"Maafkan aku, Mas Yusuf. Aku rasa tidak pantas bagi seorang gadis terlalu lama di dalam kamar bersama pria yang bukan mahramnya," ucapku sambil menunduk.
Aku dapat mendengar helaan napas. Mungkin dia merasa kecewa dengan ucapanku. "Maafkan aku, Sayang. Aku terlalu merindukanmu sehingga tidak bisa mengendalikan diriku." Yusuf membelai wajahku lalu kembali mengecup bibirku.
Aku hanya mampu menarik napas seraya memandangi senyumannya. Ah, memang, dasar angsa! Sukanya nyosor terus. "Apa kau tinggal seorang diri di sini?"
"Tidak. Aku tinggal bersama Umiku. Ayo, ikutlah denganku. Aku akan memperkenalkanmu padanya." Yusuf menarik tanganku agar mengikutinya.
Aku berjalan sambil sesekali mencuri tatap wajah tampannya yang aduhai. Ya Tuhan, mimpi apa aku semalam hingga hari ini dipertemukan dengan lelaki setampan Yusuf? Aku belum pernah melihat wajah setampan itu selama tinggal di sini mau pun di kampung halaman. Ketampanannya sungguh langka.
Tiba saat kami berhenti di depan sebuah pintu besar. Dia mengetuk lalu membuka pintu indah itu dengan tangan kokohnya. Inikah kamar ibunya Yusuf? Mudah-mudahan ibunya tidak akan mencurigaiku. Namun, hati kecil ini sedikit memberontak, karena merasa berat, sebab harus membohongi seorang ibu.
Kulihat seorang wanita paruh baya yang cantik dan murah senyum sedang duduk di atas ranjang dengan elegan. Tampak kursi roda di samping pembaringan menunggunya. Wanita itu tak sedikitpun melenyapkan senyumannya saat melihatku. Aku merasa tidak enak hati.
Kemudian kurasakan Yusuf meraih pinggangku, lalu membawaku mendekat kepada ibunya.
"Assalamualaikum, Umi. Ini Tia, gadis yang sering kuceritakan padamu," ucap Yusuf.
"Wa'alaikumussalam, Sayang." Dia tersenyum kepada Yusuf yang berdiri di sisiku lalu meraih tanganku yang gemetar. "Masyaallah, Nak. Kamu cantik sekali." Senyuman dan keramahan ibunda Yusuf membuatku semakin merasa bersalah. Ya Tuhan, betapa jahatnya aku telah membohongi 2 manusia baik ini. Seketika aku menjadi dilema.
"Hei, Sayang, mengapa melamun?" tanya yusuf membuatku kembali membuyarkan lamunanku.
"Tidak. Aku hanya belum terbiasa dengan semua ini, Mas. Maafkan aku." Seketika ada nyeri yang menghantam d**a. Sungguh aku tidak tega membohongi Yusuf dan ibunya. Tapi aku harus bagaimana?
"Perkenalkan, Sayang. Ini Umiku, namanya, Aisyah," ucap Yusuf. Tampak wanita yang tengah duduk di katil itu kembali tersenyum ke arahku. Sungguh senyuman yang meneduhkan.
"Nama lengkapmu siapa, Sayang?" tanya Umi Aisyah yang seketika membuatku bingung harus menjawab apa. Aku sangat menghormatinya dan tidak ingin menipunya, tetapi bagaimana dengan Tia-sahabat karibku yang membutuhkan bantuan?
Di saat sedang gugup, kudengar ponsel milik Yusuf berbunyi yang kemudian membuat si empu mengangkatnya seraya berjalan keluar kamar.
Sekarang hanya tinggal kami berdua di dalam ruangan ini. Aku sedikit lega dan kegugupanku agak berkurang.
"Duduklah gadis manis." Umi Aisyah menepuk tepi ranjangnya.
Aku yang mengerti maksudnya pun menurut. Aku duduk di sampingnya seraya membalas senyuman teduhnya.
"Namamu siapa sayang? Mengapa kau terlihat khawatir sekali?" tanyanya penasaran. Mungkin karena kegugupan kentara terlihat di roman wajahku, karena benar, aku memang merasa amat khawatir sedari tadi. Aku takut akan kelepasan lalu membuat Yusuf curiga.
Melihat wajah Umi Aisyah yang lembut, membuatku memiliki sedikit keberanian. Aku ingin mengatakan yang sejujurnya kepada beliau. "Maafkan aku, Umi. Aku telah melakukan kesalahan," ucapku lirih penuh sesal.
"Kesalahan apa, Sayang? Kau bisa jujur padaku. Aku tidak akan mengadukannya kepada Yusuf," balas Umi Aisyah yang membuatku semakin tenang.
"Sebenarnya … aku bukan Tia, Umi. Namaku, Nur Jannah. Aku berpura-pura menjadi dia, karena terpaksa demi membantu sahabatku yang nakal." Aku menundukan kepalaku dalam penuh penyesalan.
Aku pun menceritakan semuanya dari awal hingga akhir tanpa ada yang ditutup-tutupi. Aku tidak mau membuat kebohongan untuk kedua kalinya, terlebih kepada Umi Aisyah yang sangat ramah dan baik ini. Aku tidak tega.
Kulihat Umi Aisyah sedikit terkejut dan menatapku penuh minat. Seolah menelisik, aku berkata bohong atau benar-benar jujur.
"Lalu, kenapa kau berkata jujur pada Umi, Nak?"
"Karena aku sudah merasa terbebani dengan kebohonganku pada Mas Yusuf, Umi. Aku tidak mau membuat kesalahan yang kedua kalinya dengan membohongi Umi. Ditambah lagi, Umi sangat baik padaku."
Umi Aisyah tampak terdiam selama beberapa saat. Kemudian dia mengusap kepalaku dan menatap lekat ke arahku.
"Baiklah, Sayang! Umi akan rahasiakan ini dari Yusuf." Umi Aisyah kembali tersenyum kepadaku.
"Alhamdulillah. Makasih, Umi."
"Sama-sama, Sayang. Umi berharap Yusuf akan benar-benar jatuh cinta padamu." Dia terus menebarkan seringai indahnya padaku.
Aku tersenyum kecut saat mendengar ucapannya. "Nur tidak mengharapkan itu, Umi. Jodoh ada di tangan Tuhan. Katanya wanita yang baik akan dijodohkan dengan lelaki yang baik pula. Sementara penipu sepertiku, sudah pasti akan mendapatkan yang sama. Gadis sepertiku tidak cocok untuk Mas Yusuf. " Aku terkekeh tawar. Ada sedikit rasa tidak nyaman di ulu hati saat mengatakan semua itu. Namun, memang benar seperti itulah kenyataannya. Aku berhubungan dengan Yusuf ini karena membantu sahabatku. Aku tidak boleh benar-benar mencintainya. Seperti yang Tia katakan, aku harus membuat kesalahan supaya Yusuf mau mengakhiri hubungan ini.
Di sisi lain aku merasa lega. Rasanya seperti sebuah batu telah terangkat dari pundakku saat dapat berkata jujur kepada ibunda Yusuf yang baik hati.
"Permisi, Nyonya Aisyah, makan malam sudah siap." Pelayan mengetuk pintu kamar Umi Aisyah.
"Baiklah, Nilam, kami akan segera kesana," sahut Umi Aisyah.
Aku melihat Umi Aisyah berusaha bangun dengan kesusahan, karena tidak tega, maka tanpa disuruh aku bangkit berdiri dan membantunya.
"Kamu mau apa, Nur?" tanyanya sambil menatapku.
"Membantu Umi ke kursi roda. Ayo, Umi," ajakku lembut.
"Kau tidak akan kuat, Sayang. Biar Umi sendiri saja," ujarnya sambil tersenyum geli padaku.
"Aku adalah wanita yang tangguh, Umi. Jangan meremehkan gadis bertubuh kecil ini," jawabku yang membuat Umi Aisyah terkekeh.
"Baiklah, Imut. Buktikan ketangguhanmu." Umi Aisyah mengulurkan kedua tangannya padaku.
Aku pun menggenggamnya kuat. Kemudian menolongnya berdiri dengan hati-hati lalu mendudukkannya di kursi roda.
"Maafkan Umi, Nur, karena sudah merepotkanmu." Umi Aisyah mungkin merasa tidak enak hati makanya berkata seperti itu padaku.
"Sssttt! Umi, panggil namaku Tia saja. Aku tidak mau membuat Mas Brewok curiga," ucapku seraya melihat sekeliling dengan cemas. Aku khawatir Yusuf akan mendengarnya.
"Mas Brewok? Kau memanggil putraku dengan sebutan itu, Nak? Kau memang nakal." Umi Aisyah tergelak.
Aku tersenyum canggung, malu.
"Ya Allah, Nur. Ternyata selain cantik, kau juga lucu." Kulihat Umi Aisyah membekap mulutnya. Sepertinya tawa yang masih menggelitik dirinya. Ya ampun, Umi. Untung cantik.
"Umi, janji, ya. Jangan beritahu Mas Yusuf kalau aku Nur yang berpura-pura menjadi Tia karena paksaan dari sahabatku itu." Aku mengiba.
"Baiklah, Sayang. Tapi bagaimana kalau suatu saat nanti Yusuf mengetahui semuanya?" tanya Umi Aisyah membuatku termenung. Benar juga. Aku tidak pernah memikirkan itu. Mungkin saja Yusuf akan sangat kecewa atau mungkin sakit hati kala mengetahui siapa aku sebenarnya. Bagaimana saat dia mengetahui kalau aku bukan Tia, melainkan Nur yang berpura-pura menjadi Tia, bermaksud untuk menolong Tia yang sebentar lagi akan menikah dengan lelaki lain. Oh Tuhan, seketika aku merasa nyeri di kepala. Betapa bodohnya aku malah mau terjebak di dalam konspirasi gadis itu.
Segera kesedihan memerangkap diri ini. Andai saja aku menemui Yusuf sebagai aku, bukan sebagai Tia. Pasti aku akan sangat bahagia malam ini. Dicintai lelaki yang sempurna dan baik hati. Namun, lamunanku seketika pecah saat ada yang menyentil sisi hati ini. Seperti mengatakan. "Jangan gede rasa kamu, Nur. Yusuf memperlakukanmu dengan baik dan lembut malam ini, karena dia mengira kau adalah Tia. Kalau dia mengetahui yang sebenarnya. entah apa yang akan terjadi. Mungkin dia akan menyatemu hidup-hidup. Ya, sangat mudah baginya mencincang tubuhmu dengan badan sebesar itu."
Aku menghela napas dengan lemah. Langsung tubuhku terasa lemas. Benar sekali, aku harus lebih tahu diri. Tolong Nur, sadarlah! Kamu menemui Yusuf malam ini, karena demi membantu sahabatmu. Bukan untuk berkencan dengan pria itu. "Aku akan menerima apa pun hukuman darinya, Umi." Aku tersenyum pahit. "Meskipun Mas Yusuf ingin mencincangku hidup-hidup, aku pasrah. Ini kesalahanku, karena sudah mau terlibat dengan intrik yang Tia rancang."
Umi Aisyah menatapku mengasihani. "Umi yakin, semua akan baik baik saja, Sayang." Dia membelai wajahku penuh sayang.
"Apakah obrolan para wanita sudah berakhir? Boleh aku masuk dan mengajak kalian berdua untuk makan malam sekarang?" Yusuf memasuki kamar dan itu amat mengagetkanku. Aku khawatir dia akan mendengar percakapan kami.
"Sudah, Nak. Mari kita makan." Umi Aisyah menggerakan analog yang berada di tangan kursi.
Aku hendak mengikutinya, tetapi kurasakan tangan Yusuf menahanku, lalu menarikku ke dalam pelukannya.
"Aku lihat kau sudah begitu akrab Umi." Yusuf mengait pinggangku erat serta mengangkat daguku agar mataku menatapnya.
"Oh … eu … i ... Iya… Umi sangat baik," ucapku gugup saat melihat tatapan Yusuf yang seketika menghujam sanubari.
"Aku juga menyukaimu, Sayang." Dia kembali mengecup bibirku lagi tanpa ada rasa canggung sedikitpun. Yusuf, sebenarnya kau mencintaiku sebagai diriku ini atau sebagai, Nur? Kenapa kau memperlakukanku sebaik ini? Apa yang sudah Tia katakan selama kalian berbalas pesan? Sadarlah, Nur. Yang Yusuf cintai sudah pasti Tia, karena dialah yang dua tahun belakangan ini bercinta dengannya di laman chat. Seketika aku kembali merasa sedih.
*