Hatiku bergetar dan kurasakan seluruh tubuh ini memanas. Ciumannya benar-benar membuatku lupa diri. Aku sungguh dimabuk kepayang, karena desakannya ini.
Bibir hangat yang penuh gairah itu terus menyerangku bertubi-tubi. Anehnya, aku merasakan basah di bawah sana. Aku tidak mengerti cairan apa itu? Mungkinkah aku buang air kecil, karena rasa geli dan nikmat yang menyergap sekaligus? Namun, aku tidak terlalu mempedulikannya. Aku terlalu bahagia menikmati kebersamaan kami.
Brewoknya bagaikan candu, meski menggelikan, tapi tak dapat kupungkiri kalau itu benar-benar memabukan. Ya Tuhan, maafkan gadis tidak tahu malu ini. Ini hal baru untukku dan aku sangat menyukainya.
Rupanya lelaki yang brewokan itu tidak terlalu buruk, sebab jika wajahnya tampan, maka akan tetap terlihat tampan. Sepertinya aku mulai menyukai brewok. Apalagi kalau si Mas Brewok kekasihku, Yusuf. Ya ampun. Seketika aku merasakan hangat di wajahku.
Namun, tiba-tiba saja terasa sengatan dingin di kalbu. Terasa hampa dan kosong. Seketika aku teringat kalau hubunganku dan Mas Yusuf bukan kekasih sungguhan. Aku hanyalah wanita yang tengah berpura-pura sebagai wanitanya, Tia. Jika tidak menggunakan nama itu, aku bukanlah siapa-siapa untuknya. Tak lebih dari orang asing yang tidak pernah dia kenal sebelumnya. Bagaimana reaksinya kelak saat tahu wanita yang dicumbu dan tatap penuh damba ini bukanlah pacar yang sesungguhnya? Apa dia akan sedih atau menerimaku sebagai aku?
Aku kembali melepaskan ciuman kami. "Maaf, Mas, tapi kita baru saja saling kenal. Tidak baik seperti ini."
"Aku tidak peduli, Sayang. Aku sudah sangat merindukanmu. Aku sudah mabuk kepayang hanya dengan melihat wajahmu. Kecantikanmu membuatku kehilangan kendali," bisik di atas bibirku dengan napas memburu.
"Apa kau menyukaiku, karena aku cantik? Apa kau melihat seorang wanita hanya dari fisiknya saja?" tanyaku seraya menatapnya dengan sedikit sebal. Memang semua lelaki itu hanya menyukai kecantikan wanita saja, jarang dari mereka yang mau mencintai apa adanya. Dasar buaya darat!
Manik Yusuf menatapku dengan lekat, lalu seulas senyum pun merekah di bibirnya.
"Kenapa kau tersenyum? Apa kau meledekku?" sinisku.
"Ya Tuhan. Kau sungguh membuatku geregetan. Rasanya aku ingin segera membawamu ke kamar lalu ...." Yusuf menyeringai jahil.
"Lalu apa?"
"Lalu menyerangmu dan memakanmu hidup-hidup." Aku menjerit saat tiba-tiba saja Yusuf mendorong tubuhku ke kasur ibunya dan memerangkapku di bawah kungkungannya. Tampak dia tersenyum lebar seraya menikamku dengan tatapannya yang tajam, tapi menggoda.
Namun, aku segera menyadarkan diri. Posisi kami ini akan membuat ibunya salah paham atau mungkin terkejut kala melihatnya, hingga mungkin akan terkena serangan jantung. Berbahaya. "Mas, jangan seperti ini. Aku khawatir Umi akan melihat kita."
"Ssssttttt, Umi tidak akan marah sama sekali, karena dia tahu kalau aku akan menikahimu, Sayang." Yusuf kembali menyatukan bibir kami dan lagi-lagi lelaki ini membuatku melayang dalam sentuhannya yang lembut. Yusuf tak pernah tahu kalau perbuatannya ini membekaskan kenangan indah dalam kalbu. Sehingga aku berharap waktu akan membeku.
"Hentikan, Mas .... Aku tidak mau membuat Umimu menunggu. Mas ... hentikan." Aku mendorong tubuh Yusuf yang membatu di atasku hingga melepaskan cumbuannya. "Tolong jangan seperti ini. Aku tidak mau membuat Umi salah paham padaku. Please. Lebih baik kita segera ke bawah, Umi pasti sudah menunggu kita di meja makan."
"Tidak perlu, Sayang. Aku yakin Umi sudah duluan dan tidak menunggu kita." Yusuf memainkan rambut panjangku. Kemudian dia memainkan jemarinya di teruk leherku dan itu membuatku merasa geli hingga tanpa sadar mendesah.
"Mas, hentikan." Kurasakan kabut gairah mulai memburamkan pandanganku dan tanpa aba-aba, Yusuf kembali mencumbuiku. Dia menghisap dan aku yakin itu akan meninggalkan warna merah di sana. Lama kelamaan sentuhan bibirnya semakin intens menjelajah lekuk di bawah daguku. "Ah, Mas, tolong hen-tikan." Aku merasa ada rasa yang menggelembung memenuhi d**a, sensasi aneh yang membuatku terasa akan melayang.
"Ya ampun anak nakal ini." Suara Umi Aisyah mengejutkan kami.
Yusuf segera menyingkir dari atas tubuhku kala mendengar suara ibunya, begitupun denganku. Segera aku bangkit lalu merapikan pakaian yang agak berantakan, karena ulah Yusuf.
Kulihat Umi Aisyah berada di lawang kamar melihat ke arah kami dengan senyuman tersulam. Aku sungguh malu menatap wajahnya langsung. Ah, sungguh memalukan tertangkap basah seperti ini. Aku pun hanya mampu menundukan kepala dengan kikuk.
"Apa kau sengaja ingin membuat Umimu ini kelaparan? Hmm? Kau tidak akan pernah selesai, Nak, jika tidak menghentikannya. Lepaskan calon menantuku. Jangan sampai dia mati, karena kelaparan. Aku tidak mau kehilangan menantu secantik dia. Aku tunggu kalian di bawah. Awas! Jangan membuat Umimu menunggu lagi." Umi Aisyah pun beranjak meninggalkan kami.
Kulihat Yusuf hanya terus tersenyum. Entah apa isi kepalanya. Apa mungkin dia tidak merasa malu, sebab sudah terpergok seperti tadi? Entahlah. Aku sama sekali belum memahami Yusuf selain dia selalu ingin mencumbuku setiap kali ada kesempatan.
"Kau puas?" Yusuf kembali tersenyum kepadaku.
Aku hanya mampu tersenyum lalu menggelengkan kepala. Pria ini sungguh-sungguh membuatku merasa aneh.
"Umi menggangguku saja." Kulihat Yusuf memijat pangkal hidungnya. Kemudian menatapku penuh sayang. "Aku masih ingin mencoba semuanya denganmu, Sayang. Semuanya. Aku ingin merasakannya darimu."
Seketika aku merasa heran. "Maksudnya?" Aku sungguh tidak paham dengan perkataan Yusuf. Entah kalimatnya yang terlalu berat atau aku yang terlalu kurang pergaulan.
"Tidak ada. Ayo ke bawah. Aku yakin kau sudah lapar," ajak Yusuf seraya menarik tanganku.
Aku menganggukan kepala lalu mengikuti langkahnya.
"Nanti kita lanjutkan lagi." Bisikan Yusuf membuat bulu halusku meremang.
"Berhenti menggodaku, Mas Brewok atau aku akan mengadukanmu kepada Umimu." Aku mengikuti langkah pria yang menggenggam tanganku.
"Bagaimana caranya?"
"Aku akan menceritakan semua yang kau lakukan padaku, kepada Umi Aisyah."
Seketika Yusuf menghentikan langkahnya. "Hmm hmm, apa saja?" Dia kembali memangkas jarak di antara kami dan mendorong halus hingga punggungku menyentuh dinding.
"Se-semuanya." Aku merasa agak gugup.
"Hmm hmm." Yusuf merapatkan tubuh kami. "Apa kamu akan mengadukan padanya kalau aku mencium bibirmu dengan penuh gairah?" bisiknya sensual ke telingaku. Dia mengelus halus tepi mulutku lalu menciumnya sekejap, terus menggigitnya lembut hingga membuatku kembali merasakan sensasi melambung. Namun, seketika aku merasa kecewa, karena Yusuf menghentikan lumatannya.
Kemudian dia kembali mengelus ceruk di bawah telingaku. "Apa kau juga akan mengadukan kalau aku tak bisa berhenti mencumbui leher jenjangmu?" Kurasakan dia mengecup bagian yang tadi disentuh lalu menjilatnya. Seketika aku merasa mengawang menikmati setiap sentuhannya. Irisku tanpa sadar terpejam kala merasakan setiap tindakannya. Yusuf benar-benar membuatku akan gila.
"Yusuf!" seru Umi Aisyah memanggil yang langsung membuat Yusuf menghentikan kelakuannya.
Yusuf tersenyum tawar. "Umi benar-benar." Dia pun kembali menggenggam tanganku dan mengayuh langkahnya lagi.
"Duduk dekat Umi, Nur."
"Nur?" Yusuf tampak bingung.
Ya ampun! Umi pasti keceplosan! Ya Tuhan, bagaimana kalau Mas Yusuf curiga! Jantungku seketika berpacu. Seketika ketegangan langsung mengelumuni raga. Bagaimanapun, aku baru saja mengenal dirinya. Aku belum tahu mengenai sifat aslinya. Bukan tidak mungkin kalau Mas Yusuf akan murka lalu melaporkanku dan Tia kepada polisi dengan pasal penipuan.
"Emm, maksud Umi, Tia. Umi memanggilnya Nur, sebab Umi selalu ingin mempunyai menantu bernama Nur. Tapi sekarang, mau Nur atau Tia pun tidak masalah. Umi tetap menyukainya." Umi Aisyah tampak gugup menjelaskannya.
"Tapi, Umi tidak pernah mengatakannya padaku?"
"Karena kau tidak pernah bertanya."
"Oh."
Aisyah menatapku dengan pandangan penuh penyesalan. Aku menganggukkan kepala dan berusaha mengatakan dengan isyarat mata padanya, tidak apa-apa.
Kami makan dengan tenang. Yusuf sesekali akan menatapku lalu menunjukan senyumannya. Hal itu membuatku merasa semakin bersalah, karena sudah menipu lelaki sebaik dirinya.
"Aku sudah menyiapkan kamar dan gaun tidur untukmu, Sayang," kata Yusuf yang seketika membuatku tersedak.
Uhuk!
Uhuk!
"Pelan-pelan, Sayang. Minumlah." Umi Aisyah mengelus punggungku dan Yusuf memberikan air putih kepadaku.
"Makannya kalau makan itu pelan-pelan. Kau tidak akan kehabisan makanan di sini." Yusuf mengelus punggungku lembut.
"Kapan aku mengatakan akan menginap di sini?" tanyaku bingung.
"Saat aku di bandara, apa kau lupa?"
Seketika api amarah di dalam diri ini berkobar dengan liar. Dasar Tia genit! Kurang ajar! Awas saja kau nanti, gadis curang! Kau benar-benar membuatku di posisi yang sulit.
"Sayang, kau baik baik saja?" tanya Yusuf.
"Aku tidak apa-apa. Baiklah, aku akan menginap di sini." Aku memalsukan senyuman.
Umi Aisyah memandangku dengan tatapan geli. Dia menggenggam tanganku dan berusaha menenangkan hatiku. Dia menyuruhku untuk kembali melanjutkan makan dan aku menurutinya, meski tidak lagi seenak dan se-nafsu tadi.
Aku sungguh tak tahan ingin segera bertemu dengan Tia, lalu menghajarnya. Dasar wanita gila tidak berperasaan!
*