dengan nama yang sama, kan? "Kepada Rhaditya Tahta, harap naik ke podium," ulang Si pembawa acara. Setelah dua kali memanggil, seorang remaja maju ke depan di diiringi tatapan kekaguman orang-orang di sekitarnya. "Ganteng banget..." "Itu adek kelas?" "OMG! Ganteng..." "Tinggi juga..." Disaat Tya naik ke podium, dia dihadapkan dengan wajah yang familiar, membuatnya tersentak mundur karena kaget. Dibanding dengan reaksi Candra yang sudah dengan cepat menyesuaikan ekspresinya, Tya, yang belum begitu pandai menyembunyikan ekspresinya– reaksi ini dapat dilihat oleh orang lain. Tapi, orang-orang dibawah podium hanya melihat Tya yang mudur selangkah ketika berhadapan dengan Candra, mereka tidak berpikir berlebihan karena mereka berfikir Tya hanya kaget berhadapan dengan Candra yang notabenenya adalah seorang pengusaha sukses. Si pembawa acara yang berdiri di sebelah kedua pria yang berhadapan itu bingung melihat–Betapa miripnya wajah mereka. Sangat mirip hingga si pembawa acara berfikir bahwa kedua orang ini adalah ayah-anak. Tapi mengingat bahwa tuan Candra ini sudah bercerai dengan istrinya tiga tahun lalu yang merupakan seorang model terkenal dan mereka berdua tidak memiliki anak. Keduanya juga saling menatap, dengan suasana kaku dan aneh. Sampai si pembawa acara sendiri merasa jika dia berdiri ditempat yang salah. Melihat suasana yang salah diantara keduanya, si pembawa acara segera melanjutkan dengan suara sedikit bingung, "...oh, um–kepada bapak Ranatha Candra Juarry selaku investor terbesar sekolah, dipersilahkan menyerahkan piagam penghargaan kepada Rhaditya Tahta selaku penerima beasiswa penuh dari sekolah dan peraih nilai masuk terbesar." Candra meraih mendali yang telah disiapkan oleh pembawa acara. Gerakan Candra sangat tenang dan alami ketika dia mengambil piagam dan mengalungkan nya dileher Tya yang memiliki tinggi hampir mencapai pundaknya. Pria dewasa itu bersikap seolah dia tidak mengenal remaja di depannya. Sedangkan Tya, sepanjang acara berlangsung, dia mengepalkan telapak tangannya dengan bibir berkerut –ketidaksukaan. Rasa jijik dan bencinya membuncah ketika mendali dikalungkan oleh pria itu. Ingin rasanya Tya meraih mendali itu dan membuangnya ke kotak sampah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN