Hari-hari berlalu, baik Evan dan Zola beraktivitas seperti biasa. Tampak dari luar, semuanya terlihat baik-baik saja. Tapi di balik semua itu, keharmonisan antara keduanya sedikit berubah.
Tak ada lagi senyum tulus, semua berlaku hanya untuk formalitas belaka karena ingin menjaga perasaan satu sama lain. Terutama Evan terhadap Zola.
"Apa kamu mau jemput nanti, Mas?" tanya Zola ketika menghubungi Evan di ponselnya.
Hening sejenak, Zola mendengar jawaban Evan dari seberang sana. Dan kemudian wajahnya berubah murung dan dia berujar pelan ...
"Baiklah, Mas, nanti aku naik taksi saja," ucap Zola dengan suara tersendat menahan tangis.
Bibirnya bergetar dan tersenyum perih. "Iya tidak apa-apa, Mas, kita ketemu di rumah, aku tunggu!" tutup Zola lalu mengucapkan salam dan memutuskan sambungan telepon mereka.
Zola terduduk di kursinya dan mulai menangis sendirian.
"Semuanya tak lagi sama, aku tahu itu, Mas!" ratapnya tersedu-sedu sampai bahunya berguncang halus.
Ketika itu pintu ruangannya terbuka, Zola cepat menghapus air matanya dan menghela nafas untuk menetralkan emosinya.
"Permisi, Bu." Yana masuk membawa map di tangannya.
"Iya, silahkan!" tukas Zola, sedikit canggung dengan suaranya yang terdengar sumbang karena habis menangis.
Yana berusaha tak melihat pada wajah atasannya yang sembab itu, dia tahu Zola barusan menangis, namun bukan tempatnya jika dia menanyakan itu.
"Sudah selesai, Bu, setelah ini saya pamit pulang!" kata Yana, memberitahu secara halus jika ini sudah waktunya pulang.
Zola pun tersadar, dia tersenyum mengiyakan dan tak lupa mengucapkan terimakasih pada gadis itu.
Yana kemudian pamit dan keluar dari ruangan Zola.
Sementara itu Zola memutar kursinya dan menghela nafas berat. Dilemparkannya pandangan keluar jendela kaca di hadapannya.
Langit memang sudah terlihat membiaskan cahaya merah dari ufuk barat, tanda petang mulai datang dan sebentar lagi Maghrib tiba.
"Sayang sekali aku belum bisa shalat," gumam Zola sedikit menyesalkan keadaan.
Maka dia hanya diam termangu memandangi langit yang perlahan semakin memerah dan warna jingga mendominasi dari arah tenggelamnya matahari.
Ketika itu, pintu ruangannya terdengar terbuka kembali. Zola mengira itu adalah Yana. Maka dia pun memutar kursi berniat untuk meminta Yana membuatkan kopi sebelum gadis itu pergi.
"Yana, aku---KAMU!" Zola melotot kaget saat melihat Danar berdiri di membelakangi pintu dan tersenyum padanya.
"Selamat sore, Ibu Zola, bagaimana kabarnya?" ucap Danar seraya berjalan mendekati meja kerja Zola.
Zola memicing dengan penuh kebencian pada lelaki itu.
"Mau apa lagi kamu?" ucapnya langsung meninggikan suara.
Danar tergelak, "Tenanglah, Sayang, aku ke sini hanya ingin memberitahu sesuatu sama kamu," ujarnya tersenyum lebar.
Danar berhenti di depan meja lalu duduk di pinggirannya.
"Uh, wajahmu memang menggemaskan kalau sedang marah begitu!" komentarnya terkekeh melihat wajah Zola yang merah padam menahan emosi.
Zola membuang muka karenanya.
"Kenapa kamu datang lagi? Bukankah sudah kubilang aku tidak akan mau bekerja sama dengan kamu!" kata Zola tegas.
Danar menggeleng, "No-No! Aku bilang maksud kedatanganku kemari bukan untuk membahas hal itu, karena sudah jelas kalau kamu menolak tawaranku!" katanya sambil memainkan papan nama Zola di meja.
"Lalu apa?" tanya Zola mengerutkan kening. Tidak mungkin jika Danar tidak bermaksud buruk dengan kedatangannya ini.
Danar sendiri malah tersenyum miring, "Kamu 'kan menolak untuk kerja sama denganku, jadi aku mengajak orang lain untuk itu." Danar mencondongkan tubuhnya pada Zola.
"Aku mengajak rival kalian untuk menghancurkan perusahaan suamimu itu, Zola!" ucapnya.
Zola melotot kaget mendengarnya.
"Maksudnya apa? Jangan macam-macam, Danar!" tunjuk Zola geram.
"Atau apa?" potong Danar tersenyum miring, "kamu mau apa, Zola?" tanyanya dengan wajah mencibir mengejek Zola.
Zola hanya diam dengan tangan terkepal erat.
"Aku sudah berhasil, dan kamu tunggu saja hasilnya! Suami kamu yang arogan itu akan mendapat balasan yang setimpal!"
"Jangan berulah kamu, Danar!" kata Zola dengan tubuh gemetar menahan amarah.
Danar tertawa sejenak sebelum kemudian beranjak berdiri dan berbalik pergi begitu saja. Meninggalkan Zola yang dilanda panik dan ketakutan begitu lelaki itu keluar dari ruangan.
"Ya Allah, apa yang dia lakukan? Semoga Evan baik-baik saja!" gumamnya dengan hati gelisah tak menentu.
Zola merasa tidak tenang, maka dia pun memutuskan untuk segera pulang.
***
Sementara itu di kantor Evan ...
Tampak lelaki itu tengah bersama Tama, wajah keduanya terlihat tegang menghadapi seorang pria yang merupakan pimpinan salah satu cabang perusahaan di bawah naungan Evan.
"Apa maksudmu dengan semua projek kita gagal?" tanya Tama mewakili Evan yang duduk diam di kursinya.
Pria yang bernama Aran itu menjawab dengan takut-takut.
"Iya, Tuan, semua klien kita memutuskan kontrak secara tiba-tiba," kata Aran, "dan satu hal lagi mengenai para investor, mereka meminta pengembalian saham dalam waktu bersamaan!" lanjutnya pelan.
Tama membelalakkan matanya lalu menoleh pada Evan, atasannya itu pun tampak terkejut dengan berita ini.
"Apa-apaan ini?" geramnya.
"Bagaimana mungkin ini terjadi? Apakah ada sesuatu yang terjadi sebelumnya sehingga mereka berbuat hal ini?" tanya Evan.
Pertanyaan itu berlaku untuk Tama dan Aran, namun keduanya tertunduk tanpa tahu harus menjawab apa.
Evan mengepal erat kedua tangannya.
Kerugian yang mereka tanggung tidak main-main, dan semua terjadi dalam waktu bersamaan seperti ini. Bahkan nilai saham yang ada tidak akan cukup untuk menutupi seluruh permintaan mereka. Entah apapun itu, sepertinya ada orang yang berlaku curang dan memang sengaja melakukan ini padanya.
"Segera cari penyebab semua ini!" ucap Evan menggeram marah, "siapapun dalang dari semua ini, aku sendiri yang akan memberikan pelajaran padanya, bahwa dia sudah membuat Sang Singa bangun dari tidurnya!"
Tama dan Aran menelan Saliva mendengarnya.
Kali ini Evan benar-benar murka. Situasi yang tidak mengenakkan antara dia dan Zola, juga kemarahannya yang terpendam, menjadikan ini sebagai ajang pelepasan amarah baginya.
"Siapapun itu, dia akan berhadapan langsung denganku, tanpa melewati hukum negara bahkan aku akan menghajarnya dengan tanganku sendiri!"
Evan kembali pada sosoknya yang penuh aura gelap, tak akan ada yang bisa menghalanginya lagi kali ini.
Temasuk Zola.
Di rumah, wanita itu menunggu dengan gelisah, kedua tangannya bertaut dan tak bisa diam di depan perutnya. Dia berjalan mondar-mandir di teras menunggu Evan yang tak kunjung pulang.
"Sudah hampir jam 10, kemana kamu, Mas?" ucapnya lirih.
Matanya sesekali menatap ke arah pintu gerbang, namun sama sekali belum ada tanda-tanda mobil suaminya itu. Membuatnya semakin resah dan mulai berburuk sangka.
"Tidak! Dia hanya sedang sibuk!" tepisnya menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
Tama sendiri yang memberi kabar jika dia dan Evan masih ada rapat penting, tapi itu 2 jam lalu.
"Ya Allah, tolong lindungi suamiku! Selamatkan dia dari segala kejahatan, dan hindarkan dia dari godaan syaiton yang terkutuk!" gumam Zola, berkali-kali dia mengucapkan kalimat-kalimat tasbih dan beristighfar untuk menenangkan hatinya.
Kegelisahannya bukanlah tanpa alasan, karena dia merasa akhir-akhir ini semuanya tak lagi sama. Dan itulah yang menjadi ketakutannya sehingga pikiran buruk gampang sekali menghantuinya.
"Ya Allah, aku pasrahkan hidupku dan suamiku dalam penjagaan-Mu, tolong jaga pernikahan kami di bawah naungan ridho-Mu ...."
***