Perusahaan Sedang Goyah

1122 Kata
Evan berjalan masuk ke dalam rumah, wajahnya tampak letih dan muram. Beberapa kali dia menghela nafas panjang dengan lelah. Suasana rumah tampak sudah gelap, hanya diterangi cahaya dari lampu sudut di beberapa titik. Lelaki itu terus melangkah lurus saja menuju tangga, ingin segera tiba di kamar. Tapi ketika kakinya hendak menaiki tangga, Evan terhenti. Dia memutar tubuhnya dan menyadari jika ruang makan masih terang benderang dari kejauhan sana. Terusik, Evan pun mengarahkan langkahnya ke sana. Dan dia lalu tertegun. Tampak Zola tertidur di atas meja makan dengan berbantalkan kedua tangannya. Sepertinya dia menunggu Evan pulang dan dia sudah menyiapkan makan malam. Evan mendekatinya, menatap wajah cantik yang tampak lelap tertidur. "Zola," panggil Evan menyentuh pundak istrinya itu dengan lembut. Namun Zola tampaknya sangat kelelahan dan tidurnya sangat nyenyak. Evan merasa iba, dan dia terenyuh. "Maaf membuatmu menunggu, Sayang," bisik Evan membelai rambut Zola yang tak memakai hijab, hanya dikepang dan menjuntai di salah satu bahunya. Evan sadar dengan hubungan mereka akhir-akhir menjadi dingin dan kaku, entah kenapa rasanya ada yang mengganjal di hatinya sejak Zola keguguran untuk kedua kalinya itu. Meski begitu bukan berarti dia mengabaikan istrinya begitu saja, Evan masih memperhatikannya dan menjaganya dari jauh. "Kamu bisa sakit leher nanti," gumam Evan sambil menyusupkan tangannya ke bawah lutut Zola. Perlahan, dia pun mengangkat tubuh Zola dan membawanya ke kamar. Evan tertegun merasakan jika Zola sedikit lebih ringan sekarang, dan itu membuatnya sedih. Dilihatnya wajah cantik itu tampak redup. Evan mendorong pintu kamar dengan bahunya, perlahan dan hampir tak bersuara, tak ingin membuat Zola terusik dan bangun dari tidurnya. Dia menurunkan tubuh istrinya itu dengan lembut di atas tempat tidur dan menarik selimut hingga menutupi d**a Zola. Dipandanginya wajah itu, dan membelai kepalanya dengan lembut. "Ada sedikit masalah di kantor dan aku tak mau kamu tahu, Sayang," ungkap Evan pelan, "kamu sudah cukup kelelahan dengan semua ini, aku tak mau menambah beban pikiranmu, jadi tolong maafkan aku!" Evan menunduk dan mencium kening Zola dengan lembut lalu beranjak berdiri, berjalan memasuki kamar mandi. Sepeninggal Evan, diam-diam Zola membuka matanya dan menatap ke arah pintu kamar mandi. "Ya Allah, apa yang terjadi, Mas?" bisiknya merasa sedih. Zola langsung teringat perkataan Danar yang mengancam akan membuat kekacauan. Seketika jantungnya berdebar kencang. "Apa ini yang dikatakan oleh Danar? Apa yang sudah dia lakukan sebenarnya?" gumamnya dan dia mulai gelisah. "Aku akan harus menanyakan ini pada Tama!" *** Besoknya, Zola sengaja berangkat siang dan berkata akan libur kerja pada Evan. Padahal dia berniat mengunjungi rumah Tama. Maka ketika dilihatnya mobil Evan sudah pergi, Zola pun bersiap-siap. "Nyonya mau kemana?" tanya Mbok Titi heran, bukannya tadi dia mendengar jika Zola akan libur hari itu. Zola tersenyum sambil merapikan hijabnya, sengaja dia berpakaian serba tertutup melebihi biasanya karena dia akan keluar sendirian. Itu pula yang membuat Mbok Titi heran melihatnya. "Aku mau ke rumah Papa, sebentar saja, Mbok," jawab Zola. Mbok Titi pun mengangguk mengiyakan. Zola bergegas menuju mobilnya. Ia ingat jika Jihan, istri Tama, tengah hamil besar dan sebentar lagi melahirkan, maka dia berniat ingin membelikan hadiah kecil sebelum ke sana. Setelah membeli oleh-oleh dan makanan kecil, Zola pun mejalankan mobilnya menuju rumah asisten suaminya itu. Dan penjaga gerbang di rumah Tama mengenal Zola meski wanita itu masih memakai masker. "Silahkan, Nyonya," sambutnya mempersilakan Zola memasukan mobilnya. "Terimakasih, Pak!" balas Zola mengangguk. Jihan yang sedang menyiram tanaman hiasnya mengerutkan kening melihat ada mobil asing memasuki halaman rumahnya. Dia melihat ke arah penjaga gerbangnya yang memberi akses masuk pada mobil itu, itu artinya dia mengenal si pengemudi. "Siapa?" gumamnya heran dan mengawasi siapa yang akan keluar dari ruang kemudi. Dan matanya membulat melihat siapa yang muncuk kemudian. "Mbak Zola?" ucapnya heran. Jihan pun segera meletakkan selang air, membersihkan tangannya lalu bergegas menghampiri wanita itu. "Assalaamu'alaikum!" ucap Zola. "Waalaikum salaam," sambut Jihan, "kupikir siapa tadi!" lanjutnya merangkul Zola sebentar, sudah lama rasanya mereka tak bertemu sejak Jihan mengambil cuti hamilnya. "Apa kabar, Jihan? Sehat?" tanya Zola membalas rangkulan Jihan. "Alhamdulillah aku sehat, Mbak sendiri bagaimana?" tanya Jihan balik sambil menggandeng istri atasan suaminya itu menuju ke rumah. "Syukurlah, bayimu sehat?" Zola meminta izin menyentuh perut, Jihan tentu saja mengizinkannya. "Iya, Mbak, aku tinggal menunggu HPL saja," ucap Jihan. Mereka lalu memasuki ruang tengah dan duduk santai. Ketika itu pembantu Jihan muncul membawakan barang dari mobil Zola "Nyonya, ini mau ditaruh dimana?" tanyanya. Jihan membelalak kaget melihat semua barang-barang itu, ada stroller dan satu dus pakaian bayi yang lucu-lucu. "Ya Allah, Mbak! Kenapa repot-repot?" desah Jihan merasa tersanjung, dia meminta pelayannya meletakkan semua itu di kursi. Mata Zola tampak menyipit ketika dia tersenyum, membuat Jihan sendiri terpana dengan kecantikan dan keanggunannya. "Aku nggak tahu bayimu nanti laki-laki atau perempuan, jadi aku beli unisex saja!" kekehnya. Jihan tertawa seraya geleng-geleng kepala, dia dengan gembiranya melihat semua itu, dan tertawa gemas ketika melihat baju-baju bayi. Zola terdiam sejenak dan memperhatikan Jihan yang masih antusias membuka hadiah itu. "Heum, Jihan, aku ingin bertanya sesuatu, bisa kah?" ucap Zola agak ragu. Jihan menoleh padanya, "Apa?" tanyanya. Zola menghela nafas, "Apa kamu tahu apa yang terjadi di perusahaan? Evan terlihat frustasi semalam dan aku mencemaskan itu," katanya menatap lekat pada Jihan. Jihan sontak tertegun, "Mungkin Tuan Evan tidak mau Mbak terbebani sehingga dia tak memberitahu soal itu," ucapnya bingung. "Soal apa?" kejar Zola. Jihan memejamkan matanya, dia kelepasan bicara. Seharusnya dia lebih menjaga kata-katanya, karena sepertinya Evan tidak membicarakannya pada Zola, itu artinya lelaki itu tidak ingin istrinya tahu soal kemelut yang baru saja menghantui perusahaan mereka itu. "Jihan, aku mohon!" pinta Zola ketika melihat wanita itu terdiam. Dia sudah menebak ada sesuatu yang terjadi dan sangat gawat. Jihan membasahi bibirnya, dia ragu. Apa yang akan dia katakan mungkin akan membuat Zola terkejut. "Jihan, aku hanya ingin tahu," desak Zola, "aku melihat perubahan sikap Evan semalam, dan aku tak ingin berburuk sangka pada suamiku sendiri, jadi tolong katakan apa yang terjadi!" Jihan menatap Zola dengan gamang, dia juga mendengar apa yang sudah terjadi pada Zola dari Tama. Dia pun merasa iba dan ikut prihatin, dan memaklumi dengan kekhawatiran wanita cantik itu. "Sebelumnya tolong jangan sampai Tuan Evan tahu, aku tak ingin membuatnya marah!" pinta Jihan yang membuat Zola semakin tegang dan penasaran. "Tentu! Aku akan menjaga rahasia, aku hanya ingin tahu!" timpal Zola meyakinkan Jihan dan menggenggam tangannya. "Sebenarnya, perusahaan sedang mengalami kebangkrutan, para klien di kantor cabang membatalkan kerja sama dan itu membuat kerugian yang tak sedikit. Dan para investor menarik saham secara besar-besaran, sehingga kita tak bisa menutup semua kerugian yang ada karena nilai saham langsung anjlok dalam semalam!" terang Jihan sedih. Zola menutup mulutnya, tak menyangka jika kejadiannya sangat genting seperti itu. Tak terbayang Evan harus memikirkan semuanya sendiri. "Berapa kerugian kita?" tanya Zola dengan suara tersendat menahan tangis. Jihan menelan saliva sebelum dia lalu menjawab dengan suara lirih ... "Sekitar 271 Trilliun!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN