“Kemarin makan apa saja?” tanya sang Dokter sambil memeriksa tekanan darah Viona menggunakan tensimeter.
“Nggak tau, lupa.” Bukan karena lupa sih sebenarnya, tapi karena malas menjawab saja. Tubuhnya sangat lemas dan ia seperti tidak sanggup membuka mulutnya untuk berbicara.
“Keracunan makanan kamu ini,” ujar sang Dokter.
“Apa gara- gara nasi padang kemarin, Vi? Atau kamu makan makanan yang basi, gitu?” tanya Raka. Namun Viona hanya menggelengkan kepalanya.
“Makanan expired juga bisa jadi,” sahut sang Dokter.
Viona berpikir sebentar. Kemudian menjawab, “Kemarin aku dikasih Samuel roti, tapi aku nggak lihat tanggal expirednya.”
“Terus langsung kamu makan begitu aja?” sahut Raka sedikit ngegas. Sedangkan Viona hanya mengangguk sembari menggigit bibir bawahnya.
Raka menghela napasnya. “Makanya lain kali itu jangan ceroboh jadi orang,” omelnya.
“Yaudah, opname dulu ya di sini. Biar tubuh kamu dapat cairan. Nggak lama kok. Paling cuma sehari dua hari,” ujar sang Dokter.
“Bisa dipindah ke kelas VIP, Dok?” tanya Raka.
“Bisa. Nanti langsung konfirmasi saja ke bagian Administrasi.”
“Oke, terima kasih, Dok.”
“Sama- sama. Saya keluar dulu ya.”
Setelah mengantarkan Dokter tersebut keluar dari ruangan, Raka berjalan menghampiri Viona yang terbaring lemas di atas ranjang.
“Tunggu sini ya. Saya mau ngurus Administrasi dulu,” ucapnya. Yang hanya diangguki oleh Viona.
***
Viona sudah dipindahkan ke ruangan VIP atas permintaan Raka. Dan sekarang Raka tinggal menunggu kedatangan orang tua Viona saja. Semua sudah Raka hubungi. Bahkan kedua sahabat Viona juga sudah ia hubungi.
Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka. Mama Viona masuk sambil menangis tersedu- sedu, diikuti oleh suaminya di belakang yang terlihat kesusahan membawa parcel buah yang besarnya sampai menutupi kepalanya.
Raka menutup mulutnya menahan tawa. Bahkan di saat- saat seperti ini, Ayah Viona masih sempat membuat orang lain ingin tertawa.
“Ya Allah ... anak cantiknya Mama, anak baik, anak sholeh, anak pintar, kenapa bisa kayak gini?” heboh Emma sembari menguyel- uyel pipi Viona.
Viona mendesis kesal. Ia melirik mamanya sinis. Selain kesal, ia juga geli dengan sikap lebay mamanya. Mana dibilang anak sholeh lagi, dipikir Viona ini perempuan jadi- jadian?
“Apaan sih? Jangan lebay, napa! Malu tuh dilihat Pak Raka,” kesal Viona.
Emma tertawa cengengesan sambil melihat Raka. Sedangkan Raka hanya tersenyum membalasnya.
“Maaf ya, Pak Dosen. Mamanya Vio emang Ratu lebay, hehe,” sahut Pak Darmo.
Viona melirik ayahnya yang sedang meletakkan parcel buahnya di atas meja. Kemudian ia berujar, “Kenapa bawa parcel segala, sih?”
“Ya buat suguhan tamu atuh, Neng. Nanti kalau ada yang jenguk ke sini gimana? Masa cuma disuguhin air minum aja?” balas Pak Darmo.
Viona memutarkan bola matanya malas. Ada- ada saja memang, ayahnya ini. Padahal ia dirawat di sini hanya dua hari saja.
“Saya pulang dulu ya, Om, Tante,” pamit Raka.
“Iya. Hati- hati, ya. Makasih udah dibantu,” balas Pak Darmo sambil menyalami tangan Raka.
“Makasih ya, Pak Dosen. Hati- hati di jalan,” sahut Emma.
“Sama- sama,” balas Raka sambil tersenyum manis.
Tak lama setelah Raka pergi, pintu ruangan kembali terbuka. Kedua sahabat Viona berlari masuk dengan napas yang ngos- ngosan seperti habis dikejar setan.
“Lo berdua kenapa?” tanya Viona heran.
Dengan napas yang masih tak beraturan, Shafa pun menjawab, “Gila emang teman lo! Gue diajak lewat kamar jenazah, mana tadi pintunya kebuka. Stress emang! Gue sampai merinding ini,” cerocosnya.
Sinar tertawa terbahak- bahak. Ia juga takut, tapi ia tidak bisa menahan tawa saat melihat wajah panik Shafa.
“Sialan emang nih bocah,” umpat Shafa sambil mengusap keringatnya dengan tisu.
Emma tertawa kecil. Kemudian ia memberikan dua gelas air mineral pada kedua gadis itu. “Nih, minum dulu.”
“Makasih, Tante cantik,” ucap Sinar.
“Oh iya, lo udah dengar berita heboh belum?” tanya Shafa pada Viona.
“Berita heboh apaan?” balas Viona.
“Orang- orang di Kampus udah pada tau hubungan lo sama Pak Raka,” sahut Sinar.
Viona membulatkan matanya kaget. “Kok bisa?” tanyanya.
“Gara- gara lo digandeng Pak Raka waktu di Kantin. Terus orang- orang pada kepo, sama Niki sekalian dibocorin kalau lo berdua mau nikah,” jelas Sinar.
“Niki anj,” kesal Viona.
“Heh, mulutnya! Lagi sakit kok masih sempat ngomong kasar,” tegur sang Mama.
“Lagian tuh orang rese banget. Kayaknya hidupnya nggak tenang kalau nggak nyenggol gue,” gerutu Viona.
“Penggemarnya Pak Raka pada ngamuk. Katanya lo nggak masuk kuliah karena takut sama mereka,” sahut Shafa.
“Dih, ngapain gue takut? Kalau mereka berani nyerang gue, gue jabanin dah, sumpah!”
“Gue dari tadi juga pengen ngamuk, dengar orang- orang pada ngomongin lo. Pengen gue ladenin, tapi ditahan sama nih orang,” ujar Shafa sembari menunjuk Sinar yang sedang menikmati buah yang disuguhkan oleh Ayah Viona.
“Kalau nggak gue tahan, Vi ... tuh orang bisa berakhir di Polsek. Dia kan suka main tangan kalau udah berantem sama orang,” balas Sinar.
Sementara itu, Shafa yang disindir pun hanya bisa mengerucutkan bibirnya kesal. Ia tidak bisa mengelak, karena itu memang fakta. Dulu saat masih sekolah, ia selalu dipanggil ke ruangan BK karena sering menonjok anak orang.
“Jangan aneh- aneh, Shaf. Biarin aja, orang ngomong sesukanya. Nanti kalau capek juga berhenti sendiri,” sahut Emma menasehati.
“Nggak papa, Shaf. Tonjok dikit gak ngaruh. Nanti gue bantuin kalau gue udah sembuh,” celetuk Viona, yang berhasil mendapat cubitan dan tatapan tajam dari sang Mama.
“Awas ya, kalau kamu aneh- aneh, Mama kurung kamu di rumah selama seminggu,” ancam Emma.
“Enak, dong. Tinggal tidur sama makan doang di rumah,” balas Viona tak ada takutnya, hingga membuat sang Mama semakin kesal. Kalau tidak lagi sakit, mungkin Viona sudah dismackdown oleh mamanya.
***
Malam hari biasanya Raka isi dengan membaca buku, bersantai di atas kasur, ataupun menyelesaikan pekerjaan. Tapi kali ini berbeda, ia rela mengabaikan rasa lelahnya demi mengunjungi Viona di rumah sakit.
“Dek ....” Sang Kakak memanggil dari ruang televisi. Raka yang baru saja menuruni tangga pun lantas berjalan menghampirinya.
“Kenapa?” tanya Raka.
“Coba lihat ini.” Wanita itu menyalakan ponselnya, kemudian menunjukkan sebuah foto di galerinya pada Raka.
“Maksudnya?” tanya Raka bingung.
“Kakak mau ngenalin kamu sama orang ini. Gimana? Mau nggak? Cantik loh dia. Punya bisnis skincare, punya klinik kecantikan, sosialita lagi. Dia masih jomblo, umurnya satu tahun di atas kamu,” cerocos wanita itu. Mempromosikan temannya pada sang adik.
Raka menghela napasnya. “Kak, aku kan udah punya pilihan sendiri,” ucapnya.
“Kakak pengen bantu kamu cari pasangan yang terbaik. Dari pada sama si Viona- Viona itu, mending sama ini. Udah kelihatan jelas kualitasnya.”
“Kak, kalau dari awal aku mau dijodoh- jodohin kayak gini, mungkin aku udah nikah sama wanita pilihan Mami. Masalahnya, keputusanku buat nikahin Viona itu udah bulat. Nggak usah ditawar- tawarin lagi. Apalagi sama orang yang lebih tua dari aku.”
Wanita itu mengerucutkan bibirnya kesal. “Iya, sih. Tapi Kakak takut kamu salah milih pasangan. Dia kelihatan kayak mau main- main doang sama kamu. Mana songong banget lagi. Pengen aku jitak rasanya,” cerocosnya.
“Bukan dia yang mau main- main sama adek kamu, tapi adek kamu yang mau main- main sama dia,” sahut seorang pria paruh baya yang berhasil membuat Kakak beradik tersebut sedikit kaget.