5. GARA-GARA ANI!

1140 Kata
Aku memandangi baju tidurku yang tergeletak dengan rapi di atas ranjang kamarku. Baju itu begitu tipis dan warna merahnya membuatku merasa ngeri. Seumur-umur aku belum pernah mengenakan gaun seperti itu. Gaun pendek yang berenda dan memperlihatkan belah d**a. Apakah tidak mengapa aku memakai baju itu? Namun, ya, ini adalah rumah orang kaya. Bukan hanya baju tidurnya saja yang membuatku tidak nyaman, kamar mandinya pun amat menyiksa diri ini. Toilet duduk dengan shower di atas bathtub yang irit sekali bila mengguyurkan air. Amat berbeda dengan kamar mandi di rumah kakakku yang memiliki bak besar. Aku tidak perlu khawatir akan kehabisan air di sana, sebab cairan jernih itu amat melimpah ruah di dalam sumurnya dan selalu memenuhi bak mandi. Aku pun memutar keran shower untuk membukanya. Namun, aku tetap merasa tidak puas. Entah, karena aku tidak biasa dengan semua fasilitas mewah ini atau apa. Yang jelas aku tidak merasa nyaman berada di sini. Aku memasuki kamar mandi lalu membuka satu persatu pakaianku. Setelah kutanggalkan semua, aku pun berdiri di bawah shower. Aku sengaja tidak menggunakan air hangat, karena ingin menyegarkan otakku yang sedari tadi terus menerus ditikam perasaan stress. Si Tia b******k itu benar-benar sudah keterlaluan. Dia mengatakan kalau aku hanya perlu makan malam dengan Yusuf, tetapi apa ini? Aku malah harus menginap di sini dan frustrasi, karena sejak awal kedatanganku, pria Arab itu terus-terusan berusaha untuk menyentuhku. Dasar pria genit sialan! Setelah selesai aku segera keluar dengan tubuh telanjang, karena lupa membawa handuk. Aku mengendap-endap, sebab bagaimanapun berjalan dengan tanpa menggunakan pakaian seperti ini sungguh tidak biasa dan tetap membuatku merasa tidak nyaman meski di kamar ini hanya ada aku seorang diri. Beruntung aku tidur di kamar tamu, entah apa yang akan terjadi kalau sampai aku harus tidur sekamar dengan pria Arab itu. Ih mengerikan. Aku mengecek lemari pakaian untuk mengambil handuk, tapi sialnya lemari ini terkunci dan tidak tahu kuncinya berada dimana. Namun, seketika firasat buruk segera menghinggapi benakku. Aku yang langsung dikerubungi perasaan gelisah pun memilih mengelap tubuh basahku dengan kain seadanya lalu gegas mengenakan pakaian. "Nur." Suara berat seorang pria memanggilku dan itu membuatku terlonjak, sebab terkejut. "Ma-Ma-Mas Yusuf? Bagaimana kau bisa berada di sini? Aku yakin sudah mengunci pintu tadi." Aku panik kala melihat keberadaannya. Mungkinkah Yusuf sudah berada di sana sejak tadi aku keluar dari kamar mandi. Ya Tuhan. Sial! Ini semua gara-gara lampu temaram ini. Aku sengaja mematikan lampu utama supaya Yusuf mengira aku tidur lebih awal, agar pria itu berhenti mengganggu. "Aku mempunyai kunci cadangan untuk setiap pintu di rumah ini, Nur." Yusuf beranjak menuju pintu lalu menguncinya. "Ke-kenapa kau mengunci pintunya, Mas?!" Aku mulai merasa frustrasi. Apalagi saat pria itu berjalan mendekatiku. Oh s**t! Apalagi ini?! "Tenanglah, Sayang. Aku hanya ingin numpang mandi di sini, karena toilet di kamarku rusak." Yusuf menyerahkan kunci kamar padaku. "Kau bisa mandi di tempat Umi Aisyah, kan? Apa kau lupa??" tanyaku heran. "Aku hanya ingin mandi di toilet yang sama dengan calon istriku. Itu tidak masalah, bukan?" Seketika sepercik marah pun membakar dadaku. Omong kosong macam apa ini? Apa yang sebenarnya pria Arab ini rencanakan? Argh! Dia sungguh membuat kewarasanku menipis. Lancang memasuki kamar seorang gadis tanpa permisi. Tidak sopan. "Alasan! Kemarikan kuncinya!" ketusku yang tak kuasa lagi menyembunyikan emosi. Tidak ada lagi perasaan segan di diri ini seperti tadi. Aku berusaha segalak dan sedingin mungkin untuk melindungi tubuh ini. Ciuman saja bukan masalah bagiku, tetapi kalau lebih dari itu. Maaf, aku tidak bisa. Aku memang polos. Namun, tidak bego. Aku cukup tahu batasan. "Kau mau kunci ini? Ambillah." Yusuf menatapku sambil menyeringai miring. "Kau bisa melemparnya, sini," sinisku mulai jengkel. "Kamu membuatku kepanasan, Nur." Yusuf melepaskan pakaiannya satu persatu dengan tatapannya yang nakal menuju ke arah mataku. Tubuhku gemetar, karena luapan amarah yang seketika merembat membuat suhu tubuh ini meningkat. Ada sedikit rasa gelisah yang kurasakan saat dia mulai menanggalkan pakaiannya satu persatu. Aku khawatir dia akan memaksaku untuk tidur dengannya malam ini. Ya Tuhan, tolong lindungilah aku. Kuakui badan Yusuf memang indah. Tubuh tinggi, perut six pack, tangan yang kokoh berotot, serta wajah rupawan. Namun, kesempurnaan Yusuf tidak boleh membutakanku. Segera sebuah tamparan kuhadiahkan pada batinku. Aku bukanlah wanita nakal yang akan dengan suka cita memberikan seluruh tubuhku untuk dinikmati pria yang bukan mahram. Aku masih perawan sampai sekarang dan sama sekali belum pernah memiliki pacar. Aku membalas tatapan tajamnya dengan sengit. Tubuhku terasa bergetar saat melihat Yusuf hanya mengenakan boxer yang tercetak di pinggangnya. Ya Tuhan, apa yang sebenarnya pria ini inginkan dariku? Dadaku bergemuruh tak keruan. Aku mulai merasa takut padanya. Aku berharap agar dia tidak mendekatiku. Jangan. Aku tidak mau. Aku sungguh tidak mau. "Ka-kalau kau mau mandi, sana ke kamar mandi. Jangan hanya berdiri di depanku." "Kenapa buru-buru, Sayang? Aku masih ingin santai di sini. Aku masing sangat merindukanmu. Lagipula ini sudah jam setengah sebelas malam. Aku yakin semuanya sudah tidur, sekarang," ucap Yusuf sambil berjalan mendekatiku. "Berhenti! Jangan mendekat! Atau kau akan menyesal!" ancamku berusaha menakut-nakutinya. "Santai, Sayang. Aku hanya ingin mendekatimu Nur Jannah!" ucapnya yang membuatku tergemap di tempatku berdiri. A-apa dia sudah mengetahuinya? Matilah aku! Dia pasti akan memenjarakan diriku dan menghukumku. Ya Tuhan, aku harus bagaimana? Seketika aku merasa panik. "A-apa? Nur?" Aku pura-pura tidak mengerti. "Ya, kau Nur Jannah." Irisnya begitu tajam menatapku. "A-apa maksudmu? Namaku Tia, bukan Nur." Aku mulai gemetar ketakutan dengan panik dan gelisah yang seketika mengerubungi. Ya Tuhan, aku sungguh tidak dapat berpikir jernih untuk melepaskan diri dari situasi ini. Bagaimana ini? Yusuf sepertinya sudah mengetahui kebohonganku. Yusuf memandangku dengan tatapan menyelidik. Dia semakin mendekat lalu menjatuhkan dirinya hingga terlentang dengan posisi aku berada di atas tubuhnya. "Mengapa kau terlihat pucat, Sayang? Bukankah Umi tadi memanggilmu dengan sebutan Nur? Maka aku menambahinya dengan Jannah, karena bagiku kau adalah surgaku dan juga cahayaku. Jadi, aku menyatukan nama itu dengan sebutan Nur Jannah, apa aku salah?" tanya Yusuf seraya memainkan rambut basahku. "Ja-jadi maksudmu, ka-kau memberikan nama itu untukku?" tanyaku gelagapan. "Iya, Sayang. Kenapa kau kelihatan panik? Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?" Yusuf melihatku penuh tanya. "Ti-tidak.Te-tentu saja tidak. Aku menyukai nama itu. Nama yang indah, Nur jannah," jawabku masih dengan nada terbata. Seketika jantung yang terasa melompat-lompat nadi, berdegup lebih tenang dari sebelumnya. Meski ketegangan masih belum berakhir. "Kalau begitu, tidak ada masalah, kan? Jadi tersenyumlah untukku." "I-iya." Aku memaksakan bibir kaku ini untuk tersenyum supaya tidak memancing kecurigaan Yusuf. Aku merasa sedikit lega, karena ternyata Yusuf belum mengetahui kebenarannya. Aku harus segera membawa Tia ke hadapannya agar bisa melepaskan diri dari jeratannya. Aku akui Yusuf memang tampan, tapi sifat mesumnya itu membuatku harus segera menjauhinya. Yusuf sangat berbahaya. Aku khawatir tidak akan mampu mempertahankan keperawananku bila terus berada di dekatnya. Di saat aku sedang berpikir keras. Aku merasakan geli di sekitar p******a yang sontak membuatku terkejut saat melihatnya. "Astaga! Apa yang kau lakukan?! Mengapa kau menghisap payudaraku! Lepas! Lepaskan aku! Atau aku teriak?!" Aku berusaha memberontak melepaskan diri dari kaitan kuatnya. *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN