Sakit

1195 Kata
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih satu jam, akhirnya mobil yang ditumpangi oleh Raka dan Viona sudah sampai di depan rumah orang tua Viona. Raka melepas seat beltnya, kemudian berganti melepaskan seat belt Viona yang sedang tertidur lelap. Melihat wajah Viona yang sangat polos ketika sedang tidur, Raka jadi tidak tega membangunkannya. Sambil tersenyum manis, ia menggerakkan tangannya untuk merapikan rambut gadis itu yang berantakan. “Ternyata saya salah menilai kamu, Vi. Saya kira kamu bandel itu karena terlalu dimanja, tapi ternyata karena terlalu banyak kesedihan yang kamu simpan. Sampai akhirnya, kamu melampiaskannya lewat sikap- sikap kamu yang kadang kurang ajar, kadang nyebelin, kadang bikin orang lain ketawa juga.” Karena Viona tak kunjung bangun, akhirnya Raka memilih untuk membangunkannya saja. Ia takut keburu dilihat tetangga dan membuat mereka berpikiran yang tidak- tidak. “Vi ... Viona. Bangun, udah sampai.” Raka menepuk- nepuk pelan pipi Viona sampai berkali- kali. Namun bukannya bangun, Viona malah menarik tangan Raka untuk dijadikan bantal. Raka terkekeh pelan. Mungkin gadis itu sedang bermimpi memeluk guling. “Bangun, Vio. Ini udah sampai rumah. Tuh, udah ditungguin sama Mama kamu di depan pintu,” ujar Raka berbohong. Kelamaan. Raka yang tak sabar pun akhirnya menemukan cara jitu untuk membangunkan gadis ini. “Bangun atau saya cium?” bisik Raka tepat di telinga Viona. Ia mengatakan itu berkali- kali. Sampai akhirnya, Viona yang terusik pun lantas membuka matanya. Dengan muka bantal dan mata yang masih memerah, Viona pun menggerakkan tangannya ke atas untuk merenggangkan otot- otot di tubuhnya. Sementara itu, Raka masih menatapnya dengan senyuman tipis yang menghiasi bibirnya. “Udah sampai?” tanyanya dengan suara yang sangat menggemaskan. “Saya sampai lumutan nunggu kamu bangun,” keluh Raka. Viona tersenyum lebar menampilkan gigi- gigi rapihnya. Kemudian ia berkata, “Maafin aku, hehe. Tadi aku kekenyangan, makanya ngantuk berat.” “Yaudah, sana masuk ke rumah. Pasti udah ditungguin sama Mama kamu.” Sebelum turun, Viona menarik tangan kanan Raka. Seumur- umur ia menjadi anak didik Raka, ia belum pernah bersalaman ataupun mencium tangan lelaki itu. Jadi mulai sekarang, ia ingin menerapkan hal itu setiap kali bertemu dengan calon suaminya tersebut. Tapi itu hanya berlaku ketika mereka sedang berdua saja. Kalau di depan teman- teman kampusnya, Viona mana berani. “Assalamualaikum,” pamitnya sambil turun dari mobil. “Waalaikum salam. Jangan lupa kerjain tugas kuliahnya,” tutur Raka yang hanya diacungi jempol oleh Viona. *** Makan malam di rumah Viona terasa sedikit berbeda dari biasanya. Sejak tadi pagi, mamanya tidak terlalu banyak bicara dan terkesan seperti mendiaminya. Padahal biasanya tidak ada hari tanpa mengomel ataupun beradu mulut dengan Viona. Pak Darmo juga tumben- tumbenan tidak melawak hari ini. Mereka berdua seperti sedang kompak mendiami Viona, dan Viona sendiri tidak tahu apa penyebabnya. “Habis makan tunggu di kamar. Mama mau ngomong sama kamu,” ujar Emma ketika Viona akan berdiri dari duduknya. Viona mengangguk singkat. Kemudian ia meletakkan piringnya di wastafel dan berjalan meninggalkan ruang makan. Sesampainya di kamar, Viona langsung membaringkan tubuhnya di atas kasur sambil memainkan ponselnya. Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka. Emma masuk dengan membawa satu toples yang berisi camilan, lalu ia letakkan di atas meja rias Viona. “Geser.” Tanpa banyak bicara, Viona langsung menggeser tubuhnya. Memberikan tempat untuk mamanya supaya bisa duduk di sampingnya. “Taruh dulu hpnya. Mama mau ngomong,” ujar Emma. Viona meletakkan ponselnya. Kemudian ia mengubah posisinya menjadi duduk di depan sang Mama. “Mau ngomong apa?” tanya Viona. Emma menghela napasnya terlebih dahulu. “Kamu yakin, mau nikah diusia kamu yang masih muda?” tanyanya kemudian. Viona terdiam sebentar. Kemudian menjawab, “Iya.” “Yakin?” tanya Emma memastikan. “Mama nggak mau kamu salah ngambil keputusan. Kamu masih muda, masa depan kamu masih panjang. Menikah itu nggak semudah yang kamu bayangkan," ucapnya lagi. “Tadinya aku emang ragu. Tapi setelah aku pikir- pikir lagi, kayaknya aku emang butuh sosok kayak Pak Raka di hidup aku,” balas Viona. “Maksud Mama, nikahnya nanti aja kalau kamu udah lulus kuliah. Mama pengen kamu nikmatin masa muda kamu dulu, sebelum berkecimpung di dunia rumah tangga.” “Pak Raka maunya tahun ini, Ma. Mama jangan khawatir, aku udah siap kok.” Emma menghela napasnya lagi. “Terus Bobby gimana?” tanyanya. “Biarin aja. Salah sendiri, nggak mau kasih Viona kepastian. Keduluan orang lain kan, jadinya?” balas Viona, yang kembali membuat mamanya menghembuskan napasnya kasar. “Terus Papa kamu gimana? Setuju?” “Belum. Masih mau pikir- pikir katanya.” “Yaudah lah kalau gitu. Mama mau balik ke kamar. Dah, sana tidur. Jangan begadang mulu, nggak baik buat kesehatan.” *** Keesokan harinya, Viona berangkat ke Kampus dengan diantar oleh Abang- abang ojol lagi. Kali ini tidak ada masalah dengan motornya, hanya saja ia malas berkendara sendiri karena badannya sedang tidak fit hari ini. Sejak bangun tidur tadi, kepalanya terasa sangat pusing dan perutnya sedikit mual. Entah karena apa, Viona juga tidak tahu. Mungkin karena ia salah memakan makanan. “Pak, bisa mampir ke pom bensin bentar nggak? Saya mau ke toilet,” ujar Viona dengan suara yang sangat lemas. “Waduh, nggak bisa, Neng. Pom bensin ada di sebelah kanan, kalau mampir ke sana nanti putar baliknya jauh banget,” balas pria itu. Viona menghela napasnya. Tangan lemasnya bergerak untuk mengusap perutnya yang terasa sangat mual saat ini. “Neng tahan aja dulu. Bentar lagi juga sampai kok,” Mata Viona berkaca- kaca. Ia sudah tidak bisa lagi menahan gejolak di dalam perutnya yang memaksa untuk segera keluar. “Saya nggak tahan, Pak. Saya mau muntah. Nggak papa ya, kalau saya muntah di atas motor. Bapak yang sabar aja. Paling cuma jaket Bapak yang kena,” cerocosnya sedikit mengancam, yang berhasil membuat pria itu langsung panik seketika. “Waduh, tahan dulu, Neng! Saya pinggirin dulu motornya. Itu di depan ada got. Jangan dimuntahin di sini ya, please ....” Ketika motor yang ditumpangi mereka sudah berhenti di pinggir jalan, Viona langsung loncat dari atas motor dan berlari ke dekat got. Ia membungkukkan badannya, kemudian langsung mengeluarkan semua isi perutnya yang sedari tadi bergejolak ingin keluar. Huek. Huek. Huek. Abang ojolnya kebingungan sendiri. Ingin membantu, tapi tidak tahu harus bagaimana. Alhasil, ia hanya bisa membantu dengan membelikannya air putih saja. “Ini, Neng. Minum air putih dulu.” Pria itu memberikan sebotol air minum tersebut pada Viona yang sudah berjongkok di dekat got. Wajahnya terlihat sangat pucat dan napasnya terdengar sangat ngos- ngosan. Sebelum meminum air tersebut, Viona mengusap wajahnya yang bercucuran keringat terlebih dahulu. “Terima kasih,” ujar Viona seraya mengembalikan air minum tersebut pada Abang ojolnya. Di saat ia berdiri, tiba- tiba kepalanya terasa sangat pusing. Akan tetapi, dia tetap memaksa untuk berjalan. Alhasil, tubuhnya limbung dan ia hampir terjatuh kalau saja tidak ada seseorang yang menopang tubuhnya. “Pak Raka ....” gumam Viona sembari memandangi orang yang baru saja menyelamatkannya tersebut. Tak banyak bicara, Raka langsung membopong tubuh lemas Viona ke dalam mobilnya. Kemudian setelah itu, ia naik dari pintu kanan dan tanpa berlama- lama lagi, ia langsung mengendarai mobilnya ke arah yang berlawanan dengan Kampus mereka. “Badan kamu panas banget,” ujar Raka sembari meletakkan tangannya di kening Viona.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN