“Maksudnya gimana?” tanya wanita itu.
Namanya Gisel, Mama Rega sekaligus Kakak Raka yang kedua. Dia menikah dengan seorang Politikus yang cukup terkenal. Sedangkan dia sendiri bekerja sebagai seorang Bidan di Rumah sakit.
“Adekmu ini menikah karena terpaksa. Hatinya masih seratus persen buat Esther. Kalau suatu saat Esther bangun, dia bakal ninggalin istrinya dan milih buat balik sama Esther. Semisal itu benar- benar terjadi dan Papi udah nggak ada, kamu sebagai kakaknya tolong nasehatin dia dengan baik. Papi ini dihormati banyak orang, jangan sampai reputasi keluarga kita hancur hanya karena kelakuan dia. Dia udah memutuskan pilihannya sendiri, jadi dia harus tanggung jawab sampai akhir hidup dia.”
Mendengar sang Papi yang berbicara pada kakaknya dengan tegas, Raka hanya bisa menundukkan kepala. Pikirannya campur aduk, mendengar ucapan papinya yang berhasil menusuk sampai ke hati.
“Kalau gitu mah mending nggak usah dinikahin, Pi. Suruh nunggu Esther aja, sampai dia bangun. Dari pada nanti kalau ada apa- apa kita yang kena, kan repot kalau begitu. Mana yang mau dinikahin masih kelihatan kayak bocah, nanti kalau disakitin dikit, pasti langsung nangis terus pulang ke rumah emaknya,” cerocos wanita itu.
“Maksud Papi bukan itu, Sel. Kamu itu kalau bisa nasehatin dia baik- baik, suruh lupain Esther. Karena sampai kapan pun, dia dan Esther nggak bakal bisa bersatu. Dia punya kehidupan yang harus dia jalani. Jangan terus- terusan terjebak dalam hubungan masa lalu yang nggak ada jalan keluarnya. Dia itu anak laki- laki Papi satu- satunya, dan Papi sangat berharap dia memiliki masa depan yang bagus.”
Semakin lama mendengar ucapan sang Papi, semakin pusing pula kepala Raka. Maka dari itu, ia memilih untuk berpamitan pergi ke Rumah sakit saja.
“Aku mau jenguk Viona dulu ya, Pi. Ngomongnya dilanjut besok aja,” ucapnya.
Tak ingin ditahan, Raka pun bergegas berjalan keluar rumah. Kesannya memang sedikit kurang ajar, karena memotong pembicaraan orang tua. Tapi mau bagimana lagi? Telinganya bisa panas kalau terus- terusan mendengar ocehan pria itu yang selalu memojokkan dirinya.
***
Suasana di kamar inap Viona sekarang sudah mulai sepi. Papa dan maminya baru saja pulang, ayahnya pergi keluar mencari makanan untuk adeknya, dan mamanya asik bermain handphone sampai ketiduran di atas sofa.
Viona yang gabut pun memilih untuk memutar televisi. Matanya belum mau diajak tidur, karena ia baru saja bangun sekitar satu jam yang lalu.
Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka. Ia kira, Ayah dan adeknya sudah kembali, tapi ternyata tidak. Raka lah yang masuk ke dalam dengan membawa sekantong plastik yang entah berisi apa.
“Bapak ngapain, malam- malam datang ke sini?” tanya Viona.
“Pengen jenguk aja. Emang nggak boleh?” balas Raka.
“Ya boleh. Tapi emang nggak ada kerjaan?”
“Enggak.”
“Nih, minum dulu air kelapanya.” Raka memberikan sebungkus air kelapa tersebut pada Viona. Namun Viona malah menolaknya.
“Udah kenyang. Taruh di kulkas aja.”
“Oh, yaudah.” Raka pun lantas meletakkan sebungkus air kelapa tersebut di dalam kulkas kecil. Kemudian setelah itu, ia kembali berjalan menghampiri Viona.
“Besok jamnya Bapak ngajar di kelas aku, kan?” tanya Viona.
“Iya,” jawab Raka singkat sembari mendudukkan dirinya di kursi samping ranjang Viona.
“Nggak perlu izin lewat email, kan? Kan Bapak tau kalau saya lagi sakit.”
“Tetap harus izin.”
Viona mengerucutkan bibirnya kesal. “Bapak ini aneh. Orang udah tau saya lagi sakit, masih aja disuruh izin.”
“Buat laporan akhir semester nanti, Vi.”
“Lagian kenapa sih harus lewat email? Ribet tau nggak! Kenapa nggak lewat WA aja?” gerutu Viona sembari membuka ponselnya.
“Nggak semua orang punya nomor WA saya.”
“Salah sendiri, kenapa nomornya disembunyikan dari anak- anak Kampus. Sok Artis banget,” cibir Viona.
“Saya nggak suka diganggu.”
“Dih, emang siapa yang mau ganggu Bapak? Pede banget.”
“Kamu nggak tau, dulu saya sampai ganti nomor berkali- kali karena diteror sama mereka.”
“Mereka siapa?”
“Ya orang yang suka sama saya. Bahkan ada juga yang berani ngirim foto aneh- aneh, tapi langsung saya blokir, terus saya DO dari Kampus.”
Viona terdiam sejenak dengan kening yang berkerut. Kemudian ia bertanya, “Emang power Bapak di Kampus segede itu ya? Sampai bisa DO orang.”
“Nggak juga,” balas Raka santai.
“Terus?”
“Nanti kamu juga tau sendiri.”
Viona berdecak kesal. Ia paling tidak suka jika diajak main rahasia- rahasiaan seperti ini.
“Nih, udah saya kirim ya surat izinnya,” ketus Viona seraya memperlihatkan layar ponselnya pada pria itu.
Raka hanya mengangguk. Kemudian ia melirik Viona yang tiba- tiba mengucek matanya dengan keras.
“Kenapa?” tanya Raka.
“Gatal,” jawab Viona.
Raka menahan tangan gadis itu. “Jangan dikucek,” larangnya.
Tanpa diduga, Raka mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu secara tiba- tiba, hingga membuat Viona terkesiap kaget. Viona kira, pria itu akan menciumnya, tapi ternyata hanya meniup matanya yang gatal saja.
“Cie ... pacaran cie ...”
Viona menoleh kaget. Entah sejak kapan, bocil kematian itu sudah kembali ke kamar. Parahnya lagi, dia melihat adegan yang bisa menimbulkan salah paham, padahal Raka hanya meniup matanya saja, bukan menciumnya.
Bahkan mamanya yang tadinya tertidur anteng, langsung terbangun ketika mendengar suara cempreng bocah kecil itu.
“Udah balik, Vin? Ayahmu mana?” tanya Emma pada bocah itu.
“Tuh, di depan. Lagi ngomong sama orang,” jawab bocah itu.
Namanya Arvin, Adik tiri Viona yang baru berusia sembilan tahun. Sering Viona panggil bocil kematian, karena tingkahnya yang menyebalkan dan kenakalannya yang di luar nalar. Namun meski begitu, Viona sangat menyayanginya. Karena hanya Arvin, satu- satunya adik yang sangat pengertian kepadanya. Beda dengan Axel dan Azura yang terkesan cuek kepadanya.
“Ma, tau nggak, Ma? Tadi Kak Vio dicium sama Om itu,” celetuk Arvin sembari menunjuk Raka yang sedang menatapnya sambil tersenyum simpul.
“Nggak usah fitnah ya lo, bocah! Gue tabok, tau rasa lo! Orang cuma niup mata doang dibilang ciuman, minus mata lo?!” omel Viona. Sedangkan Arvin hanya bisa tertawa cekikikan saja.
“Hus! Udah malam, jangan ribut,” tegur sang Mama sembari menguncir rambutnya.
“Pak Dosen udah lama di sini?” tanya Emma.
“Lumayan sih, Te,” jawab Raka.
“Oh, udah makan belum?” tanya Emma.
“Udah.”
“Itu ada martabak sama lumpia ayam. Kalau mau makan aja,” suruhnya.
“Iya, Te. Makasih. Tadi sebelum ke sini udah makan, jadi masih kenyang.”
Kemudian Raka membuka ponselnya yang tadi sempat bergetar. Dilihatnya ada pesan masuk dari seseorang. Karena yang mengirim pesan tersebut adalah teman dekatnya, jadi Raka langsung buru- buru membukanya.
Angga
Cepet ke Rumah sakit!
Tangan Esther udah bisa gerak.